Saya tidak melakukan pembelaan apa pun, suka-suka yang punya kuasa, yang saya perlukan adalah putusan hakim, dalam putusan tersebut ada catatan mengenai keterangan saksi-saksi. Putusan inilah barang bukti yang paling valid karena fakta di persidangan karena saya yakin dokumen itu dipalsukan. Setelah saya mendapatkan putusan itu, saya lakukan gugatan perdata untuk minta pertanggungjawaban saksi.
Mungkin saksi yang berprofesi sebagai notaris resah saya bidik, mengakui terus terang menerbitkan akta ganda sehingga seolah-olah saham perseroan saya lepas semua. Aset perseroan itu pun diblokir, pelapor harus menanggung beban finansial karena mengaku dia adalah pemilik perseroan dengan dokumen yang dipalsukan. Akhirnya terkuak, 75% saham masih milik saya, perseroan hanya bisa berjalan kalau ada keputusan saya sebagai pemilik saham 75%. Persoalan justru dihadapi oleh pelapor dan notaris, sebagian aset berupa tanah itu sudah dijual dengan cara rekayasa.
Maksud saya mencontohkan kasus yang saya hadapi, bahwa saksi yang disumpah di pengadilan mempunyai konsekuensi hukum dan PH bisa pura-pura tidak mengerti, tidak memahami karena pengetahuan tidak ada ukurannya. Banyak jalan untuk menguak sesuatu yang tidak benar dalam sebuah proses peradilan, yang terpenting harus mengerti mengambil dari sudut mana dan siapa yang digugat agar hakim tidak memutuskan NO sebagai cara ampuh mengelak untuk memutuskan. Menggugat perdata adalah cara kita untuk mengusut proses hukum kalau kita yakin ada yang tidak beres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H