[caption id="attachment_52439" align="alignleft" width="300" caption="Anggodo, foto inilah.com"][/caption] Apa tidak salah sasaran ya, dipikir2 tidak akan ada orang seperti Anggodo kalau tidak ada yang bengkok dalam peradilan Indonesia. Anggodo tidak akan dikenal kalau aparat negeri ini tidak bersedia dibeli. Ada harga ada barang, itu prinsip orang berbisnis. Begitu juga menyangkut PT Masaro, kalau tidak ada permainan Mark up harga, tidak akan ada retur duit buat para pemegang otoritas pengadaan di Departemen Kehutanan menyangkut asal usul kasus itu. Kita lihat dulu asal muasal anggaran, APBN dianggap sebagai primbon pencarian kekayaan, DPR yang memberikan pengesahan Anggaran juga punya andil terjadinya kasus itu , sebab mestinya Anggota Dewan sudah membaca adanya harga yang tidak wajar dibandingkan pasaran. Alasanya klise, perlu ada price contingencies sehingga harga yang tertera di anggaran umumnya akan lebih mahal rata2 30 % dari harga normal. Contingencies diluar kewajaran, bisa terlihat dari asumsi kursnya yang tidak ada depresiasi rupiah kecuali inflasi. Selisih harga umumnya yang berkisar 30 % itulah yang merupakan duit siluman, dapat dikantongi apabila supplier mau diajak kerja sama untuk meretur duit itu. Bersedia menjadi alat adalah syarat mutlak yang harus disetujui oleh supplier, PT Masaro mau tidak mau tunduk pada syarat yang tidak tertulis tersebut. PT Masaro adalah alat yang dipakai oleh penguasa proyek, sebagai alat akan ikut saja kepada yang mengendalikan. Tidak mau ikut permainan, jangan harap dapat proyek. Didaerah lebih parah lagi, mau proyek harus setor dulu, itupun baru dapat janji, masih bersyukur kalau tidak ada mutasi pejabat, jika ada mutasi alamat uang melayang. Dikasuskan akan membawa masalah, bisa2 masuk sel karena penyuapan. Pengusaha senang berhubungan dengan proyek pemerintah, pembayaran aman karena pejabatnya punya kepentingan juga dalam pembayaran, supplier terima pembayaran, pejabatpun mendapat bagian. Ketika proyek itu bermasalah, pengusaha juga kena getahnya, contohnya seperti PT Masaro itu. Tidak mengherankan apabila banyak pengusaha Indonesia pindah basis usaha ke Singapore setelah meraup keuntungan dari proyek yang didapatkan dari pemerintah daripada menjadi kambing hitam. Pemerintah berusaha merangkul pengusaha yang ketakutan, rakyat mencibir, tetapi ketika pengangguran meningkat, rakyat mencibir pemerintah pula. Ketika korban permainan pejabat negara diperiksa, pengusahapun tak luput dari ejekan. Kebiasaan bangsa ini yang lebih suka mencari kambing hitam, pengusaha sering menjadi tumpuan kesalahan, makanya korupsi susah diberantas. Yang menciptakan terjadinya permainan dengan mudah mengelak bak manusia bersih, sasaranya agar pengusaha saja yang lebih pantas. Mengapa kita tidak melihat fakta saja, memusuhi Anggodo atau Anggoro adalah sikap yang sia2 saja bahkan menjadikan image yang menakutkan bagi investor yang bersedia memberi peluang kerja. Kita akan menjadi bangsa yang besar jika kita mau mengakui kesalahan bangsanya, mencari kambing hitam sama saja membunuh periuk nasi bangsanya sendiri. Memusuhi Anggodo, hal ini karena tidak mengerti duduk persoalannya atau memang tidak mau mengerti. Pantaslah para aktor dunia korupsi di Indonesia selalu tersenyum, sudah ada kambing hitam yang siap dikorbankan, orang2 seperti Anggodo itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H