Semula pengacara saya bingung atas permintaan saya karena menurut dia perkara pidana dan perdata berbeda pendekatannya. Perdata lebih menekankan pada bukti formal sedangkan pidana bukti material, tidak bisa dicampur aduk. Lalu saya tunjukkan BAP kepolisian, bukti-bukti yang dilampirkan dalam BAP tersebut adalah akta-akta yang merupakan bukti formal.
Kemudian saya keluarkan satu akta lagi, kalau akta yang saya tunjukkan itu digabung dengan akta bukti persidangan, makna dari akta - akta itu berubah berbalik maknanya. Bukti formal itu dipakai oleh penyidik sebagai dasar pendapatnya untuk membidik saya. Menurut pengacara saya, bukti yang saya berikan adalah Novum, saya tidak ngerti Novum, yang saya tahu memang sengaja tidak diterima oleh penyidik sebagai barang bukti. Sebab, kalau bukti yang saya tujukkan diterima, tidak ada unsur membidik pelanggaran yang dilakukan oleh saya.
Dalam BAP kepolisian itu, notaris adalah saksi fakta dan didalam putusan hakim ada statement dia sebut sebagai dasar pertimbangan hukum hakim, statement itulah yang saya minta untuk digugat. Pemikiran saya, kalau statement itu tidak bisa dibuktikan oleh notaris, putusan hakim itu bermasalah yang nantinya saya akan ajukan PK, begitulah alasan saya.
Menurut pengacara saya, cara ini baru pertama dia lakukan, kita coba saja. Maka disusunlah gugatan, gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan statement notaris yang tertulis dalam putusan pidana. Jawaban yang saya terima dari tergugat adalah pengakuan dosa tergugat yang berprofesi notaris. Hanya dengan pengakuan notaris menyebabkan kekisruhan, berbondong menekan pelapor yang terpaksa menjual harta bendanya untuk menghindar delik penipuan dan saksi-saksi lain memberikan keterangan palsu.
Dalam kasus pembunuhan Mirna, kecuali pengakuan Jessica mestinya diperlukan bukti formal seperti hasil uji lab dan pendapat ahli. Peran ahli adalah membuat perkara menjadi lebih terang, namun ahli bisa saja bersikap subjektif untuk memperkuat kepentingan yang meminta.
Seperti dilansir oleh Detik.com, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menilai pelaku pembunuhan Mirna bukanlah Jessica. Pasalnya ada berbagai kejanggalan jika dilihat dari ilmu yang dipelajarinya. "Saya sampai hari ini tidak yakin pelaku adalah J, kedua saya tidak yakin ini pembunuhan yang mengincar korban sesungguhnya, saya kuat menduga ini salah sasaran," ungkap Reza dalam diskusi Polemik di Waroeng Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (30/1/2016). Dari pandangan Reza, ada seorang Intellectual Leader dalam kasus Mirna ini. Terlebih senjata pembunuhan adalah racun, yang berarti, menurut Reza, pelaku ingin mengambil jarak dari TKP pembunuhan.
Artinya, penyidik harus memiliki bukti yang sangat kuat dan untuk mendapatkan bukti itu, sebagaimana disampaikan oleh pengacara Jesica, penyidik memaksa Jessica untuk mengakui melakukan pembunuhan itu. Jika pengakuan itu tidak didapatkan, maka dapat diperkirakan dakwaan JPU akan berdasarkan kesaksian dan pendapat ahli. Saksi dalam sebuah perkara pidana ataupun perdata memiliki konsekwensi hukum jika memberikan keterangan yang tidak benar, maka dalam hal ini saksi dapat digugat perbuatan melawan hukum.
Tulisan ini bukan menyangkut pasal-pasal, tetapi menyangkur prosedur formal peradilan kita yang dinilai masih carut marut. Sehingga diperlukan kontrol publik agar hukum itu berjalan sesuai relnya. Dalam kasus pembunuhan Mirna, saksi-saksi adalah saksi yang ditunjuk oleh penyidik dimana kesaksian itu didasarkan format tanya jawab dalam BAP dan saksi di pengadilan umumnya tidak menyadari kalau memberikan kesaksian tidak benar bisa dituntut.
Bahwa putusan pengadilan adalah bukti yang paling valid, jika keluarga Jesica meragukan keputusan penyidik, tindakan yang dilakukan adalah upaya banding dan menggugat kesaksian secara perdata untuk menguji sekali lagi kesaksian dalam sidang dengan menunjuk saksi ahli yang dipandang lebih independen. Gugatan perdata bertujuan untuk menguji kesaksian dimana jawaban tergugat akan menjadi bukti valid. Dengan cara seperti ini akan timbul kontrol atas peradilan itu karena dapat melibatkan siapa saja sesuai yang dipercaya oleh keluarga tersangka.
Pada prinsipnya, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum, pengadilan tidak boleh menolak keluarga Jesica melakukan gugatan. Namun yang harus menjadi pedoman, bahwa gugatan harus fokus dan jelas agar tidak ada celah tidak diperiksa oleh majelis hakim alias NO.
Dalam hal ini, untuk menempuh pra peradilan kemungkinan sulit dikabulkan sebab praperadilan menyangkut kode etik dan penyimpangan prosedur dalam penetapan seseorang menjadi tersangka atau ditahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H