Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengungkapkan, perkara hukum terhadap almarhum Siyono tanpa melalui proses peradilan merupakan ketidakadilan. Dahnil pun mengancam akan membawa kasus tewasnya terduga teroris ini ke mahkamah internasional.
Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa Siyono yang memiliki nama samaran Afif itu merupakan bagian dari kelompok teror Jamaah Islamiyah (JI). Menurut Badrodin, Siyono bergabung dengan JI sejak tahun 2001 dan terlibat di dalam sejumlah aksi teror. Namun demikian dalam kesempatan Kapolri menyatakan sudah mengintrusikan Divisi Propam untuk menyelidiki tewasnya Siyono.
Suratmi, istri terduga teroris almarhum Siyono menceritakan mengaku ia sempat diberi uang dua gepok saat berada di Jakarta. Hal itu disampaikan Suratmi saat berkunjung ke kantor PP Muhammadiyah, Selasa (29/3/2016).Uang dua gepok yang dibungkus koran dan diikat lakban berwarna coklat itu diberikan seseorang yang diduga salah satu anggota Polwan untuk biaya pemakaman suaminya dan biaya santunan untuk anak-anaknya.
Kalimat diatas adalah cuplikan pemberitaan antara lain yang dirilis oleh Kompas.com. Bahwa ancaman ketua Pemuda PP Muhammadyah akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional secara sederhana oleh karena tindakan Polri itu sendiri. Satu sisi Kapolri menyatakan bahwa Siyono adalah teroris, disisi lain istri Siyono mendapat santunan dengan nilai cukup besar. Dalam bahasa para ulama, supaya istri Siyono merelakan kematian suaminya karena sudah takdir Allah. Namun merelakan dalam bahasa politik hukumnya agar tidak menuntut alias tutup mulut.
Siyono adalah terduga teroris, belum dapat disebut sebagai teroris karena belum dibuktikan oleh sebuah peradilan. Yang seharusnya lebih bijak andai Kapolri mempersilahkan pihak independen untuk melakukan investigasi dalam penangkapan Siyono, bela membela dan tuduh menuduh di media hanya menimbulkan polemik yang merugikan kredibilitas Polri itu sendiri.
Persoalan yang sesusungguhnya adalah menyangkut kewenangan, dalam argumentasi Kapolri kewenangan menyatakan seseorang dinyatakan bersalah atau tidak adalah kewenangan pengadilan dan dalam hal ini apa yang disampaikan oleh Kapolri adalah pembelaan diri yang justru mengundang polemik.
Adalah sebuah fakta yang saya temui, bahwa pengkaburan kewenangan inilah yang sering digunakan sebagai celah dalam permainan hukum. Dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, kalau alat buktinya tidak benar, putusan hukum menjadi benar walaupun salah menghukum orang seperti yang dialami oleh Karta dan Sengkon yang melahirkan adanya upaya hukum PK.
Sebuah proses hukum yang saya temui, seseorang melapor kepada kepolisian mengaku telah membeli perseroan milik saya, melapor kepada polisi tujuannya untuk mendapat legitimasi kepemilikan perseroan agar terhindar dari dugaan praktek pembobolan Bank ( tergambar dalam BAP ) dengan menggunakan asset milik saya yang saya atasnamakan perseroan karena syarat usaha perumahan, tanah harus atasnama perseroan. Penyidik berpendapat perseroan sudah saya jual, sehingga kop surat perseroan yang saya gunakan untuk menyampaikan indikasi dugaan pembobolan bank dapat dipermasalahkan.
Setelah keluar putusan pengadilan dimana BAP tersebut tertulis dalam putusan, saya mendapat meriam untuk menembak balik peradilan yang saya nilai sesat. Bahwa kewenangan menetapkan kepemilikan perseroan adalah kewenangan menteri hukum dan HAM, begitu bunyi undang undangnya, bukan kewenangan penyidik. Versi pelapor yang diamini oleh penyidik dan Jaksa adalah benar si pelapor saya angkat sebagai direksi, namun dalam anggaran dasar yang disahkan oleh Menkumham kepemilikan perseroan direprensentasikan dalam bentuk saham, 75 % saham milik saya.
Ketika saya pertanyakan anggaran dasar mana yang dipakai, baru disadari memang yang dilakukan oleh pelapor adalah praktek pembobolan bank sebab penjaminan asset tersebut tanpa persetujuan saya sebagai pemegang mayoritas suara mutlak. Akibatnya, bank penerima jaminan asset saya menekan pelapor untuk melunasi pinjamannya, mau tak mau, rumahnya terjual, dananya terkuras sementara asset milik saya aman oleh karena terblokir. Belum sampai disitu penderitaan pelapor, tanah sudah dijual sebagian ikut bermasalah karena penjualan tanpa persetujuan saya. Karena penjualan dilakukan melaui KPR Bank, bank pemberi KPR akan meminta pelapor untuk segera melunasi.
Adalah sebuah kesalahan persepsi tentang kewenangan kepolisian oleh pelapor, tentu saja penyidik yang mendapat laporan hanya menerima bukti dan cerita dari pelapor dan saksi dan membuat kesimpulan, jaksa sepakat maka selesailah tugas penyidik. Ketika saya melakukan gugatan balik mengenai kewenangan notaris, yang sebenarnya untuk memastikan bahwa semua akta perseroan itu benar untuk mendapatkan kepastian anggaran dasar yang harus digunakan sebagai pedoman pengambilan keputusan perseroan, keputusannya, hakim mengarahkan agar menggugat penggunaan akta oleh pelapor.