Jika yang memiliki profesi tetap dengan gaji mencukupi untuk kebutuhan hidup adalah sang suami, maka hal tersebut dirasa sudah sesuai.Â
Mengingat sampai saat ini masih banyak stigma yang menuhankan suami menjadi pencari nafkah nomor satu dalam keluarga. Akhirnya, istri pun bisa lepas tangan masalah uang dan fokus mengurus anak di rumah.
Namun, lain halnya jika justru sang istri yang memiliki profesi menjanjikan tersebut. Mau tidak mau, sang suamilah yang harus merelakan untuk tinggal di rumah dan mengasuh anak. Â
Namun tentunya keputusan tersebut hanya berlaku untuk pasangan yang berprinsip untuk tidak mau menitipkan anaknya, baik karena alasan biaya penitipan anak yang semakin mahal atau karena pola pengasuhan yang ingin diterapkan sendiri.
Menindaklanjuti fenomena "bapak rumah tangga" tersebut, Pew Research Center menemukan peningkatan jumlah laki-laki AS yang menjadi bapak rumah tangga dari waktu ke waktu.Â
Mereka mengambil data dari penelitian Karen Kramer et. al (2013) yang mengumpulkan statistik BRT yang ada di AS dari beberapa dekade.
Pada tahun 1976-1979, ada 2 persen laki-laki yang memutuskan menjadi BRT, dilanjutkan dengan tahun 1980-1989 sebanyak 2,8 persen, 1990-1999 sebanyak 2,7 persen, dan tahun 2000-2009. Sehingga jumlahnya mencapai 3,5 persen atau sekitar 550.000 laki-laki (Tirto).
Intinya, menjadi bapak rumah tangga kini sudah bukan menjadi hal yang tabu dimasyarakat, selama itu berdampak baik pada anak. Alih-alih menitipkan anak kepada orang yang belum tentu sesuai dan mengerti kepribadian anak, bukankah akan lebih baik diasuh orang tua sendiri. Betul kan?Â
Baik istri atau suami, memang sudah sepatutnya untuk meluangkan waktu khusus untuk anak. Supaya dapat terpantau secara keseluruhan tumbuh kembangnya sehari-hari.
Memang peran ibulah yang paling utama dalam mengasuh anak, namun bukan berarti ayah tidak mempunyai peran untuk mengasuh lho. Keseimbangan pengasuhan itu perlu, hehe.
Semoga bermanfaat!