Penyidik dan Jaksa memiliki kewenangan yang tidak dapat diintervensi dan independen untuk membuat sebuah keputusan memenjarakan, seperti itulah yang saya mengerti. Oleh karenanya, jangan mengajari penyidik atau jaksa karena mereka adalah ahli dalam profesinya. Bagaimana kalau terjadi penyalah gunaan kewenangan ? Â Bukan main tebalnya tembok yang harus dihadapi karena mereka adalah para petugas negara yang disebut independen dan tidak dapat diintervensi.
Lika liku untuk menembus tembok tebal cukup memakan biaya yang tidak sedikit serta pikiran dan tenaga yang tersita karena mereka adalah aparatur yang tidak dapat dijangkau oleh rakyat. Untuk menembus tembok tersebut haruslah banyak bertanya, bertanya mengapa saya dibayar setelah saya selesai menjalani proses hukum. Bertanya mengapa pengacara saya MY SH sebagai terlapor tidak disidangkan sedangkan saya yang menjadi saksi berubah menjadi pesakitan , ada apa ?
Baru saya fahami ketika saya membaca berkas dakwaan, saya mengahadapi sebuah konspirasi yang saya duga melibatkan banyak pihak untuk memotong kaki saya agar saya tidak berkutik menghadapi mafia perbankan. Biarkan peradilan hitam merajalela agar saya tercebur sekalian didalam sebuah permainan  hukum yang saya duga untuk melindungi  para mafia perbankan.
Adalah permainan oknum bank BNI bernama LS bekerjasama dengan notaris rekanan bank tersebut mengambil alih management perseroan milik saya yang masih dalam ikatan perjanjian kredit dengan Bank  BNI. Diduga, LS telah menjual jaminan kredit milik saya kepada AM dan AM selanjutnya berhasil mendapatkan dana pinjaman dengan jaminan milik saya dari BPR Citra Dana Mandiri. Dari dana pinjaman BPR  inilah, AM dan LS bekerjasama melunasi pinjaman saya di Bank BNI sebesar Rp. 2,150 milyard sementara nilai jaminan tersebut lebih dari Rp. 10 milyar.
Sayangnya, perbuatan tersebut dilindungi oleh oknum aparatur penegak hukum dengan melakukan setting kriminalisasi berdasarkan keterangan palsu dan mengganti isi dokumen. Belakangan AM, karena sertifikat terblokir menawarkan perdamaian dan mengaku berhutang. Â Pengakuan berhutang inilah yang saya jadikan dasar mempertanyakan perlakuan hukum terhadap diri saya dimana untuk menjangkau saya, diduga aparat hukum memanfaatkan pengacara saya sendiri MY SH.
Sebuah media yang saya baca , tidak disidangkannya pengacara saya MY SH yang dillaporkan ke Polda  oleh AM dan sudah P21 menurut pihak kejaksaan karena "dipendam" di Polda artinya penyimpangan ada di pihak Polda. Padahal, sebelumnya sewaktu saya dimintai keterangan oleh jaksa pengawas dapat saya tunjukkan bukti, diduga kuat merupakan sebuah pengaturan yang hanya dapat dilakukan oleh JPU.  Saya langsung menghubungi pihak Propam Polda  untuk melakukan klarifikasi, bahwa berita itu adalah kesimpulan kejaksaan, bukan atas hasil pemeriksaan terhadap saya.
Disidangkannya MY SH Â menjadi sangat penting bagi saya, sebab pengakuan berhutang dari AM sebagai pelapor adalah bukti keterangan palsu dimana dalam keterangan dihadapan penyidik Polda, AM mengaku telah melaksanakan kesepakatan dengan saya antara lain isinya tentang kewajiban AM untuk membayar tanah yang akan dialihkan dengan cara menghilangkan harga yang harus dibayarnya. Atau dalam arti kata lain AM mengaku telah melunasi pembayaranya. Â Namun, karena tidak mampu menunjukkan bukti pembayaran, sertifikat tanah terblokir sementara sebagian tanah sudah dijualnya kepada pihak lain.
Pengakuan berhutang tersebut dibuat dalam akta dihadapan notaris dengan judul akta kesepahaman, oleh AM akta tersebut dibawa ke Kantor Pertanahan dengan maksud untuk melakukan proses peralihan hak tanah yang telah dijualnya. Beberapa persil sempat diproses balik nama, segera saya kirim SMS kepada pejabat BPN isinya mengingatkan bahwa peralihan hak tanah tidak boleh berhutang. Mendapat SMS demikian, sertifikat diblokir dengan sendirinya, AM terjerat oleh akal2-annya sendiri dan menimbulkan persoalan hukum lain yang harus dihadapi AM.
Dengan adanya akta tersebut, saya mempertanyakan proses hukum yang telah saya jalani, mempidanakan saya  seharusnya jual beli itu sudah bersifat final, mengapa ada akta pengakuan berhutang ?. Sekaligus saya pertanyakan mengapa MY SH tidak disidangkan.  Pertanyaan tersebut dijawab oleh Kepala Irwasda Polda yang salah satu butirnya berbunyi, jika kurang jelas silakan saudara berkoordinasi dengan kejaksaan.  Butir surat ini semula membingungkan saya, tersurat bahwa mestinya perintah koordinasi tersebut ditujukan kepada Propam, bukan kepada saya.
Mau tidak mau saya terjebur dalam urusan kode etik yang sesungguhnya menjadi urusan internal sebab latar belakang mengadili saya diduga untuk menutupi dugaan pelanggaran perbankan. Â Disinilah yang saya sebut tembok tebal yang sulit ditembus, namun berkat surat dari Irwasda tersebut yang saya jadikan landasan, titik terang mulai terlihat, kejaksaan menyalahkan Polda. Kalau sudah terjadi saling menyalahkan mestinya kesalahan itu sudah terindentifikasi yang menjadi urusan internal aparatur penegak hukum itu sendiri.
Banyak saran yang saya terima agar saya membuat laporan kepolisian atas tindakan bank, notaris dan BPN, itu adalah urusan negara dan aparatur hukum wajib melakukan tindakan apabila ada indikasi Tipibank dan Tipikor. Kebetulan saya bertemu dengan perwira muda Polri, menurut info, dia adalah putra petinggi Polri sangat tertarik dengan kasus yang saya hadapi. Informasi dan bukti saya berikan, formalnya dilanjutkan dengan informasi tertulis  kepada Kapolresta yang menurut saya, pada tingkatan ini  tidak terjadi conflict of interest dalam perkara saya sebelumnya yang menurut kejaksaan sebagai "pemendam" perkara MY SH.  Informasi dari penyidik, penyelidikan sudah berjalan bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan yang juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam masalah perbankan.
Namun, dengan berjalannya penyelidikan terhadap dugaan adanya Tipibank dan Tipikor, persidangan MY SH menjadi buah simalakama, selain bukti keterangan palsu sudah saya sebarkan, juga proses penyelidikan adanya dugaan Tipibank yang diduga melibatkan AM sebagai pelapor.
Apakah ini yang disebut mafia peradilan ?  Jawabannya akan terpulang pada kerja penyidik dan otoritas jasa keuangan yang baru dibentuk tahun 2011. Bagi saya, selama hukum belum diluruskan maka sertifikat  akan terblokir selamanya karena yang saya inginkan bukan dibayar, peralihan hak tanah tidak boleh berhutang, kecuali BPN  berani melanggarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H