Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rp 12,1 Milyar Biaya Takut, Biaya Profesi, Biaya Perlawan atau Apa?

24 Desember 2015   01:38 Diperbarui: 24 Desember 2015   14:26 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Direksi Pelindo II mengeluarkan kocek Rp12,1 Miliar untuk membayar jasa pengacara Yusril Ihza Mahendra. Pelindo menyewa jasa pengacara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu, untuk mengurus permasalahan hukum yang menimpa Dirut Pelindo II RJ Lino.

Hal itu terungkap, berdasarkan Berita Acara Kesepakatan Direksi PT Pelindo II (Persero) tentang Pekerjaan jasa hukum/advokat dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait pengadaan 3 (Tiga) unit Quay Container Crane, Penanganan Pansus Pelindo II dan Melakukan Uji Materil terhadap Undang-Undang Terkait dengan kekayaan negara yang Dipisahkan Serta Tindakan Hukum Lainnya yang dihadapi oleh PT Pelindo II.

Berita acara tersebut ditandatangani 21 Desember 2015. Direksi Pelindo II yang menandatangani kesepakatan tersebut yakni, RJ Lino (Dirut), Dana Amin (Direktur Operasi), Ferialdy Noerlan ( Direktur Teknik), Orias Petrus Moedak (Direktur Keuangan), Saptono R irianto (Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha), Dede R Martin (Direktur Pembinaan Anak Perusahaan).

Cuplikan berita yang beredar di media di atas esensinya  bisa menjadi  BUMN versus Negara yang muaranya sama, uang negara pindah kantong dengan sebuah kesepakatan sehingga menjadi legal. Sama-sama memiliki kekuasaan, satu sisi bertindak dengan alasan hukum, sisi lain karena alasan hukum itu digunakan uang perusahaan yang nota bene milik negara dan menjadi legal. Sebab, apa yang tercermin dari berita di atas menjadi seolah tindakan perusahaan, bukan tanggung jawab manusianya sehingga segala biaya menjadi tanggungan perusahaan yang juga milik negara. Dan, bisa saja demikian kalau pengadaan yang dinilai melanggar hukum itu berdasarkan RUPS, direksi sifatnya menjalankan RUPS.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kalau perkara tersebut menimpa rakyat? Begitu besar dana yang dikeluarkan untuk menghadapi kasus hukum yang sangat mungkin tidak tertanggung oleh rakyat, maka benar bahwa hukum itu bukan milik rakyat, hukum tumpul ke atas tajam ke bawah karena masalah uang.

Rakyat hanya mampu menonton pertunjukan penghamburan uang negara secara terang-terangan, ibarat kata, makin bermasalah akan makin berhamburan uang negara, jadi proyek, begitulah istilahnya. Dijadikan proyek semacam ini pernah saya rasakan dengan memakai dokumen palsu dan keterangan palsu. Dan jangan harap, dokumen palsu dan keterangan palsu akan diungkap walaupun pembuat dokumen palsu sudah mengaku. Pengakuan itu tidak ada gunanya karena sudah merupakan konspirasi, tidak ada yang bersedia mengaku bersalah.

Itulah dunia hukum kalau sudah "diproyekan" namun akibatnya rakyat banyak yang dikorbankan. Rakyat yang takut hanya bisa pasrah menanti dan menunggu haknya akibat hukum dijadikan proyek. Hukum menyatakan saya tidak berhak memutuskan, ya sudah saya ikuti walaupun keputusan hukum didasari oleh dukumen palsu. Ketika masyarakat menanyakan hak kepada saya sebagai pemilik perusahaan pengembangan perumahan, saya minta mereka lapor polisi yang menyatakan saya tidak berhak atas perusahaan.

Hukum, dengan akta palsu menyulap pelepasan saham yang sesungguhnya 25% direkayasa menjadi 100% sehingga saya dinyatakan tidak berhak. Tidak dimengerti akibatnya, pelepasan asset perseroan berupa tanah yang sudah dijual kepada masyarakat harus melulaui RUPS dengan ketentuan undang-undang harus dihadiri 50% pemegang saham. 75% saham tidak pernah saya alihkan, dengan alasan saya dinyatakan tidak berhak atas perseroan, tentunya saya menolak melakukan RUPS. Akibatnya, bisnis itu mati tidak bisa mengambil keputusan, korbannya adalah masyarakat yang terkatung-katung haknya.

Adalah sebuah gambaran hukum di depan mata saya seperti di atas, hukum dapat dibolak-balik tergantung pesanan. Mungkin, PT. Pelindo juga memandang demikian maka dari berita yang beredar di atas masalah hukum tersebut bukan menyangkut tindakan RJ Lino, melainkan tanggung jawab PT. Pelindo yang milik negera. Tentu saja, kesediaan Yusril Izha untuk menangani perkara tersebut dengan pembiayaan semacam itu juga didasarkan sebuah pertimbangan matang.

Biaya sebesar itu tentunya juga menjadi pertanyaan, itu uang apa? Uang fee dan operasional profesi, uang takut, uang marah, uang bertengkar atau atau uang apa? Sementara banyak masyarakat yang mengalami kesulitan, jumlah tersebut menjadi sangat besar, bagaimana kalau masalah hukum itu menimpa masyarakat?

 

 

 

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun