Terbetik berita, Pengacara Jessica menjadi tersangka atas laporan seorang guru bernama Saul atas perbuatan pencemaran nama baik pada tahun 2013 dan Saul sendiri telah diputus bersalah, dihukum penjara selama 3 bulan dan denda Rp. 40 juta. Hal ini mirip dengan apa yang saya alami dimana pengacara saya dijadikan tersangka, sudah P21 namun tidak pernah disidangkan. Inilah bentuk dari kekuasaan hukum, cara demikian merupakan sebuah intimidasi yang memanfaatkan kekuasaan hukum agar seseorang tidak dibela. Diduga, diangkatnya perkara tersebut adalah bentuk tekanan kepada pengacara, walaupun hal itu tidak diakui oleh pihak kepolisian.
Menghadapi hal semacam ini, saya lakukan gugatan perdata terhadap saksi-saksi satu persatu, dari jawaban saksi-saksi saya peroleh pengakuan penggunaan dokumen palsu, penggelapan dokumen dan kesaksian palsu dimana saksi yang saya gugat menyalahkan aparatur hukum.
Dalam hukum pidana yang berlaku, sebagai kasus pembunuhan terhadap pembunuhan Mirna harus memenuhi kedua unsur pembuktian formal dan material karena tidak adanya saksi yang melihat Jessica. Membungkam pengacara dengan menjadikannya tersangka dalam perkara lain bisa jadi karena perhatian publik yang begitu besar sementara kedua unsur pembuktian formal seperti keterangan dari Dokkes Polda Metro jaya yang menyatakan tidak ada tanda Jessica terkena efek sianida dan tidak adanya saksi fakta merupakan kelemahan dasar penangkapan Jessica.
Tak dapat disangkal, bahwa baik keluarga Mirna maupun keluarga Jessica memeiliki kemampuan financial untuk memanfaatkan media untuk membangun opini dan segala macam argumentasi yang menimbulkan polemik dan melibatkan aparatur hukum itu sendiri. Perang opini ini memancing perang intelektual antara publik dan kepolisian yang justru dapat menyesatkan penegakan hukum itu sendiri. Sebab, apapun keputusan penyidik akan diikuti sebuah kontroversi hukum sebagimana dalam kasus Angelina di Bali atau kasus Karta dan Sengkon yang sudah mendekam beberapa tahun pembunuh sebenarnya mengakui perbuatannya.
Fakta yang saya temui dalam sebuah proses hukum, penyidik memproses laporan kepemilikan tanpa bukti formal yang kuat, artinya disini saya melihat terjadi pemihakan kepada pelapor. Dalam proses penyidikan saya dipanggil sebagai saksi karena terlapor menyatakan saya mengetahui duduk persoalannya. Ketika hendak di BAP saya ditunjukkan surat perintah dari bank ditujukan kepada Notaris agar memproses penerbitan sertifikat atas nama orang lain, bukan pelapor.
Bukti yang ditunjukan kepada saya adalah bukti formal sehingga saya bertanya , surat dari bank ditujukan kepada notaris mengapa saya yang dijadikan saksi ? Seharusnya anda periksa kebenaran surat itu dengan memeriksa bank dan Notaris, begitu kata saya. Spontan saya mengatakan bahwa pelapor menggunakan keterangan palsu. Saya temui atasan penyidik, saya ungkap masalahnya dan saya tidak jadi di BAP.
Keterangan saya akan menjadi keterangan yang melemahkan sehingga kesaksian saya dihilangkan. Saya ikuti perkembangannya ternyata penyidiknya diganti dan saya ketahui kemudian ternyata laporan tersebut P21. Terdakwa kemudian minta kesediaan saya bersaksi di pengadilan, surat dari bank itu ternyata dihilangkan dalam berkas dakwaan tapi muncul lagi lagi dari saksi dipengadilan namun ditolak hakim dengan alasan perkara ini dakwaanya adalah pengursakan kunci rumah bukan kepemilikan rumah.
Saya ditegur karena saya memberikan keterangan yang tidak ditanya, sebab saya keberatan karena hakim memisahkan kepemilikan tanah dan rumah , tanahnya milik orang lain, bangunan milik korban, suka - suka hakim menafsirkan karena diduga pengacara bermain dua kaki. Kemudian saya analogikan, bangunan pengadilan bisa saya beli dengan siapa saja yang mengaku memilikinya dan saya bisa melapor karena hakim menggunakan tanpa izin.
Dalam surat tuntutan Jaksa, kesaksian saya dihilangkan. Pengacara tiba2 saya minta diganti untuk membuat pembelaan seperti arahan saya dan akhirnya peradilan itu tidak ada putusan hingga saat ini. Ketika amar putusan dibacakan terdakwa disebut didepan sidang bersalah dihukum 6 bulan, tidak ditahan, tidak diminta keluar dari rumah yang didudukinya. Bisa dimengerti terjadi putusan demikian, dipenjara bermasalah, dibebaskan terbongkar penyimpangan hukum itu. Senyum2 saya menyalami terdakwa, anda mendapat rumah gratis dari hakim.
Mengingat begitu besarnya perhatian publik, proses yang seperti saya sampaikan diatas sulit dilakukan sehingga disini pihak kepolisian harus sanggup mengungkap pembunuh mirna dengan bukti yang meyakinkan sampai sedetil-detilnya. Tak kurang ayah Mirna mempublikasikan percakapan antara Jessica dan Mirna untuk memperkuat dugaan bahwa Jessica lebian sebagai motivasi menghabisi Mirna. Yang muncul kepemukaan justru rasa dendam kesumat dari keluarga Mirna dan harus Jessica pembunuhnya.
Ada yang janggal penjelasan ayah Mirna yang mengaku meminta menantunya untuk menemani Mirna bertemu dengan Jessica karena Mirna takut dengan Jesicca. Layaknya seorang sutradara yang memplot cerita Mirna akan dibunuh oleh Jessica yang menjadi menarik bagi media dan memuaskan ayah Mirna karena pandanganya terpublikasi. Cerita-cerita semacam ini hanyalah uapaya menggiring opini publik untuk menekan penyidik. Sebaliknya dari keluarga Jessica melalui pengacaranya melakukan counter2 opini yang dikembangkan yang membuat cerita makin berkembang.
Seperti halnya kasus pembunuhan Munir yang hingga saat ini masih menimbulkan banyak pertanyaan, walaupun Policarpus telah dijatuhi vonis, namun publik tak begitu saja percaya. Sebab, budaya pengaturan perkara bukanlah menjadi rahasia umum. Budaya inilah yang menyebabkan timbulnya kasus2 suap yang terjadi didalam proses hukum selama ini.Â
Pengacara dalam hal ini bukan saja bertindak sebagai pengawal keadilan namun justru pengacara kondang sekelas OC Kaligis ikut pula menikmati budaya hukum yang merugikan mansayarakat. Cerita dunia hukum, lapas dan rutan dipenuhi oleh orang-orang yang terlibat kasus Narkotika. Kasus yang tidak sulit penangananya, tapi sangat mudah menerapkan pasal "dagang" atau pasal pengguna dan pengaturan barang bukti sehingga lapas dipenuhi oleh pengguna zat terlarang itu.
Transaksi jabatan bukan hanya monopoli aparatur penegak hukum yang dimulai secara terang2an pada razia kendaraan bermotor tapi sudah mengakar kesegala lini hingga suap wakil rakyat. Agaknya, kasus pembunuhan Mirna kini sudah menjadi sebuah perang intelektual antara publik dan aparatur penegak hukum. Namun demikian, kekuasaanpun mewarnai proses pengungkapan pembunuhan ini dengan mengangkat laporan usang dan bahkan pembuat laporan sudah divonis bersalah.
Mengalami dan mengikuti sebuah proses hukum, artinya kita mempertaruhkan segalanya yang membuat hukum itu mahal. Tak berlaku bagi maling sendal, maling kayu, maling buah, maling piring pasal diterapkan secara benar karena pidana bukan melihat nilainya tapi perbuatannya. Kalau perkara sudah " diproyekkan" pemenangnya adalah yang memiliki uang dalam jumlah besar. Inilah wajah hukum kita dan kasus Mirna menjadi sebuah ujian yang bagi kredibilitas polri karena kali ini yang dihadapi adalah publik yang sudah tergiring opininya antara yang percaya dan tidak percaya Jessica adalah pelakunya.
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H