Netizen saat ini sedang dihebohkan beredarnya faksimile permintaan meladeni anak Wakil Ketua DPR RI , Fadli Zon dari sekretariat DPR RI kepada Kedubes RI di Amerika Serikat. Â Tak ayal, faksimile tersebut menuai kritik beragam dari yang halus sampai pedas, namun yang menjadi pertanyaan, apakah hal semacam ini dibenarkan ?
Fakta yang tidak dapat dipungkiri, Fadli Zon adalah pejabat negara yang memiliki resiko keamanan baik untuk dirinya maupun keluarganya atau isteri dan anak-anaknya. Sehingga dalam hal ini, fasilitas penjemputan maupun pendampingan semacam itu menjadi hal yang lumrah saja, namun pandangan politik netizen menjadikan hal tersebut tidak etis. Apalagi saat ini, politik gaduh negeri ini makin menjadi-jadi, pejabat negara mana yang tidak menuai kritik ? Terlebih media yang makin hari terlihat memiliki agenda masing-masing untuk siapa yang bayar. Berita sudah menjadi bagian dari bisnis itu sendiri, makin kencang kemana condongnya, makin aman dari kelangsungan bisnisnya.
Bukan hanya kecenderungan keberpihakan dalam politik, hukumpun sudah masuk ranah seperti itu. Hukum dan politik akan seiring sejalan, keduanya memiliki esensi yang sama, dapat membuat seorang berjaya atau sebaliknya hancur lebur. Tak heran keduanya selalu diikuti oleh kasus menyangkut uang, tak ayal lagi sesama aparatur bisa saling berseberangan seperti yang dialami oleh mantan pimpinan KPK.
Kondisi tersebut tentunya mempengaruhi pola pikir pembaca yang begitu mudah mengeluarkan pendapat mendukung dan menentang sementara korupsi dan penyalahgunaan jabatan makin menjadi jadi. Â Dalam pola pikir yang chaos, jangan harap terjadi kepastian hukum, tafsir bisa berubah setiap saat tergantung kepentingan, siapa yang kuat mempengaruhi dengan cara apapun, dialah pemenangnya.
Ada sebuah kejadian yang saya ikuti dari surat kabar, dua orang narkoba tertangkap tangan oleh Pamal, kemudian kedua terduga tersebut diserahkan kepada Polsek berserta barang bukti narkoba dan kendaraan yang digunakan terduga. Namun, keduanya ternyata dibebaskan, 10 hari kemudian seorang mantan anggota polisi ditangkap dengan sangkaan pemilik narkoba.
Isteri mantan anggota polisi mengajukan praperadilan dengan alasan penetapan tersangka suaminya tidak disertai barang bukti, bukan karena dilepaskannya kedua kurir yang memegang barang bukti. Kedua kurir yang dilepaskan tidak diungkap dalam sidang gugatan, jawaban kepolisian yang memenangkan gugatan karena kedua kurir adalah tersangka, atas keterangan kedua tersangka bahwa barang bukti tersebut milik suaminya.
Setelah sidang diputus yang dimenangkan oleh kepolisian, barulah pengacara tersangka bertanya, mana kedua tersangka itu, mengapa dilepaskan ? Artinya, hukum bisa diatur karena kekuasaan, terpaksa diluruskan lewat praperadilan, mau tidak mau pihak kepolisian harus mencari kedua kurir narkoba yang ditangkap Pomal itu karena sudah terangkat ketengah publik secara formal.
Diatas hanya sebuah contoh saja, apapun dapat dicari pembenarannya termasuk Fadli Zon yang melakukan pembelaan diri namun menuai cemoohan dari netizen. Â Namun apakah meminta fasilitas penjemputan dari KBRI adalah sebuah kesalahan ? Adakah peraturan yang membolehkannya, netizen belum tentu memahaminya namun dapat dengan leluasa menyatakan sebagai kesalahan.
Dalam politik, berbohong sah-sah saja karena dalam politik menjadi strategi namun kalau budaya semacam itu masuk dalam dunia hukum, alamat akan gaduh terus menerus dan tak mengherankan kondisi tersebut dimanfaatkan pula untuk penyalah gunaan jabatan atau transaksi jabatan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H