Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tidak Ada Korupsi di Indonesia

29 Juli 2011   20:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:15 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti diketahui, dalam pengakuan Nazaruddin terungkap, pernah bertemu dengan pejabat KPK seperti Chandra M Hamzah, Ade Rahardja, Johan Budi, serta M Jasin. Materi pertemuan terkait kasus yang tengah ditangani KPK. Selain itu, kata Nazaruddin, Chandra dan Ade bersama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum memiliki komitmen untuk memilih kedua orang tersebut. Tidak hanya itu, Chandra juga diplot sebagai Ketua KPK, namun akhirnya pasel ketua KPK tidak meloloskannya  dalam seleksi public assessment.   Yang menjadi pertanyaan kita apakah kasus dugaan korupsi wisma atlet Jakabaring dan Hambalang akan mengalami jalan buntu sebagaimana dugaan kasus korupsi yang  selama ini terjadi jika berhadapan dengan kekuasaan ?. Sejarah itu akan terus berulang, kasus korupsi menjadi bagian dari politik negeri ini, seperti biasa, tumbalpun dikedepankan untuk menutup korupsi dilingkaran kekuasaan.

Sebut saja Susno Duadji, lebih dapat disebut sbagai tumbal untuk melindungi kekuasaan sebab, jika berpegang pada anggaran Polri, patroli polisi tak akan berjalan, pati hanya mampu membeli rumah sederhana dari gajinya. Pangkat dan jabatan tak sesuai dengan kehidupan sosial dimasyarakat, pasti akan berbuat kesalahan jika melihat kondisi sosial pada kenyataannya. Tak ada polisi yang lepas dari jerat hukum kecuali bersedia hidup ala kadarnya. Bukan hanya Polri, semua aparatur negara akan melakukan hal yang sama dan hal itu merupakan strategi politik APBN agar terlihat ada anggaran pembangunan.  Jika harus bersikap fair, pendapatan negara hanya mampu untuk kebutuhan rutin, namun rakyat akan berteriak karena tidak ada pembangunan.  Anggaran pembangunan harus ada, aparatur pemerintah harus hidup layak maka sesungguhnya anggaran pembangunan tersebut memang disediakan untuk dikorupsi.

Setiap departement melakukan pemotongan anggaran proyek, biasa disebut saving sebagai mana kita kenal dulu yang disebut anggaran non budgeter. Penertiban rekening liar, justru membuat korupsi makin tidak terkendali.  Dimata rakyat pemerintah telah berbuat  sesuatu untuk menertibkan aparatur pemerintahan, tetapi dibalik itu hanyalah sebuah cara memindahkan kantong dari kantor aparatur pemerintahan kekantong parpol. Parpol saat ini sebagai pengendali semuanya dalam era demokrasi, kekuasaan terbatas nyatanya telah mendorong perlombaan menabung sebesar2nya.  Dan itu semua menjadi lumrah, tak bisa dicegah karena pengawas keuangan sudah menjadi bagian perpolitikan saat ini.

Lebih enak  zaman Suharto, celetukan seperti itu sudah biasa kita dengar karena parpolnya cuma tiga, untuk menjadi bupati cukup menyuap 50 orang anggota DPRD tetapi saat ini untuk menjadi Bupati harus mampu membujuk rakyat dan dengan uang juga. Yang disuap jauh lebih banyak, menjadi penguasa harus korupsi lebih banyak lagi untuk menutup modal. Melihat kondisi seperti ini, sulit untuk diharapkan bahwa kasus korupsi akan diungkap karena korupsi sudah menjadi strategi APBN, mengatur anggaran sedemikian rupa agar rakyat tidak protes. Wajarlah jika ada mafia anggaran, karena anggaran hanya kamulflase, makin besar dana  anggaran pembangunan, makin besar korupsinya. Namun, dimata politik saat ini, sesungguhnya tidak ada korupsi, yang terjadi adalah nitip anggaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun