Perjalanan bangsa yang panjang dalam masa penjajahan, harus diakui mempengaruhi karakter bangsa. Bangsa penjajah mampu mengusai wilayah bangsa kita adalah sebuah fakta bangsa itu lebih maju dalam segala hal. Belajarlah kepada gurunya yang tentunya lebih pandai adalah sebuah filosofi yang dianut untuk mencari pengetahuan.
Bangsa yang maju yang menjajah bangsa kita menjadikan penguasaan ilmu pengetahuan sebagai modal untuk menguasai bangsa kita. Dalam sitituasi tersebut, bangsa kita belajar dari para ulama yang menumbuhkan masyarakat yang relegius. Ciri masyarakat seperti ini menjadikan ketaatan menjalankan perintah agama sebagai parameter pandangan sosial terhadap seseorang. Tumbuh pemimpin-pemimpin yang bersisifat konservatif yaitu dipandang dari sudut penguasaan agamanya. Para pemimpin semacam inilah yang memiliki pengikut untuk melawan bangsa penjajah.
Bangsa penjajah yang berpandangan sekular harus mendatangkan ahlinya untuk mempelajari karakter bangsa Indonesia yang berkembang semacam itu. Adalah Snouck Horgronye, seorang ahli budaya oriental didatangkan untuk mempelajari karakter bangsa Indonesia yang tujuannya tak lain untuk mempertahankan kekuasaan penjajahan.
Snouck Horgronye menjadi peletak dasar politik pemerintahan kolonial merekrut kaum pribumi dari kalangan ulama dan kaum ningrat duduk dalam pemerintahan kolonial. Politik memanjakan kaum ulama dan kaum ningrat  memang berhasil menjaga stabilitas kekuasaan. Penjajahanpun memberikan pendidikan kepada anak2 para pegawai pribumi dari kalangan ulama dan ningrat untuk mengisi struktur pemerintahan kolonial.
Agaknya penguasa kolonial tidak memperkirakan, pendidikan yang diberikan kepada kaum pribumi ini memunculkan tokoh kemerdekaan yang sekular yang pada akhirnya berperan dalam Republik Indonesia merdeka. Dalam awal kemerdekaan timbul perbedaan antara pandangaan kaum ulama yang konservatif dan kaum terdidik barat yang liberal  yang pada akhirnya memunculkan piagam Jakarta.
Hingga saat ini, urusan agama masih menjadi urusan negara, wacana penghapusan kolom agama pada kartu tanda penduduk ( KTP) menjadi wacana kontroversil. Karakter yang sudah melekat itu tidak dapat dihapuskan sehingga agama juga dipakai sebagai komoditas politik. Dinamika politik dalam Pilpres yang lalu juga kental dengan isu agama karena ketaatan beragama sudah menjadi parameter baik buruknya seseoang dalam kehidupan sosial.
Sementara bangsa kita masih bergulat dengan karakter dan ketaatan beragama dalam dinamika politik yang sekular, bangsa yang dulu menjajah bangsa kita telah menguasai tehnologi yang lebih maju lagi. Sadar atau tidak, sesungguhnya bangsa kita tidak dapat lepas dari penjajahan.
Sebagai bangsa yang merdeka, itu adalah fakta politiknya. Namun tidak demikian dengan fakta ekonominya. Menurunnya nilai rupiah adalah indikatornya, kebutuhan tehnologi yang mahal menjadikan kekayaan bangsa terkuras. Secara sederhana, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan tehnologi, bangsa kita akan lebih banyak lagi mengeluarkan uang karena nilai itu terus terdepreasi.
Dalam lawatannya ke Jepang, media memberitakan Presiden Jokowi mendapat komitment pinjaman dari jepang sebesar 140 milyar Yen.  Bagi media, bisa saja berita tersebut sebagai sebuah keberhasilan tapi menjadi sebuah resiko ekonomi dipandang penggunaan pinjaman tersebut untuk membeli produk teknologi yang tidak kita kuasai.
Tanpa disadari, bangsa kita mendapatkan produk teknologi lebih mahal lagi karena terbeban bunga dan depresiasi. Jaminan semacam ini adalah APBN maka ketika pinjaman jatuh tempo, rupiah yang harus dikeluarkan akan lebih besar lagi jika terus menerus terjadi depresiasi. Hutang semacam ini menjadi triger merosotnya rupiah karena pada dasarnya pemerintah terikat harus membeli mata uang Yen sebab yang diterima adalah produk teknologi.
Hanya dalam satu komitment pinjaman dengan jepang, belum pinjaman yang semacam itu dengan China, pada saat jatuh tempo akan menjadi penekan rupiah. Hukum ekonomi berlaku, mata uang negara industri akan terus menguat mengingat demand terhadap valas makin tinggi yang menyebabkan harga semakin mahal.