Penerapan hukum secara formal dan aturan normatif bisa saja sudah benar, tetapi isinya bisa tidak masuk akal dan itu sebuah kenyataan. Mungkin hal semacam ini banyak dialami oleh para pencari keadilan, namun kenyataan yang terjadi adalah adu kekuatan uang. Siapa yang kuat uangnya, dialah pemenangnya yang sudah bukan rahasia lagi. Beberapa kasus mencuat kepermukaan yang melibatkan aparat penegak hukum yang menyalah gunakan jabatan hanyalah butiran pasir dari hamparan pasir pantai.
Seperti itulah kira-kira apa yang saya temui, sebuah perkara hukum yang tak ada endingnya entah sampai kapan sehingga menguras harta benda pelaku para mafia perbankan itu sendiri yang berhasil memindahkan jaminan pinjaman saya ke bank lain, hutang lunas tapi jaminan berpindah tangan dan menjadi jaminan pinjaman pihak lain di Bank lain. Ini modus kejahatan perbankan untuk menguasai asset tanpa harus mengeluarkan uang, over kredit istilahnya.
Berhasil menguasai perseroan dengan trik hukum membidik saya penggunaan kop dan stempel perseroan yang artinya bisa masuk unsur kalau perseroan bukan milik saya. Â Sampai putusan pengadilan tidak dapat saya membela diri karena semua dokumen disembunyikan notaris dan kawan-kawan yang memberikan kesaksian bahwa perseroan sudah saya jual. Dengan trik semacam itu bermaksud menguasai assetnya berupa lahan perumahan.
Tapi mereka tidak menguasai peraturan corporate dan pertanahan sehingga yang terjadi yang berhasil mereka kuasai adalah perseroan dan hutangnya. Persoalan muncul ketika mereka hendak menjual tanah, karena dokumen perseroan disembunyikan, tidak mungkin menggunakan anggaran dasar perseroan karena masih atas nama saya, tidak dapat diubah tanpa persetejuan Menkumham.Â
Alhasil mereka tidak dapat transaksi menjual asset karena harus persetujuan RUPS sedangkan anggaran dasar disembunyikan, namun entah bagaimana caranya, BPN menerbitkan sekitar 40 persil  dari 120 persil jaminan pinjaman saya yang sudah beralih. Mengetahui kejadian tersebut dan saya ada yang mensupply data,  hal tersebut saya pertanyakan. Entah kebetulan atau tidak, tak lama terjadi mutasi, mulai dari kepala sampai kasi serta juru ukur yang biasa melakukan pengukuran dimutasi.
Sertifikat perseroanpun diblokir, alasan yang berkembang karena saya ribut. Akhirnya diadakan perdamaian setelah saya menjalani proses hukum dengan setting hukum tadi. Setelah ditanda tangani akta perdamaian dan pelaku mengaku berhutang dan membayar uang muka, saya kirim SMS kepada pihak BPN, isinya singkat saja, peralihan hak tanah tidak boleh berhutang karena akta perdamaian itu digunakan untuk membuka blokir. Alhasil, BPN melakukan pemblokiran lagi karena akta yang diserahkan adalah pengakuan berhutang.
Selama 5 tahun tidak bisa transaksi akhirnya kreditpun macet dan bank menukar jaminan dengan asset pribadi pelaku untuk dijual sebagai pembayaran pinjamannya. Saya sudah mengantungi  covernote notaris dan bukti akta hak tanggungan tanah yang dijaminkan, mengetahui pinjaman dilunasi dengan menjual asset pribadi pelaku, saya kirim surat menanyakan kebenaran covernote notaris tersebut. Bank mengakui bawa covernote itu benar namun dibatalkan karena tanah bermasalah yang secara tertulis.Â
Berdasarkan surat yang saya terima itu, saya ajukan gugatan melalui pengadilan karena saya nilai bank bohong berdasarkan bukti nomor hak tanggungan yang saya sudah ketahui. Mau tidak mau bank harus membuktikan tanah bermasalah, tiba-tiba saya diundang BPN untuk mediasi, saya buka akta. pelaku tidak mengakui akta yang dia pakai untuk memperkarakan saya, mediasi langsung dibubarkan alias gagal total. Siapa lagi kalau bukan BPN untuk saksi bank membela diri.
Ternyata apa yang saya lakukan membuat panik banyak pihak, intimidasi dan gertakan saya terima, saya menjawab santai, ternyata saya seperti presiden harus berhadapan dengan pejabat tinggi. Saya lempar pertanyaan, kata polisi dan jaksa, tanah bukan milik saya, mengapa BPN mengundang saya ? Dengan polos petugas BPN menyatakan masalah sertifikat bukan urusan jaksa atau polisi. Padahal ada dalam dakwaan jaksa untuk membidik penggunaan stempel dan kop surat bahwa perseroan dan assetnya milik pelaku, namun anggaran dasar perseroan tidak digunakan. Â Sehingga terlihat disini, keputusan penjualan asset tidak berdasar anggaran dasar atau mungkin dipalsukan termasuk memindahkan jaminan saya di BNI ke BPR.
Serapi-rapinya setting hukum, kalau dunia tidak dikuasai, berapapun besar uang yang dimiliki tak ada gunanya, akan terbongkar oleh mereka sendiri karena ingin cuci tangan. Masalahnya, Â gertak atau intimidasi bahkan kekerasan sering mengikuti setting semacam itu kalau berbalik arah perkaranya, dan hal semacam ini juga saya alami. Tapi sepanjang berpegang pada peraturan berlaku, hal ini akan menjadi perlindungan yang ampuh. Bolehlah disebut, hukum bisa gila karena kepentingan dan uang menjadi penting sehingga hukum makin gila.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H