Namanya Tan Ailing, mamanya memanggilnya Aling. Tubuhnya yang tinggi semampai, bahkan jangkung untuk ukuran wanita, 175 cm adalah anak dari pemilik rumah makan yang sering saya kunjungi. Buat saya menu mie atau nasi gorengnya terasa istimewa, lebih istimewa lagi kalau Aling yang melayani.
Kuperhatikan Aling rajin dan cekatan, kadang pagi hari aku pesan nasi goreng melalui telpon agar diantar ke mess tempat aku tinggal yang tidak jauh dari rumah makan itu. Seperti biasa Aling yang mengantar dengan mengendarai sepeda balap yang membuat aku tersenyum. Tak ada rasa canggung, Aling yang berparas cantik ini menjalani hari-hari membantu orang tuanya berdagang diluar jam kuliahnya.
Saya yang masih lajang, ditunjuk oleh pimpinan instansi tempat saya bekerja untuk memimpin kantor perwakilan nun jauh di Indonesia bagian tengah. Dengan profesi dan kedudukan saya, sangatlah mudah bergaul mulai dari masyarakat bawah sampai pejabat daerah di kota kecil itu. " Bapak pejabat dari pusat kah ...? Begitulah orang sering bertanya karena mobil dinas yang kugunakan berpelat pemerintah dari Jakarta. Aku cuma menjawab dengan senyuman saja.
" Besok kami tidak buka ..... " Kata mamanya Aling ketika aku makan mie kesukaanku malam itu agar pagi besok Aling mengantar nasi goreng untuk sarapan.
" Mami mo pigi antar Aling wisuda .... " mama Aling melanjutkan dengan logat khas indonesia tengah yang setahu saya seorang single parent menghidupi Aling dan dua adik lakinya yang masih kecil.
" Kalo begitu aku antar besok ... " Kataku menawarkan diri, sejenak mamanya Aling ragu, menengok Aling yang sedang menyajikan mie kesukaan saya.
" Sudah ... jangan dibantah, besok saya jemput ... " Kata saya seperti memaksa.
Pagi-pagi saya menjemput mereka, sudah berdandan rapi layaknya pergi pesta. Sebentar saya menghabiskan makan pagi yang sudah disiapkan.
Mata para wisudawan dan keluarganya tampak heran memandang kami bertiga, mungkin bagi mereka agak janggal Aling dan mamanya berwajah tipikal Cina sedangkan saya berasal dari Jawa. Bisik bisik teman Aling menanyakan saya, sayapun nyeletuk asal nyeplos memperkenalkan diri sebagai calon suami yang langsung dilirik mamanya Aling.
Ternyata Aling mendapat nilai tertinggi yang disebut oleh pembawa acara dalam wisuda D3 itu yang diminta tampil ke mimbar, ikut naik maminya, kata saya sambil berdiri meminta mamanya Aling ikut naik kepanggung. Tak saya sadari, sayapun naik ke panggung, ingin turun lagi sudah terlanjur naik mimbar rasanya tidak enak dan diperkenalkan sebagai keluarga wisudawan terbaik untuk mendapatkan ucapan selamat.
Waduh, diperkenalkan jadi keluarga Cina, saya membatin. Tentu saja langsung mengundang perhatian, mungkin tubuhku yang juga jangkung, Ailing juga jangkung mengundang keingin tahuan para undangan. Terlebih kami dinimta memberikan satu patah dua kata sambutan, maminya Aling melirik saya agar saya yang berbicara didepan micropone. Pede sekali saya memberikan kata sambutan dan ucapan terima kasih sambil memuji almamater yang telah menelurkan manusia-manusia yang berguna bagi masayarakat yang diiringi tepuk tangan hadirin.
Dalam perjalanan pulang, saya tertawa terbahak-bahak, main senetron jadi pacar Aling, kata saya. Tersipu-tersipu keduanya mendengar celoteh saya, Aling mati pasaran, diumumkan pacarnya saya. Memang Aling sudah punya pacar ? Jangan-jangan diputusin kalau tau, kata saya berseloroh, wajah maminya Aling yang duduk dibelakang tampak memerah saya pandang dari kaca spion. Sudah selesai kuliah, besok bawa lamaran ke kekantor saya, jadi sekretaris saya saja, saya menawarkan job buat Aling.
Aling akhirnya bekerja di Kantor saya, segala keperluan pribadi dia yang urus, mulai dari makan sampai urusan pakaian dan sabun mandi. Tiap hari dialah yang memberesi kamar tidur saya, pakian kotor dimasukkan ke palstik dibawa pulang untuk dicuci, belakangan saya tau yang nyuci pakaian saya mamanya. Waktu terus berjalan, tidak ada kata cinta, tidak ada kata rayuan, hubungan saya anggap dia sebagai orang yang bekerja.
Tapi anehnya satu persatu, cewek-cewek yang biasa mengajak saya piknik atau nonton mulai menghilang, usut punya usut rupanya dihalangi Aling yang disebut herder, galaknya minta ampun kata mereka. Rupanya gurauan saya sewaktu wisuda dianggap pinangan, celaka pikir saya, kena batunya harus menjaga perasaan.
Saya harus ke Jakarta untuk urusan kantor, Aling saya ajak serta. Disela urusan dinas, saya ajak pergi belanja ke Pasar Baru. Aling yang bertubuh tinggi ini memang manja, kalau berjalan biasa memegangi lengan saya dengan kedua tangannya tapi kadang juga jahil kalau memakai sepatu hak tinggi. Karena memakai hak tinggi,saya jadi lebih pendek darinya, tanganya dilingkarkan ke leher saya seperti memperlakukan saya sebagai anak2. Tentu saja kelakuannya menarik perhatian para pedagang yang umumnya orang Tionghoa.
Ketika memasuki sebuah toko, entah apa yang diucapkan oleh pemilik toko dalam bahasa mandarin yang tidak saya mengerti, Aling marah, agaknya dia tersinggung. Aling segera menarik tangan saya keluar dari toko itu, kamu kenapa ? Tanya saya heran karena ucapan pemilik toko itu saya tidak mengerti. Rupanya pemilik toko itu menegur dia, berlaku mesra seperti itu dengan orang Indonesia memalukan. Mendengar omelan Aling saya jadi geli, kamu Cina tetep Cina, saya Jawa tetep Jawa, kenapa diladeni, kata saya.
Aling sudah tidak tau lagi dimana tanah leluhurnya, dia hanya mendapat cerita leluhurnya berasal dari daratan Tiongkok, dari Kwantung. Hanya itu yang dia tau yang menjadi indentitas asal asul seperti orang batak yang tinggal di jawa, walaupun bahasanya sudah memakai bahasa jawa, logatnya logat jawa, tidak mengerti bahasa Batak, tapi dia tetap mengaku orang Batak, nama marga tetap dia sandang. Begitulah saya beri pemahaman kepada Aling untuk meredakan kesebalannya.
Aling yang wajahnya masih merengut saya ajak masuk restoran, saya lihat ada sepasang pria dan wanita sedang minum, yang wanita saya perkirakan usianya belum 20 tahun, yang pria mungkin sudah lebih 60 tahun. Saya minta Aling untuk menerka, apakah mereka ayah dan anak, kakek dan cucu atau lagi pacaran. Melihat, gerak gerik dan cara berbicaranya membuat saya tersenyum, Aling menginjak kaki saya supaya saya jangan usil.
Bersambung
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H