Negara itu milik siapa ? Negara ini milik bangsa Indonesia yang dikelola oleh bangsa Indonesia dan keputusan juga ditangan bangsa Indonesia yang terpilih memegang keputusan. Tipikal koruptor adalah orang sangat mudah diajak kerjasama sepanjang menguntungkan dirinya.
Watak bangsa jepang memiliki budaya malu yang besar, tidak mudah memberikan keuntungan kalau melanggar norma. Sedangkan bangsa China sudah banyak membaur dengan bangsa kita karena memiliki kesamaan tipikal, sepanjang menguntungkan akan dikerjakan. Kelebihan etnis ini, jika membuka tempat esek2 tidak diresehi famili, kalau bangsa kita jadi omongan, itulah yang ditangkap oleh etnis China sebagai peluang bisnis yang paling dimusuhi oleh FPI.
Bunga 0 %, tenor 50 tahun, pinjaman 70 triliun rupiah begitu yang ditangkap oleh publik. Perbankan memberikan pinjaman tanpa bunga itu omong kosong. Ini trik dagang kongkalikong antara funder dan vendor. Dari trik seperti ini saja sudah ilmu kadal kadalan, berikutnya akan terus menerus kadal-kadalan kalau kepalanya kadal.
Bunga 0 % adalah kamulflase mark up harga jual produk yang dibiayai bank. Harga tehnologi mudah dikaburkan mengingat landasannya adalah kesepakatan karena harga tehnologi tidak bisa dikomparasi. Lain merek dagang lain harganya, walaupun tehnologinya sama, sama2Â handphone, lain merek dagang lain harga misalnya.
Begitu juga dengan produk tehnologi kereta cepat, dari segi pembiayaan tersebut adalah harga 50 tahun atau dalam istilah feasibility studynya NPV 50. Dengan menggunakan rumus NPV berpatokan bunga SIBOR atau LIBOR yang berlaku umum dalam perbankan bisa dihitung harga asli produk yang dibeli dari China tersebut sehingga dapat dikomparasi dengan produk jepang.
Sesungguhnya dengan bunga 0 % sudah membuka indikasi ada yang tidak beres dalam tender pengadaan kereta cepat ini yang membuat jepang sakit hati yang mengaku karena uang. Sebab, bunga 0 % adalah kamulflase beban bunga dan juga uang titipan untuk dikorupsi yang sulit terjangkau hukum.
Penolakan TNI patut diapresiasi, alasan intalasi vital adalah alasan formal namun disini kedudukan presiden adalah panglima tertinggi. Yang jelas, makin menjadi polemik, makin banyak pihak yang melakukan kajian walaupun media sudah membangun opini mendukung pembangunan itu. Tingga publik berpikir jernih, mana yang lebih diperlukan, cepat sampai tujuan atau menonton ambruknya usaha yang dibangun dengan cara seperti itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI