Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polri dan KPK Seiring Sejalan?

31 Maret 2016   22:12 Diperbarui: 31 Maret 2016   22:35 2
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengungkapkan, perkara hukum terhadap almarhum Siyono tanpa melalui proses peradilan merupakan ketidakadilan. Dahnil pun mengancam akan membawa kasus tewasnya terduga teroris ini ke mahkamah internasional.

Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa Siyono yang memiliki nama samaran Afif itu merupakan bagian dari kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI). Menurut Badrodin, Siyono bergabung dengan JI sejak tahun 2001 dan terlibat di dalam sejumlah aksi teror. Namun demikian dalam kesempatan Kapolri menyatakan sudah mengintrusikan Divisi Propam untuk menyelidiki tewasnya Siyono.

Suratmi, istri terduga teroris almarhum Siyono menceritakan mengaku ia sempat diberi uang dua gepok saat berada di Jakarta. Hal itu disampaikan Suratmi saat berkunjung ke kantor PP Muhammadiyah, Selasa (29/3/2016).Uang dua gepok yang dibungkus koran dan diikat lakban berwarna coklat itu diberikan seseorang yang diduga salah satu anggota Polwan untuk biaya pemakaman suaminya dan biaya santunan untuk anak-anaknya.

Kalimat diatas adalah cuplikan pemberitaan antara lain yang dirilis oleh Kompas.com. Bahwa ancaman ketua Pemuda PP Muhammadyah akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional secara sederhana oleh karena tindakan Polri itu sendiri. Satu sisi Kapolri menyatakan bahwa Siyono adalah teroris, disisi lain istri Siyono mendapat santunan dengan nilai cukup besar. Dalam bahasa para ulama, supaya istri Siyono merelakan kematian suaminya karena sudah takdir Allah. Namun merelakan dalam bahasa politik hukumnya agar tidak menuntut alias tutup mulut.

Siyono adalah terduga teroris, belum dapat disebut sebagai teroris karena belum dibuktikan oleh sebuah peradilan. Yang seharusnya lebih bijak andai Kapolri mempersilahkan pihak independen untuk melakukan investigasi dalam penangkapan Siyono, bela membela dan tuduh menuduh di media hanya menimbulkan polemik yang merugikan kredibilitas Polri itu sendiri.

Persoalan yang sesusungguhnya adalah menyangkut kewenangan, dalam argumentasi Kapolri kewenangan menyatakan seseorang dinyatakan bersalah atau tidak adalah kewenangan pengadilan dan dalam hal ini apa yang disampaikan oleh Kapolri adalah pembelaan diri yang justru mengundang polemik.

Adalah sebuah fakta yang saya temui, bahwa pengkaburan kewenangan inilah yang sering digunakan sebagai celah dalam permainan hukum. Dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, kalau alat buktinya tidak benar, putusan hukum menjadi benar walaupun salah menghukum orang seperti yang dialami oleh Karta dan Sengkon yang melahirkan adanya upaya hukum PK.

Sebuah proses hukum yang saya temui, seseorang melapor kepada kepolisian mengaku telah membeli perseroan milik saya, melapor kepada polisi tujuannya untuk mendapat legitimasi kepemilikan perseroan agar terhindar dari dugaan praktek pembobolan Bank ( tergambar dalam BAP ) dengan menggunakan asset milik saya yang saya atasnamakan perseroan karena syarat usaha perumahan, tanah harus atasnama perseroan. Penyidik berpendapat perseroan sudah saya jual, sehingga kop surat perseroan yang saya gunakan untuk menyampaikan indikasi dugaan pembobolan bank dapat dipermasalahkan.

Setelah keluar putusan pengadilan dimana BAP tersebut tertulis dalam putusan, saya mendapat meriam untuk menembak balik peradilan yang saya nilai sesat. Bahwa kewenangan menetapkan kepemilikan perseroan adalah kewenangan menteri hukum dan HAM, begitu bunyi undang undangnya, bukan kewenangan penyidik. Versi pelapor yang diamini oleh penyidik dan Jaksa adalah benar si pelapor saya angkat sebagai direksi, namun dalam anggaran dasar yang disahkan oleh Menkumham kepemilikan perseroan direprensentasikan dalam bentuk saham, 75 % saham milik saya.

Ketika saya pertanyakan anggaran dasar mana yang dipakai, baru disadari memang yang dilakukan oleh pelapor adalah praktek pembobolan bank sebab penjaminan asset tersebut tanpa persetujuan saya sebagai pemegang mayoritas suara mutlak. Akibatnya, bank penerima jaminan asset saya menekan pelapor untuk melunasi pinjamannya, mau tak mau, rumahnya terjual, dananya terkuras sementara asset milik saya aman oleh karena terblokir. Belum sampai disitu penderitaan pelapor, tanah sudah dijual sebagian ikut bermasalah karena penjualan tanpa persetujuan saya. Karena penjualan dilakukan melaui KPR Bank, bank pemberi KPR akan meminta pelapor untuk segera melunasi.

Adalah sebuah kesalahan persepsi tentang kewenangan kepolisian oleh pelapor, tentu saja penyidik yang mendapat laporan hanya menerima bukti dan cerita dari pelapor dan saksi dan membuat kesimpulan, jaksa sepakat maka selesailah tugas penyidik. Ketika saya melakukan gugatan balik mengenai kewenangan notaris, yang sebenarnya untuk memastikan bahwa semua akta perseroan itu benar untuk mendapatkan kepastian anggaran dasar yang harus digunakan sebagai pedoman pengambilan keputusan perseroan, keputusannya, hakim mengarahkan agar menggugat penggunaan akta oleh pelapor.

Dari keputusan hakim tersebut, tergambar bahwa penegak hukum tidak bersalah, yang bersalah adalah pelapor yang menggunakan akta palsu dan memberikan keterangan yang tidak benar. Ibarat warung pecel, pemilik warung hanya peracik pecel sesuai permintaan pembeli.

Penjelasan Kapolri tersebut maknanya sama, kesimpulan bahwa Siyono adalah pelaku teroris adalah berdasarkan keterangan orang lain yang ditangkap lebih dahulu, bagaimana kalau informasi tersebut bohong ? Polisi tidak bersalah, informan yang bersalah. Apakah Divisi Propam akan membuka kebenaran ?  Pengawasan internal mungkin  sulit untuk bersikap netral mengingat alasan yang disampaikan oleh Kapolri.

Tak berbeda dengan alasan KPK menyangkut pembebasan tanah Sumber Waras, antara temuan BPK dan temuan KPK masih belum terjadi kesamaan pandang, masih mencari NIAT yang mengundang munculnya meme yang menggelitik didunia medsos. Yang terkesan disini, Polri dan KPK tampak seiring sejalan dimana sebelumnya terjadi saling "mentersangkakan" pimpinan kedua institusi ini yang berakhir kalahnya KPK dalam praperadilan dan deponering perkara pinpinan KPK.

 Seperti dalam berbagai kasus korupsi, terjadinya praktik suap ditengarai karena anggaran sudah diketahui telah di mark up nilainya, disebut oleh hukum sebagai perbuatan suap. Tapi fakta yang sebenarnya, penyelenggara negara mengambil "keuntungan" didepan dari keputusan yang dimilikinya. Hal seperti sudah membudaya sehingga terkesan kalau sampai naik menjadi masalah hukum karena kesialan semata.  Yang menjadi pertanyaan, mengapa terjadi pembiaran berlakunya tariff untuk mendapatkan proyek pemerintahan semacam itu ?

Jika aparatur pemerintah tidak memberi contoh berlaku hukum secara baik, penegakan hukum di masyarakat sangat sulit ditegakkan, penyalah gunaan jabatan mulai dari jalanan sampai ruang berkursi empuk menjadi sebuah budaya tau sama tau yang bermakna uang. OTT yang dilakukan oleh KPK hari ini yang melibatkan pihak swasta, semakin mengukuhkan bahwa praktik suap yang dimaksud oleh hukum selama ini memang diberi peluang.  Begitu juga dalam praktik hukum, pengkaburan kewenangan menjadi celah terjadinya praktik hukum yang menyimpang. Namun baik dari penjelasan Kapolri perihal tewasnya Siyono maupun penjelasan KPK mengenai pembelian tanah RS Sumber Waras keduanya menunjukkan kedua institusi ini sudah seiring sejalan dalam memberikan alasan kepada publik dan keduanya mengundang polemik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun