Perceraian, mungkin bisa menjadi sebuah kata yang horror untuk didengar. Seringkali perceraian dikaitkan dengan rusaknya rumah tangga dan keharmonisan yang tidak lagi ada. Dua insan yang pernah menyatukan janji dan harapan, sekiranya sudah tidak lagi bisa bersama.
Lebih kepada tren, nyatanya angka perceraian di Indonesia selalu bertambah presentase setiap tahunnya.
Berdasarkan data Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada periode 2014-2016, perceraian di tanah air trennya memang melonjak. Dari 344.237 perceraian pada 2014, naik menjadi 365.633 perceraian pada 2016. Rata-rata angka perceraian naik tiga persen per tahunnya.Â
Belum lagi berdasarkan data yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), terdapat 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan.
Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang (detikcom). Jumlah ini hanyalah perceraian yang dilakukan atas dasar pernikahan pasangan muslim. Pasangan nonmuslim yang melakukan perceraian di pengadilan umum, belum termasuk hitungan. Jumlah yang sungguh fantastis.Â
Lalu apa kabar ya, data perceraian di penghujung 2019 nanti?
Memang ada banyak hal yang melatarbelakangi sebuah perceraian. Tak jarang, kita hanya fokus kepada keretakan hubungan antara suami dan istri, baik sebelum maupun setelah perceraian dilakukan.
Namun yang lebih penting dari itu adalah, perlu diketahui bagaimana kelanjutan nasib anak yang terkena dampak dari perceraian tersebut.
______________
Anak-anak yang orangtuanya bercerai, mereka cenderung kurang bekerja sama dalam bermain dan mempunyai lebih banyak interaksi negatif dengan teman-teman bermain mereka.
Banyak ilmuan sosial telah membuat penemuan-penemuan serupa tentang masalah-masalah tingkah laku di antara anak-anak dari kondisi pernikahan yang bermasalah (dalam buku The Process Of Parenting, Brooks).