Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tahun 2014 Jakarta Akan Lumpuh ?

18 Oktober 2010   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_294253" align="alignright" width="300" caption="Potret Kemacetan Jakarta"][/caption] Bertempat tinggal diseputaran daerah Menteng, tepatnya di Menteng Wadas, dibatasi oleh kali Ciliwung namun membuat lokasi Menteng Wadas menjadi semacam hinterlandnya Menteng dengan infrastruktur yang jauh berbeda. Maka menjadi sangat wajar jika tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dibedakan, daerah menteng dikenakan tarif yang jauh lebih tinggi dari penetapan tarif untuk wilayah menteng wadas.  Dahulu, PBB dikenal sebagai Ireda/Ipeda yaitu iuran pembangunan daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk antara lain kepentingan pembangunan infrastruktur itu.  PBB saat ini menjadi penghasilan utama pemerintah daerah disamping Pajak Kendaraan Bermotor. Saya mencontohkan kondisi wilayah menteng dan menteng wadas secara kasat mata dapat dilihat adanya kesenjangan, kaum ekonomi yang lebih lemah, berdasarkan kemampuan akan memilih wilayah menteng wadas dan yang lebih lemah lagi akan memilih lebih kepinggiran kota lagi yang relatif lebih terjangkau. Makin kepinggiran maka akan makin terlihat adanya kesenjangan pembangunan. Exodus warga Jakarta mulai dari faktor ekonomi atau menginginkan tempat tinggal yang lebih representatif kewilayah sekitar DKI Jakarta secara langsung menimbulkan mobilitas pergerakan dari wilayah sekitar DKI kepusat2 kegitan di DKI atau sebaliknya.   Mengikuti Rencana Umum Tata Ruang Kota ( RUTRK ) wilayah bisnis sudah ditentukan maka terjadilah konsentrasi kegiatan pada wilayah yang ditentukan itu karena kaum yang lemah dan yang kuat akan berkumpul menjadi satu dari seluruh penjuru. Akibatnya terjadilah konsentrasi arus lalu lintas menuju lokasi pusat kegiatan yang mengikuti RUTRK itu tadi atau sebaliknya yang kian hari kian bertambah mengikuti perkembangan kegiatan itu. Sekitar tahun 1977 ketika Jalan tol Jagorawi baru dioperasikan, cerita tentang bagaimana kita mengendari mobil dijalan tol itu menjadi perbincangan yang menarik karena kondisi jalan masih memungkin kita untuk tertib lalulintas. Sekarang, disamping karena bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan perkembangan pemukiman disepanjang jalan tol itu, mau tidak mau cara berkendarapun tidak lagi dapat tertib mengikuti jalur, asal ada tempat lowong langsung dipakai untuk mendahului yang berakibat seringnya terjadi kecelakaan karena menabrak belakang mobil yang berjalan lambat. Sebagian besar para pemukim itu adalah berasal dari pergeseran pemikim dari wilayah DKI namun pusat kegiatan tetap kewilayah sentra bisnis di Jakarta itu. Pergeseran pemukim tersebut membutuhkan moda transportasi dan sesungguhnya titik permasalahan keruwetan kota Jakarta karena Pemprov DKI tidak mengantisipasi kebutuhan moda transportasi yang memadai oleh adanya pergeseran pemukiman tersebut. Pemerintah daerah yang menerima limpahan pemukim DKI itu tentunya juga mendapat manfaat dengan kenaikan tarif PBB sebagai sumber dana pembangunan infrastruktur tetapi tidak perlu memikirkan moda transportasi untuk menuju tempat kerjanya diwilayah DKI, sebaliknya Pemprov DKI memandang tidak penting. Kekosongan ini diisi oleh pengembang pemukiman dengan menyedia sarana shutle Bus yang tentunya dengan tarif yang lebih mahal dan dengan jumlah yang terbatas. Disinilah sesungguhnya dibutuhkan peran Pemprov DKI. Baru belakangan pemprov DKI menata moda transportasi dengan penyediaan BusWay yang mengokupasi badan jalan yang ada yang justru makin menambah ruwet lalulintasnya ditambah lagi juga terjadi kasus yang sampai keperadilan terkait dengan pengadaan Busway tersebut. Tidak adanya perencanaan pembangunan yang terintegrasi baik dalam konsep pembangunan di Jakarta dan tidak adanya koordinasi dengan pemerintah daerah sekitar DKI membuat pembangunan tidak lagi menyesuaikan dengan kebutuhan. Sudah sangat sulit membenahi lalulintas di DKI disamping karena biayanya sangat mahal juga belum ada transportation network planing secara regional guna memecah konsentrasi pusat kegiatan. Memindahkan ibukota negara memang dapat melepaskan ibukota negara dari kemacetan tetapi tidak menyelesaikan masalah kota Jakarta.  Terpaku dengan undang2 otonomi daerah, jakarta dan sekitarnya disamakan dengan wilayah papua atau Kalimantan. Padahal, Jakarta memiliki mobilitas masyarakat yang sangat tinggi dimana Jakarta sebagai pusat kegiatan dan daerah sekitarnya selain sebagai penyangga juga sebagai pusat2 pemukiman. Pergerakan masyarakat dari pusat kegiatan dan pusat2 pemukiman yang berkembang keluar jakarta tidak diimbangi dengan infrastruktur yang memadai yang akibatnya terjadi sumbatan2 pergerakan lalulintas diseluruh wilayah DKI. Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Perhubungan, khusus untuk Jakarta jumlah kendaraan setiap harinya bertambah 1.172 kendaraan dengan estimasi 186 mobil dan 986 motor.  Jumlah itu belum termasuk kendaraan milik warga di sekitar Jakarta seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi yang sehari-hari berkantor di pusat bisnis dan pusat kegiatan lainnya di Jakarta. Ditambah kendaraan warga Jakarta yang “eksodus”  kewilayah sekitar DKI itu  maka pertambahan kendaraan itu mencapai angka 2.249 kendaraan per hari. 288 untuk mobil dan 1.960 motor. Kita bisa banyangkan berapa luas jalan yang setiap harinya yang diokupasi oleh kendaraan baru itu.  Jika diasumsikan, dalam jarak rapat setiap harinya penambahan kendaraan itu akan mengokupasi jalan seketiar 2 km, untuk mempertahankan keadaan lalulintas seperti saat ini, harus ada perluasan jalan 2 km itu setiap harinya atau paling tidak dalam satu tahun dibutuhkan perluasan jalan paling tidak 2,1 juta m2.  Melihat angka tersebut , diperkirakan pada 2014 Jakarta akan mengalami kelumpuhan total karena jumlah kendaraan  akan mengokupasi seluruh luas jalan jika perluasan jalan tidak dapat mengimbangi pertambahan jumlah kendaraan. Bahkan pendapat lebih ekstrem datang dari Ketua Komisi Organisasi Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Ririn Sefsani. Menurutnya, tak perlu menunggu 2014 sebab pada 2011 Jakarta sudah macet total!. Sekadar memberi gambaran, Jakarta memiliki panjang jalan 7.650 km, dengan luas jalan 40,1 km2 (6,2 persen dari luas wilayah DKI Jakarta). Setiap tahunnya, pertumbuhan panjang jalan hanya ±0,01%. Ini tak sebanding dengan pertambahan kendaraan  yang idealnya paling tidak  memerlukan pertambahan panjang jalan sekitar 5 %. Setelah berbicara soal penyebab macet yang jelas-jelas merugikan baik dari segi waktu maupun biaya, tak lengkap rasanya bila tidak diiringi hitung menghitung kerugian dalam bentuk angka. Dinas perhubungan DKI menaksir kerugian yang diderita akibat kemacetan. Yakni pemborosan biaya operasional kendaraan mencapai Rp17,2 triliun per tahun dan pemborosan energi (BBM) senilai Rp10 triliun per tahun.  Memindahkan ibukota negara bukanlah sebuah solusi yang tepat sebab orientasinya tidak menjadikan kota jakarta menjadi efisiensi.  Menata wilayah Banten dan Jawa barat dengan menggeser kegiatan baik swasta maupun pemerintahan menghindari jakarta dapat menekan pemborosan. Efisiensi itulah yang akan menopang pembangunan ibukota negara yang tidak terpusat pada titik padat lalu lintas yang ada saat ini.  Memang dibutuhkan study yang mendalam, bukan hanya menyangkut tehnis saja, tetapi mencakup pula study menyangkut sosial ekonominya. Pergeseran kegiatan itu akan menciptakan efisiensi yang dapat membangun ekonomi lebih baik disamping akan merangsang pertumbuhan ekonomi lebih merata antara Jakarta dan wilayah sekitarnya. Kesenjangan pembangunan Kota Jakarta dengan daerah sekitar jakarta saja sudah tampak mencolok, inilah wajah indonesia yang sesungguhnya, koordinasi pembangunan antar daerah otonom belum terjalin. Diperlukan sebuah otorita pembangunan khusus menangani pembangunan lintas sektoral dan antar daerah otonom. Yang diperlukan adalah political will yang memang ingin membangun, bukan hanya berpikir ada proyek, ada uangnya. Walaupun dengan data yang minim tersebut, katakanlah angka tersebut dipakai sebagai prelemenary study, sedikit gambaran bahwa dalam dua tiga tahun mendatang Jakarta akan mengalami kelumpuhan dan semakin meningkatkan pemborosan.  Membangun ibukota baru didaerah lain seperti wacana yang berkembang saat ini justru menimbulkan pertanyaan, Kota Jakarta hendak dijadikan apa ?.  Ini masalah nasional, bukan masalah kota jakarta semata karena akan menyangkut citra bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun