Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Suap DPRD DKI, Siapa Menggaransi dan Digaransi?

10 April 2016   10:47 Diperbarui: 10 April 2016   11:52 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bermula dari terjadinya sebuah pembunuhan dan perampokan sadis yang menimpa pasangan suami isteri Sulaiman dan Siti Haya di Desa Bojongsari Bekasi tahun 1974, tak lama berselang polisi menetapkan Karta dan Sengkon sebagai pelakunya. Tak tahan siksaan, keduanya menanda tangani BAP yang disodorkan penyidik untuk mengakiri siksaan. Sengkon atas perbuatannya yang tidak pernah diakuinya divonuis 12 tahun penjara dan Karta divonis lebih ringan 7 tahun penjara.

Beberapa tahun kemudian, Genul yang masih terbilang keponakannya mengaku sebagai pembunuhnya dan divonis penjara 12 tahun penjara. Namun bukan bukan berarti Sengkon dan Karta langsung bebas, alasan hukum tidak segera membebaskannya yang akhirnya muncul upaya peninjauan kembali ( PK ). Belakangan Mahkamah Konstitusi menetapkan upaya PK dapat dilakukan lebih dari satu kali yang menurut berbagai pihak justru menimbulkan ketidak pastian hukum.

Jika kita melihat penegakan hukum yang terjadi saat ini dimana baik hakim maupun penasehat hukum terlibat suap yang ditandai dengan dicokoknya hamba hukum tersebut oleh KPK, memang pada dasarnya bagimanapun bagusnya system yang diberlakukan tidak ada gunanya sepanjang moral itu tidak diperbaiki.

OTT KPK yang mencokok Mohamad  Sanusi yang adalah penyelenggara negara dan Ariesman Widjaia yang seorang penguasaha, saat ini masih sedang hangat hangatnya menjadi fokus pembicaraan publik maupun pemberitaan yang menutup kasus pembunuhan Mirna yang semula menjadi fokus perhatian. Tentu saja, penyidik tidak melakukannya sebagaimana Karta dan Sengkon terhadap Jessica yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Dua kasus yang pada dasarnya sama yaitu perbuatan tanpa jejak sehingga hukum harus mendapat alat bukti yang kuat dimana KPK melakukan OTT. Sebaliknya, dalam kasus pembunuhan Mirna, pendapat lebih mengedepan dengan berbagai argumentasi karena tidak ada saksi yang melihat langsung perbuatan Jessica yang disangka sebagai pembunuhnya.

Mengaca pada kasus Karta dan Sengkon yang menjadi monumen penerapan hukum mewakili rakyat kecil ini, adalah cara mudah menjalankan tugas, baik dengan kekerasan maupun rekayasa. Peluang melakukan rekayasa hukum inilah yang sering digunakan dalam praktik hukum sehingga memungkinkan terjadinya suap dan pengaturan perkara.

Secara kebetulan saya bergelut dalam dunia usaha pengembang, usaha yang hanya dapat berlangsung oleh didukung legalitas yang lengkap memang sering terbentur pada arogansi kekuasaan yang memiliki kewenangan dalam kelangsungan usaha itu. Kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat menempatkan para penguasaha ini sebagai mesin uang  dengan memberikan peluang atau hambatan yang berujung pada uang.

Apa yang saya temui sebagai fakta, baik pengacara, penyidik, jaksa maupun hakim tidak memahami bahwa anggaran dasar perseroan adalah aturan yang dibuat oleh pendiri perseroan yang selanjutnya diajukan kepada menteri hukum dan HAM untuk disahkan dengan pertimbangan undang-undang dan peraturan yang berlaku.  Anggaran dasar perseroan dikesampingkan untuk mendapatkan legitimasi tidak terjadi indikasi pembobolan bank dengan menggunakan asset perseroan yang saya dirikan itu, tanpa melihat anggaran dasar perseroan, pertimbangan hukum ( bukan putusan ) menyatakan perseroan telah saya jual sehingga saya dinyatakan tidak berhak menggunakan kop surat dan stempel perseroan.

Oleh karena pendapat tersebut, Notaris aman, Bank aman serta pelaku aman dari tuntutan saya karena perseroan dinyatakan bukan milik saya.  Seperti inilah yang saya sebut arogansi hukum, betapa tidak hukum dapat memutar balik tatanan yang berlaku dimana saya pertanyakan mengapa kedudukan notaris lebih tinggi dari menteri Hukum dan Ham  dimata penerapan hukum.

Saya ikuti penerepan hukum seperti itu, pertimbangan hukum harus dipegang bahwa perseroan bukan milik saya dengan menyembunyikan anggaran dasar perseroan. Karena asset perseroan berupa tanah, peralihan hak tanah ada aturan dan perundang2an yang harus ditaati dan peralihan hak tanah harus mengacu pada anggaran dasar perseroan. Akibatnya, dua institusi pemerintah itu saling menggaransi. Siapa yang dirugikan tak lain kepentingan masyarakat yang haknya ikut tersandera. Sementara pelakunya harus menanggung beban secara pribadi, menanggung hutang perseroan dan beban lainnya.

Akibat dari proses hukum seperti ini, hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan perseroan bukan milik saya, sementara BPN untuk melakukan peralihan hak tanah harus melihat anggaran dasar perseroan yang oleh peradilan "disembunyikan" atau tidak digunakan untuk mendapat legitimasi tidak terjadi pembobolan bank. Saling menggaransi antara pendapat hakim dan payung hukum peralihan hak tanah pada akhirnya hutang perseroan terlunasi dengan sendirinya dengan mengorbankan asset pribadi pelakunya. Notaris rekanan bank yang mestinya bertanggung jawab akhirnya bersembunyi.

Kalau perbuatan diawali secara bengkok maka akan seterusnya bengkok, walaupun Ahok menyatakan memiliki kewenangan dan sudah mengantungi perda lama, mengapa harus ada raperda lagi  yang memerlukan persetujuan wakil rakyat untuk disahkan menjadi perda. Apa yang saya temui pada intinya sama, hanya ingin menututupi indikasi praktik pembobolan bank yang saya sampaikan, peradilan menyembunyikan anggaran dasar perseroan justru asset terlindungi karena terblokir.

Dunia pengembang tak jauh-jauh berbeda, yang berbeda adalah investasinya dan anggaran dasarnya karena anggaran dasar adalah atas permintaan pendirian perseroan sebagai wadah usaha yang diharuskan oleh peraturan. Jangankan tanah reklamasi, penggunaan tanahpun harus disesuaikan dari tanah yang semula peruntukan pertanian/perkebunan menjadi tanah untuk pemukiman.  Tata guna peruntukan lahan inilah yang harus mengacu pada tata ruang yang ditetapkan melalui perda.

Ahok dapat saja mengklaim pemberian izin pemberian reklamasi adalah kewenangannya namun dipastikan laut tidak masuk dalam rencana tataguna lahan yang merupakan syarat izin lokasi untuk pengembang. Carut marut dalam perizinan tataguna lahan ini bukan hanya monopoli pengembang tapi sudah menjadi masalah tersendiri yang sering berujung dengan kolusi yang menimbulkan masalah lain.

Terkait dengan tataguna lahan ini bahkan sering menimbulkan benturan harizontal maupun vertikal yang menimbulkan korban jiwa. Pemberian konsesi perkebunan untuk pemilik modal sering mengorbankan kepentingan masyarakat yang memicu tindakan anarkis dan yang paling baru adalah longmarch yang dilakukan oleh warga jambi yang berniat menemui presiden Jokowi yang ingin menyampaikan permasalahannya.

Hutan register misalnya adalah kewenangan departemen kehutanan, namun dalam areal kehutanan terdapat infrastruktur yang dibangun oleh pemerintah daerah berupa jalan, kantor pemerintahan atau fasilitas kesehatan dan sekolah. Inilah fakta yang dihadapi, sebuah pembiaran terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah sendiri.  Penertiban hanya akan menimbulkan perlawanan dan akhirnya terjadi kolusi yang berujung pada transakai jabatan.

Ibarat buah simalakama, semakin Ahok memperkuat argumentasi pemberian izin itu adalah kewenangannya semakin menggransi investasi yang sudah dilakukan oleh pengembang dan secara eksplisit tanggung jawab investasi itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemberi izin. Tak berbeda dengan fakta yang saya temui, ketika hakim berpendapat bahwa perseroan bukan milik saya tanpa melihat anggaran dasar, semakin kukuh pendapat itu semakin kukuh pula hutang perseroan harus dibayar oleh pelaku, namun ketika akan menjual asset maka harus melihat anggaran dasar untuk persetujuannya.

Saya mengambil fakta sebagai komparasi dimana jika didepan bengkok, maka bengkok itu akan mencuat dengan sendirinya karena negara memiliki konstitusi yang implementasinya melalui undang-undang dan peraturan yang akan saling berkait menjadi sebuah lingkaran yang tidak terputus. Indikasi adanya grand corruption yang disampaikan oleh KPK dapat diterjemahkan terjadi saling menggaransi yang maksudnya OTT KPK terhadap anggota DPRD dan pengembang akan berdampak hukum luas. Dibalik proses tersebut ada manusia-manusia yang bisa saja memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan investor ( tujuannya seperti itu ) tetapi ketika ada uang yang disebut suap maka langsung terjadi saling saling menggaransi.

Wajarlah kalau banyak yang memiliki kepentingan mengingat investasi yang begitu besar dan bayangan keuntungan yang begitu besar, perkara yang sederhana bisa menjadi pelik karena upaya lepas tangan agar tak tersentuh oleh KPK. Namun, pada akhirnya akan menjadi putusan beberapa orang pemangku jabatan yang disebut hakim, hakim juga manusia, hakim juga melihat sekeliling, dan fakta yang saya temui, isi akta saja dapat di ubah ubah, kesaksian dapat diganti, peraturan bisa ditafsirkan yang artinya kasus ditutup seperti tak pernah terjadi sesuatu. Mudah2 an hakim masih memihak kepentingan rakyat dari pada menyelamatkan jabatan koleganya karena hakim juga pegawai pemerintah dalam pemerintahan dengan budaya pamrih karena besarnya ongkos politik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun