Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menelaah Keprihatinan SBY (1)

22 Maret 2016   19:39 Diperbarui: 23 Maret 2016   02:44 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang dimaksud pembangunan infrastruktur ekonomi adalah pembangunan sarana penunjang ekonomi antara lain sektor perhubungan, sektor pertanian dan sektor energi. Kecuali untuk sektor pertanian, cost recovery dapat diperoleh dari pengenaan tarif kepada penggunanya serta dapat bersifat komersial.

Cost recovery dimaksud adalah pengembalian investasi yang selanjutnya akan digunakan untuk investasi secara berkesinambungan. Untuk sektor pertanian seperti pembangunan waduk dan percetakan sawah tehnis, pengembalian investasinya berasal dari penambahan pendapatan negara dari peningkatan pendapatan rakyat sebagai wajib pajak, misalnya dari PBB atau retribusi hasil bumi dan pajak penjualan.

Mungkin banyak yang kurang faham dengan dunia investasi semacam ini sehingga pemahaman yang didapat berdasarkan argumentasi politik semata. Kekurang fahaman inilah yang dimanfaatkan oleh para politikus untuk mencari dukungan publik atau masyarakat dalam persaingan pemilihan langsung.

Kita sering mendengar maraknya penentangan terrhadap kapitalisme dan liberalisasi yang disebut sebut sebagai neo imperialisme namun fakta yang saya temuai dalam dunia maya banyak pihak yang mendukung secara total. Tak lain ini berkat kepiawaian politikus membalik keadaan dari penentangan menjadi dukungan total. 

Bisa terjadi karena banyak masyarakat yang awam tanpa pengetahuan yang memadai sangat percaya begitu saja oleh opini yang dikembangkan. Dan bahkan keyakinan tersebut oleh opini yang dibangun layaknya keyakinan sebuah agama, jangan dibantah karena akan dinilai sesat pikir. Luar biasa.

Beberapa waktu yang lalu, SBY mengungkapkan pandangananya, jangan membangun infrastruktur saat ekonomi sedang melemah. Pandangan ini tentunya ditujukan untuk pembangunan infrasrtuktur ekonomi yang didanai pinjaman luar negeri yang digaransi oleh perbankan nasional.  Sebuah pandangan yang dikembangkan dan dicerna oleh publik tidak ada salahnya dengan menggunakan dana bukan dari pemerintah sehingga pandangan SBY tersebut mendapat respon negatif.

Dalam ekonomi yang sedang lesu dimana pendapatan dan daya beli rakyat sedang menurun adalah sangat riskan menjadikan rakyat sebagai pangsa pasar. Kondisi inilah yang sesungguhnya menjadi pedoman sebuah investasi yang pengembaliannya berdasarkan pada pengenaan tarif seperti halnya jalan tol atau kereta cepat.

Dengan kata lain, investasi tersebut menjadikan rakyat sebagai pangsa pasar dari para investor dan resikonya, apabila pendapatan tarif tidak tercapai maka pengembaliannya akan pula mengalami hambatan. Resikonya, investor akan meminta pembayaran kepada pemberi jaminan atau bank garantor yang ditunjuk oleh pemerintah. Apabila bank penjamin tidak mampu mengatasi maka, investasi yang dibangun akan disita pemberi pinjaman. Artinya, bahwa investasi dengan menggunakan pinjaman seperti ini tak lain tujuannya mengarah kepada privatisasi yang dikuasai oleh kaum kapitalis asing.

Seiring dengan polecy pembangunan infrastruktur menggunakan dana pinjaman seperti ini, disusul dengan polecy memberikan kemungkinan pihak asing dibolehkan memiliki properti di Indonesia dengan alasan paket ekonomi. Sehingga, resiko yang dihadapi oleh bangsa ini adalah kemungkinan sarana publik vital untuk kepentingan masyarakat banyak dikuasai oleh kapitalis asing. Jika hal ini terjadi, bukan tidak mungkin masyarakat akan menjadi orang asing dinegerinya sendiri.

Berbeda dengan pembangunan bendungan atau percetahan lahan pertanian yang umumnya menggunakan dana dari Word Bank yang didirikan atas dasar kesepakatan negara-negara para pemegang saham dan persetujuannya melalui DPR RI, pinjaman untuk proyek kereta cepat misalnya tidak melalui persetjuan DPR RI.

Inilah yang terjadi saat ini, politik mampu membalikan keadaan dimana sebelumnya publik menentang neoliberalisme dan kapitelisme, berkat kepiawaian orasi tokoh politik, neo lebralisme dan kapitalisme mendapat dukungan secara total yang nantinya sarana vital ada kemungkinan milik privat dan asing kalau rakyat tidak mampu membayar tarif yang ditentukan. Sebuah keadaan yang didukung secara total untuk mengarahkan suatu saat rakyat menjadi orang asing dinegeri sendiri.

Jangan membangun infrastruktur dalam ekonomi yang menurut SBY  mungkin sebuah pandangan yang mengingatkan kepada rakyat bahwa investasi tersebut harus dibayar secara langsung oleh rakyat melalui penetapan tarif. Bagaimana kalau tidak banyak rakyat yang menggunakan karena banyak alternatif lain yang lebih murah ? Pelan tapi pasti proyek semacam ini dimiliki oleh asing karena operator tak mampu membayar pinjamannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun