Tak kurang Presiden Jokowi menghimbau agar Polri move on menyelesaikan kasus mantan pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjayanto yang hingga kina tak kunjung selesai. Publik seolah melupakan kedua kasus ini setelah ramai menjadi polemik di jagat pemberitaan beberapa waktu silam oleh pemberitaan kasus pembunuhan Mirna.
Kasus salah tangkap, salah penjara banyak menimpa rakyat kecil yang tidak terangkat kepermukaan. Seperti hanya Robin Napitupulu yang babak belur dihajar polisi karena diduga sebagai komplotan pencuri mobil di Tanjung Duren Jakarta Timur yang akhirnya dibebaskan karena tidak terbukti dan berhak mendapat ganti rugi.
Kasus salah tangkap ini hanya satu dari sederet kisah salah tangkap yang mengalami perlakuan yang tidak manusiawi untuk memperoleh pengakuan yang muncul dalam pemberitaan. Menteri hukum dan HAM Yasonna Laoly sempat menyentil kasus salah tangkap yang dikatakan merugikan negara. Dia mengusulkan ganti rugi para korban salah tangkap yang selama ini berkisar Rp 3 juta sampai Rp 5 juta dinaikan hingga 200 kali lipat dalam perubahan Peraturan Pemerintah no 27 tahun 1983 tentang ganti rugi salah tangkap.
Seperti halnya kedua mantan pimpinan KPK tersebut harus mundur dari jabatan karena status tersangka yang disandangnya dari kepolisian sementara Komjen BG status tersangkanya dibatalkan oleh pengadilan. Yang menjadi pertanyaan, mengapa proses hukum keduanya berhenti ? Begitu juga dengan kasus mantan pimpinan KPK sebelumnya Candra Hamzah dan Bibit Waluyo yang disebut dideponering yang kira kira dihentikan karena kepentingan yang lebih besar lagi.
Kewenangan yang menentukan nasib seseorang yang dipegang oleh institusi Polri menjadi dilematis, satu sisi sebagai instrumen penegakan hukum, dilain sisi dapat digunakan demi kepentingan tertentu jika tidak ada konsekwensi yang tegas. Seperti halnya tindakan penganiayaan untuk mendapat pengakuan mestinya sudah harus ditinggalkan tetapi hal itu terus terjadi karena konsekwensinya yang diberlakukan hanya bersifat administratif. Sedangkan bagi masyarakat, dengan bukti visum dokter menunjukkan memar sudah dapat menjadi bukti formal memenuhi unsur adanya tindak pidana.
Tidak mengakui perbuatan yang disangkakan adalah hak dalam pembelaan setiap orang, pengakuan adalah bukti yang paling valid sehingga penyidik sering menggunakan kekerasan untuk mendapat pengakuan tersebut. Terkait dengan Jessica, publik secara tidak langsung melakukan pengawalan sehingga kemungkinan kekerasan tidak dilakukan. Penahanan adalah sebuah cara untuk melakukan penekanan secara psikis untuk mendapat pengakuan, jika demikian arah atau methode penagananya dalam sidang nanti Jessica dapat mencabut kesaksiannya. Sepanjang argumentasi pencabutan dapat diterima hakim, maka pencabutan tersebut dapat dibenarkan yang memungkinkan terdakwa dapat dibebaskan.
Polisi juga sama seperti kita, bisa saja melakukan kesalahan namun kali ini tidak boleh salah karena kasus ini sudah mempertaruhkan kredibilitas mengingat begitu besarnya perhatian publik. Apalagi kedua pihak keluarga korban dan tersangka diperkirakan memiliki kekuatan financial untuk memanfaatkan media membangun opini. Riuh rendah argumentasi Jessica memiliki kelainan jiwa yang dihembuskan keluarga korban menjadikan kasus ini seolah cerita novel detektif yang justru membingungkan sebab orang yang sakit jiwa sesungguhnya tidak layak dihukum.
Publik yang banyak tidak memahami sebuah proses pembuktian hukum ini terpengaruh ikut membangun pendapat oleh cerita media yang membuat cerita makin menarik namun sebaliknya membuat penyidik harus bekerja keras lagi untuk mencari bukti material maupun formal untuk memperkuat keputusananya. Yang terungkap dalam cerita media adalah tersangka pelaku tunggal, apakah nanti akan ada kejutan karena ada pelaku lain ?
Kekuasaan dan kewenangan kadang bisa menjadi absolut, tak bisa diganggu gugat, hukum tidak bisa diintervensi, supremasi hukum tapi faktanya beberapa kasus penyalah gunaan kewenangan dibongkar KPK bahkan melibatkan pejabat tinggi intitusi hukum itu sendiri namun KPK sendiri cenderung dikerdilkan.
Biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu bukan berarti ada yang berpangku tangan melihat kenyataan itu. Paling tidak menimbulkan rasa tidak suka pasti ada. Rasa tidak suka itu bisa ditengarai adanya friksi yang terjadi antara Polri dan TNI yang berulang terjadi yang menggunakan persenjataan yang mestinya untuk mengamankan rakyat namun digunakan untuk bertikai diantara mereka seperti peristiwa di Batam atau di Sumatera Selatan.
Â