[caption id="attachment_221939" align="alignleft" width="203" caption="Utatdz Abu Bakar Baasyir ( foto antara )"][/caption] Abu Bakar Baasyir, lelaki renta itu kini harus berada didalam ruang isolasi yang ber CCTV, agaknya lelaki uzur bersarung ini dianggap sebagai musuh penguasa negara sepanjang masa. Seorang aktivis sejak muda yang berbasis pemikiran islam, Baasyir pada dasarnya adalah seorang Kyai sekaligus politikus. Sejak era Suharto, Baasyir sudah menjadi target penguasa untuk diberangus gerakan politiknya yang dianggap menolak azas tunggal Pancasila dan hormat bendera merah putih.  Dalam proses hukum yang berlansung pada waktu itu, Baasyir yang menjalani tahanan rumah berhasil melarikan diri ke negara Malaysia melalui Medan. Di Malaysia, bersama Abdullah Sungkar, Baasyir mendirikan lembaga pendidikan Islam yang pada akhirnya ditutup oleh pemerintah Malaysia yang antara lain disebabkan jemaahnya dikaitkan dengan serangkaian gerakan terorisme. Kembali ke Indonesia, sejak era pemerintahan Megawati hingga SBY sekarang ini, Baasyir tetap menjadi target, harus bersalah dan berulang harus hidup dibalik jeruji besi. Senin, 9 Agustus 2010 Baasyir kembali ditangkap di Kota Banjar, Jawa Barat dalam perjalanan menuju Jawa Tengah dengan tuduhan terlibat dalam gerakan teroris di Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Menjadi seorang Kyai atau ulama dan ustadz, Baasyir menjadi panutan santri dan kaum muslim yang mengagguminya, sebaliknya menjadi politikus, Abu Bakar Baasyir seolah menjadi duri bagi penguasa sehingga memandang perlu mengamankan Baasyir. Antara Islam dan politik sesungguhnya menjadi kesatuan, namun pandanganya yang tidak sejalan dengan penguasa menjadikan Baasyir diperlakukan sebagai seorang penjahat politik. Penangkapan Baasyir dinilai sementara pihak akan menyakiti umat islam, terlebih menjelang bulan suci ramadhan yang penuh kedamaian, hal ini tak lain adalah sebuah pembelaan yang dilakukan orang yang bersimpati dengan Baasyir. [caption id="attachment_221941" align="alignright" width="183" caption="SM Kartosuwiryo"][/caption] Sejak zaman Sukarno, negeri ini telah berhadapan dengan perlawanan kaum Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Kartosuwiryo yang akhirnya tewas diujung peluru. Masih kita ingat Imam Samudra Cs yang menjalani hukuman mati untuk perjuangan islamnya, yang artinya penaganan perjuangan islam yang radikal harus diatasi dengan cara yang sangat represive. Sebuah kenyataan, perjuangan Islam membentuk negara yang berlandaskan islam di Indonesia tak pernah mati. Abu Bakar Baasyir yang dianggap tokoh intelektual dibalik perlawanan islam itu memang menjadi berbahaya bagi penguasa jika dianggap musuh negara. Namun akan lebih berbahaya lagi jika penangannya tidak berhati2, sebab antara islam dan garis politik yang ditempuhnya telah menyatu dalam diri Baasyir. Pembelaan dan perjuangan yang membawa islam sesungguhnya merupakan hal yang sangat sensitive, sebagaimana kita fahami, keyakinan dapat berubah menjadi doktrin yang menjadikan seseorang dapat bertindak sangat militan. Pandangan jihad yang diartikan berjuang dijalan Allah, kesediaan penganut islam sebagai pelaku bom bunuh diri tidak terlepas dari pandangan jihad itu. Tindakan Densus 88 terhadap pejuang islam yang sangat represive itu bisa jadi menjadi pemicu semangat pejuang islam yang lainnya dan boleh jadi penangkapan Baasyir akan pula menjadi peluru para politikus yang menjadikan situasi politik mengalami eskalasi. Jika kondisi politik tidak stabil, yang menjadi korban adalah rakyat, pemerintah sibuk bertahan dalam posisinya sedangkan ekonomi menjadi terabaikan. Dibalik kisah perlawanan Kartosuwiryo, sedikit saya ketahui bagaimana penanganan para pengikut Kartosuwiyo yang bersenjata. Program demobilisasi melalui amnesti yang diberikan, disamping menempatkan kembali pada kesatuannya juga diberi pilihan dimasyarakatkan melalui program transmigrasi. Sekarang, daerah penempatan transmigrasi dibeberapa tempat di Lampung seperti di Talang Paris dan Sumber Jaya ( Way Kanan ), Palas ( Lampung Selatan ) dan Wonosobo ( Tanggamus )yang dulu ditangani oleh Biro Rekonstruksi Nasional ( BRN ) dibawah kementrian pertahanan, kini daerah tersebut telah menjadi sentra2 ekonomi. Banyak tokoh masyarakat yang berasal dari kalangan ini yang artinya penanganan terhadap perbedaan pandang dengan cara seperti yang dilakukan pada era Sukarno tersebut jauh lebih efektif ketimbang dengan cara represive yang telah terbukti bahwa gerakan islam yang militan tidak pernah mati. Mungkin yang paling tepat adalah memberikan perhatian terhadap pembangunan pendidikan islam baik dari segi fasilitas maupun mutunya. Pemerintah dapat menyediakan dana apresiasi, mengapa untuk membantu pembanguan pesantren tidak tidak bisa ?.  Gaya intelejen yang disusupkan kedalam kegiatan pesantren atau memonitor pesantren dengan tehnik militer justru hanya akan menimbulkan rasa sakit hati kaum muslim. Tidak bisa penanganan hanya dilakukan dari sudut militer semata, membangun mental kaum muslim tentu lebih manusiawi walaupun memerlukan biaya yang lebih mahal. Mungkin saatnya pemerintah harus mempertimbangkan lagi, menempuh politik demokrasi saat ini belum mampu mengangkat ekonomi negeri ini walaupun harus mengeluarkan biaya pilkada yang besar seperti penghamburan uang. Padahal, membangun umat muslim yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini akan lebih berarti baik dari sudut martabat dan ekonomi. Mungkin kedepan tidak ada lagi bangsa ini yang ditembak dijalanan tanpa peradilan terlebih dahulu seperti mereka yang diduga sebagai teroris itu jika kesenjangan sosial dapat dihilangkan melalui pembangunan umat islam indonesia. Pembangunan ekonomi dan jaminan kehidupan sesungguhnya merupakan landasan pemersatu sebab cikal bakal dari adanya gerakan Islam itu karena terjadinya kesenjangan sosial. Kita lihat saja dalam penyelenggaraan pendidikan pesantren yang sangat bersahaja dan para santri yang umumnya dari masyarakat yang bersahaja, kondisi yang demikian sangat mudah disusupi doktrin yang radikal. Pembangunan prasarana fisik pesantren dan peningkatan mutu pendidikan sehingga mutu pendidikan pesantren akan memberikan kelebihan skil para lulusannya sehingga mempunyai kemampuan bersaing didalam kehidupan sosialnya. Kita lihat saja, banyak siswa pesantren yang tidak lulus UN, ini menandakan setidak2nya pengetahuan umum masih kalah dibanding siswa sekolah biasa. Memang hal ini tidak dapat menjadi ukuran yang mutlak akan mutu pendidikan karena pesantren lebih menjurus pada pendidikan agama, namun dalam kehidupan sosial yang lebih universal, pengetahuan umum akan menjadi basis pendidikan yang lebih tinggi. Penguasaan ilmu dan tehnologi itulah yang akan menunjang dalam kehidupan ekonominya. Dalam kenyataannya, mungkin sangat sedikit yang mengandalkan pengetahuan agamanya untuk modal menafkahi kehidupannya karena secara ekonomi hasil yang didapat sangat kecil. Peningkatan mutu pendidikan pesantren dapat dijadikan alternatif penanganan terhadap gerakan perlawanan dalam jangka panjang. Menilik penanganan anak buah Kartosurwiryo juga tidak terlepas dari tujuan peningkatan ekonomi itu. Terbukti mereka telah membaur dalam masyarakat yang normal sebagaimana umumnya. Satu dapat diselesaikan, tetapi tumbuh bibit yang lain karena penanganannya tidak komprehensive. Baasyir dan Kartosuwiryo adalah tokoh pejuang Islam, perbedaannya bahwa Kartosuwiryo melakukan perlawanan dengan angkat senjata secara terang2an, Baasyir "masih diduga" berada dibalik perlawanan senjata, masih menurut informasi intelejen, katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H