Kedatangan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia mendapat penyambutan meriah dari pemerintah Indonesia, namun seribu ulama yang berasal dari seluruh Indonesia tetap menolak kedatangannya. Penolakan terhadap Obama oleh para ulama tertuang dalam keputusan bersama, Taushiyah Siyasiyyah Ulama yang digelar oleh Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) di Surabaya beberapa waktu lalu.Pada keputusan di Surabaya menilai kedatangan Barack Obama pada dasarnya untuk memantapkan agenda Kemitraan Komprehensif yang sudah jelas bersifat imperialistik. Lebih dari itu agenda kemitraan komprehensif akan menempatkan bangsa ini di bawa kendali dan hegemoni AS.Pada kesempatan itu turut pula hadir Ketua DPD I HTI Sulsel Sabran Mujahidin menegaskan kedatangan Obama merupakan bencana yang lebih hebat dari bencana alam yang terjadi di Wasior, Yogyakarta, dan tsunami di Mentawai. Benarkah demikian  ?.
Politik menyambut meriah kedatangan obama tetapi sentimen islam menjadikan amerika serikat sebagai musuh besar sekaligus menjadikan para ulama menjadi analist ekonomi dan politik dadakan. Berlabel ulama sebagai orang baik yang memikirkan bangsanya, berlabel ulama menyalahkan budaya barat , berlabel ulama menentang kongres gay, kontes wadam dan lain sebagainya. Tetapi selain suburnya korupsi,  juga video mesum disukai. Ulama yang tidak fokus pada dunianya sehingga ulama hanya menjadi label, mestinya tugas ulama adalah membina mental bangsa tetapi yang terjadi lebih banyak mengusik dunia politik yang dikaitkan dengan islam. Seperti halnya menentang terhadap kunjungan Obama, menganggap Amerika Serikat sebagai musuh besar, tidak pernah terdengar bermusuhan dengan bangsa Belanda yang telah menjajah bangsa ini lebih dari 350 tahun. Perseteruan antara Palestina dan Israel telah menimbulkan persaudaraan islam, mencari pembenaran dalil untuk membenci Amerika Serikat karena mengeruk kekayaan alam negeri ini. Padahal faktanya, yang mengusahakan tambang di negeri ini selain usaha milik negara, juga berasal dari korea, China, Jepang, Australia atau negara2 eropa.
Yang membuat negara ini tertinggal sesungguhnya karena mental korupsi bangsa kita sendiri, bukan Amerika Serikat. Korupsi dapat berkembang dengan subur karena aturan yang tidak diterapkan secara konsisten, hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tidak mempunyai kesempatan korupsi. Kebiasaan menyalahkan orang lain memang menjadi ciri bangsa sehingga tidak dapat memperbaiki diri. Dalam era demokrasi ini ulamapun terbawa arus dunia politik, menjadikan islam sebagai tameng. Dunia keagamaan yang sudah terkontaminasi dunia politik seperti ini menjadikan pembinaan moral dan mental bangsa menjadi tersisihkan. Islam tidak pernah berubah, yang berubah adalah manusianya yang menggunakan islam untuk kepentingan politiknya.
Islam tidak ada kaitannya dengan Amerika Serikat, tetapi manusia yang berlabel ulama membuat sebuah kesimpulan yang jauh melenceng dari dunia agama islam, dunia islam membahas barang tambang, dunia islam membahas bisnis dengan kesimpulan menyengsarakan bangsa ini. Padahal, jika telaah lebih mendalam, Amerika Serikat mampu mendikte bangsa ini karena ketamakan dan kebodohan bangsa kita sendiri. Menyalahkan manusia pandai akan semakin menunjukkan kebodohan bangsa ini yang tidak mau belajar menjadi orang pandai. Semakin kita menyalahkan bangsa lain, semakin terlihat kebodohan kita. Inilah sesungguhnya harus disadari, belajar dari kesalahan adalah cara untuk memacu diri sejajar dengan bangsa lain, bukan mencari kesalahan bangsa lain seperti yang dilakukan oleh mereka yang berlabel ulama. Politikus bertopeng ulama, ulama adalah orang baik, mengobarkan permusuhan juga baik, baik bagi yang tidak mengerti dunia yang sebenarnya, terprovokasi turun kejalan dan dibalik topeng itu tersunggung sebuah senyuman keberhasilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H