Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pusingnya Jokowi Melihat Perilaku Hukum

5 Agustus 2016   14:02 Diperbarui: 5 Agustus 2016   14:11 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Nanti saya akan blakblakan kalau sudah tak ada media," kata Presiden Joko Widodo saat mengumpulkan semua kepala Kepolisian Daerah dan kepala Kejaksaan Tinggi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (19/7/2016) lalu. Blakblakan yang dimaksud Jokowi adalah adanya aduan dari kepala daerah terkait kinerja kepolisian dan kejaksaan yang tidak menaati instruksinya. Padahal, setahun sebelumnya Jokowi sudah mengingatkan para kapolda dan kajati mengenai sejumlah kebijakan kepala daerah yang tak bisa dipidana agar tak mengganggu perekonomian.

Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata, Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna didakwa menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah pihak yang berperkara di Mahkamah Agung.Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Andri diduga tidak hanya menerima suap dan gratifikasi dari beberapa barang bukti yang dimiliki Jaksa. Hal itu terungkap dari fakta bahwa pendapatan Andri tidak sebanding dengan pengeluarannya setiap bulan.

Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo menjelaskan bahwa pelaporan yang dibuat oleh TNI atas dugaan pencemaran nama baik terhadap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar bukan dimaksudkan untuk mengkriminalisasi atau memenjarakan Haris.

Selanjutnya kata Gatot, tentu akan kesulitan menelusuri bukti keterlibatan oknumnya melalui keterangan dari pengacara Freddy dan dalam pleidoi (nota pembelaan) di persidangan, sebagaimana yang telah dituturkan oleh Haris.Bila tidak terbukti, tentu Haris harus mempertanggungjawabkan informasi tersebut dan publik mengetahui bahwa tidak ada perwira TNI yang terlibat.

Ketiga alinea di atas saya ambil dari beberapa cuplikan berita yang dilansir oleh media (Kompas.com),  inti dari pemberitaan tersebut apapun perkaranya muaranya bisa saja kepada kepentingan uang sebab garda akhir dari sebuah proses hukum formal dapat diatur dengan uang.

Menyitir pernyataan Gatot diatas dan persidangan pejabat MA, putusan bisa diintervensi kekuatan ( power)  atau dipesan dengan uang dan pendapat hukum Harris tidak dapat membuktikan, ya penjaralah yang harus dialami oleh Haris, bersihlah nama TNI. Padahal banyak kali media mengungkap keterlibatan oknum TNI dalam bisnis barang haram itu.

Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden bahwa sesungguhnya  hukum yang katanya menjadi panglima namun mungkin dirasakan sebagai intimidasi kepada kepala daerah sehingga memandang perlu mengumpulkan pejabat yang berkompeten. Apalagi jika kita melihat adanya keterlibatan pejabat MA dalam pesanan pengaturan perkara semakin menggambarkan bahwa orang tidak bersalahpun menjadi bersalah atau sebaliknya karena faktor uang.

Jika artikel saya dipersoalkan, saya tinggal tunjuk kompas.com induknya Kompasiana sebagai sumber beritanya dan media berizin memiliki hak jawab sehingga tidak mudah dikriminalisasi. Lalu bagaimana dengan Haris ?, Freddy Budiman sudah "dibungkam" selamanya dan tidak bisa dikonfrontir lagi, ancaman penjarapun menantinya.

Hukum juga bisa dipakai untuk membungkam  atau untuk menututupi ketidak beresan, bukan hanya dialami oleh Haris, tapi dialami oleh Ongen yang akhirnya dibebaskan. Mungkin pandangan Ongen menemukan gambar yang beredar dimedia dirasa kurang etis, secara spontan pandangannya disampaikan melalui media yang berujung sangkaan penghinaan.

Demikian dengan apa yang saya alami, pengacara saya disangka melanggar penggunaan kop surat dan sudah P21 tapi tak pernah disidangkan. Tujuannya memperkarakan pengacara saya hanya untuk mendapatkan legitimasi pengakuan dari si pengacara bahwa saya sudah menjual perseroan yang intinya modus "perampokan" berkedok hukum, ingin menguasai perseroan dan assetnya secara gratis.

Namun siapaun tidak bisa menguasai dunia, kewenangan pengesahan  kepemilikan bukan urusan polisi, alhasil pelaku hanya berhasil memperoleh hutang perseroan saja, sementara asset berupa tanah tidak dapat dikuasai pelaku karena urusan pertanahan kewenangan BPN dan penyidik tidak mempunyai kewenangan mengintervensi BPN sebagai penyelenggara undang-undang.

Hukum dinilai sudah mengintervensi kekuasaan, begitulah kesan yang terjadi yang membuat presiden meluapkan kemarahan. Namun hukum itu juga berisisi manusia manusia yang mungkin saja memiliki agenda untuk memperbaiki ekonominya secara pribadi dengan menggunakan jabatannya sebagaimana dilakukan oleh penguasa yang sudah banyak pula menjadi pesakitan KPK.

Antara penyelenggara kekuasaan sesungguhnya terjadi perkelahian diantara mereka sendiri yang tak lain karena masalah "rebutan" uang, ada tempat basah yang bisa membikin kaya, ada tempat kering yang hanya mengandalkan gaji semata yang dirasa tidak cukup. Ketimpangan kesejahteraan inilah yang mungkin menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian yang bisa selesai dengan uang.

Setiap saya diminta persetujuan menjual asset, jawab saya, kata polisi perseroan sudah dijual, tanya saja kepolisi. Penyidikpun mendatangi saya meminta jangan mengarahkan pihak-pihak yang tergaransi haknya untuk datang kepolisi.

Sebuah permainan hukum yang biasa dilakukan karena aparat memiliki hak berpendapat yang tidak bisa dibantah karena kewenangan yang dimiliki. Bukan tidak mungkin para kepala daerah merasa resah hingga harus mengadu kepada presiden oleh karena kewenangan yang disalah gunakan sebagaimana yang dilakukan oleh pejabat MA yang sedang diadili itu.

Apalagi dengan adanya biaya politik yang tinggi, pengembalian modal mestinya akan mengesampingkan kepentingan rakyat, rakyat hanya digunakan sebagai jargon politik, atas nama rakyat, membela yang miskin adalah biasa kita jumpai untuk alasan seseorang berjuang. Namun setelah mendapatkan apa yang dia capai, loyalitas akan diberikan kepada yang memberikan kedudukan. Namun, agaknya tidak demikian dengan Sri Mulyani yang masih bersikap profesional walaupun harus membangunkan mimpi sebuah kesuksesan yang dikesankan kepada rakyat.

Jokowi telah meminta agar nyanyian Haris ditindaklanjuti, memang benar ditindak lanjuti dengan melaporkannya ke Bareskrim, Harislah yang harus menghadapi ancaman hukuman kalau pihak yang mestinya mengungkap menutupinya. TNI mestinya bisa mengusut, paling tidak dari anggotanya yang telah terbukti terlibat bisnis ini, namun agaknya tidak dilakukan justru sebaliknya melaporkan Haris. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun