Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Go Jek dan Pengakuan NM

19 Desember 2015   01:46 Diperbarui: 19 Desember 2015   02:39 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemacetan menjadi pemborosan biaya transportasi yang memperkecil penghasilan para pekerja dan penguasaha sektor transportasi. Gojek atau sejenisnya mungkin menjadi solusi bagi pengguna jasa transportasi mengatasi masalah kemacetan namun makin memperkecil penghasilan para pekerja dan pengusaha sektor sektor transportasi yang ada.

Artinya, munculnya moda transportasi berbasis online seperti Gojek yang cukup dengan Rp. 1.000.0000 atau bahkan kurang dari jumlah tersebut langsung menarik minat pengusaha dadakan sektor transportasi, berbondong masyarakat terjun dalam usaha dadakan ini yang tergiur oleh penghasilan besar tanpa memeperhatikan implikasi sektor yang sudah berjalan. Mungkin ini yang menjadi dasar pertimbangan menteri perhubungan yang lebih melihat dampak usaha dari pada masalah politik.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib para pekerja dan penguasaha yang nota bene mengikuti perundang2an yang berlaku ? Untuk pembenaran keputusan membolehkan Go Jek beroperasi maka muncul argumentasi undang-undangnya yang salah. Padahal, yang terjadi adalah tidak selarasnya pembangunan infrastruktur dengan perkembangan jumlah kendaraan sehingga terjadi penumpukan konsentrasi kendaraan hampir diseluruh ruas jalan.

Kebijakan yang bersifat kanibalisme, memberi satu peluang dengan membunuh peluang yang lain bukanlah menjadi sebuah jalan keluar yang tepat. Sebab akan muncul masalah lain yang tentunya harus dicarikan solusi. Namun, jika keputusan lebih bersifat politis, undang2 akan sulit diterapkan. Sehingga dalam melarang atau membolehkan beroperasinya gojek lebih bersifat berdasarkan opini dan undang2 menjadi salah, masuk keranjang sampah karena opini yang dibangun.

Tidak ada kepastian hukum seperti ini tentunya menjadi bahan pertimbangan investasi lainnya sementara peluang kerja sangat dibutuhkan oleh masyarakat.  Lebih dari itu, amannya sebuah investasi sangat tergantung  dari pemegang keputusan yang makin menyuburkan nepotisme kolusi dan korupsi.

Situasi yang berkembang seperti ini yang mendorong para penguasaha menjadi politikus sehingga tak mengherankan banyak penguasaha sukses terjun dalam dunia politik yang tak lain untuk mengamankan investasi dan mempermulus pengembangan usahanya.  Seperti halnya kasus Freeport tak lebih tak kurang karena budaya yang berkembang dalam politik Indonesia lebih pada tujuan untuk mengembangkan usaha para penguasaha itu.

Kedaulatan milik rakyat, namun faktanya untuk dapat menerima amanat rakyat harus merogoh kocek dalam-dalam karena ongkos untuk mendapatkan amanat rakyat yang sangat mahal. Riuh rendah tuntutan rakyat menjadi dinamika politik sehari-hari yang memunculkan meme meme yang cukup menggelitik.

Sebagai contoh, artis NM yang berfoto disamping Jokowi sesungguhnya hal yang lumrah saja namun oleh karena pemberitaan yang sumbernya dari pihak berwajib NM adalah PSK, fotonya yang duduk disamping Presiden menjadi trending topic. NM bisa mengaku sebagai apa saja, namun karena fotonya yang duduk disamping presiden, pengakuannya sebagai PSK menimbulkan implikasi politis yang sangat luas.

Antara pelarangan dan membolehkan beroperasinya Go Jek dan NM adalah merupakan gambaran pengambilan keputusan atau mengeluarkan statement tidak mempertimbangkan reaksi publik. Ketika terjadi reaksi publik yang tidak diharapkan barulah dicari alasan untuk menghentikan reaksi publik. Pemerintah sepertinya tidak siap menghadapi mudahnya akses dan penyebaran informasi dan seperti halnya pelarangan beroperasinya Go Jek, menghadapi reaksi publik dengan menyalahkan undang-undang.

Implikasi dari situasi yang berkembang seperti ini dapat menimbulkan keraguan dalam berinvestasi yang pada gilirannya akan memperlemah bargaining nilai rupiah karena menurunnya produktivitas nasional. Rakyat tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah dengan kebijakan yang sifatnya crashprogram atau darurat untuk meminimalisir gejolak sosial, yang diperlukan adalah pancing agar rakyat dapat mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun