Mbah gemblung ingin meramal ekonomi, ekonomi salaman, lha wong ada gambar salaman ditulisi FTA, Free Trading Agreement ( Perjanjian Perdagangan Bebas ) Asean - China yang telah berlaku mulai tanggal 1 January 2010 yang menurut perhitungan ahli ramal keuangan negara akan berpotensi menurunkan pendapatan negara dari penerimaan bea sebesar Rp. 15 Triliun. Pemerintah sudah tanda tangan perjanjian, ya jangan diprotes kalau nantinya produk import membanjir. Para pedagang tidak boleh protes kalau berdagangnya dilarang bebas juga, berdagang dipinggir jalan biar tidak bayar sewa tempat. Dagangan murah meriah akan membanjir pasar Indonesia, walaupun mutunya kurang baik yang penting harga terjangkau. Lha kita senang beli yang murah, beras oplosan, dioplos pakai kerikil juga banyak yang jual, banyak yang beli karena lebih murah. Ekonomi salaman, ekonomi cincay cincay saja, tambah nyungsep kalau sektor riel terutama industri manufaktur tidak didorong2 supaya jalan lagi. Sekarang ini seperti lumpuh karena bank banyak dikuasai modal asing, mana mau membiayai industri di Indonesia kalau rakyatnya demo terus. Lagi enak2 kerja, di-ubrak2 diajak demo. Belum lagi demo2 yang lain soal tuntutan mundur2, tuntutan bayaran pendidikan diturunkan, tuntutan supaya dikasih lapangan kerja. Dikasih lapangan kerja katanya gajinya kurang, demo lagi. Sepertinya ekonomi salaman dapat menimbulkan masalah baru, industri manufaktur makin terpuruk kalah bersaing dengan produk China. Yang paling realistis adalah kembali berbasis pada agroindustri, tetapi agrobisnis dikuasai oleh segelintir konglomerate. Membuka baru, konsesinya banyak sudah dikuasai entah siapa itu, alasan yang kasih konsesi, modal surat konsesi tawar2 kesana kesini, investor males meladeninya karena surat saja menjadi barang mahal. Minta konsesi baru, tambah repot, salah2 didemo karena persoalaan sengketa lahan, sukur2 tidak dibakar. Masyarakat pedesaan seperti mbah ini asal masih bisa makan masih diam, tetapi masyarakat perkotaan yang lapar dan berkumpul, bisa runyam urusannya, penjarahan seperti tahun 1998. Zaman Orba dulu, ada polecy yang bagus, petani yang manut walaupun harga panennya dibandrol tetap tidak rewel, ini untuk menjaga agar masyarakat perkotaan mampu membeli beras. Masyarakat perkotaan agar dapat beli beras didoronglah industri manufakturnya, tidak ada yang lapar. Yang bagus dicontoh, yang jelek jangan diikuti. Menurunnya daya beli masyarakat dan membenjirnya produk import akan secara langsung memukul sektor industri. Jika sektor pertanian terjadi kendala, biaya produksi yang tidak efisien oleh karena tersendatnya distribusi pupuk misalnya, produk pertanian dari luar yang lebih murah akan pula memukul para petani. Tahun 2010 akan menjadi sangat suram kalau rakyat kita ribut terus, investor takut berusaha di Indonesia dan yang paling menderita lebih dahulu adalah masyarakat perkotaan. Agar ekonomi membaik dengan tumbuhnya lapangan kerja untuk masyarakat perkotaan, syarat utama yaitu keamanan yang terjamin harus dipenuhi. Maka masyarakat haruslah salam salaman, damai saja sebab ribut2 sama saja melilitkan tali gantungan dilehernya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H