Andai kata aku pualam. Maka jadilah engkau pemahatnya. Membuai kristal-kristal manja tak berotot. Menciptakan dekorasi megahnya jiwa yang kebal titik noda.
Andai kata aku ngarai. Kuingin engkau adalah aliran sungai yang menepis sepi. Membasuh rerumputan yang berbisik bingit. Menghidupi apa yang akan kelabu. Juga menengahi tebing bernama aku dan kita.
Andai kata aku buku catatan. Maka kuingin engkaulah penebar tintanya. Buatlah relikui diujung kisah tak bertepi. Menjadikannya pelepas beban disaat penat. Yang akan muncul saat kelopak matamu merabas lirih.
Andai kata aku kisah tragis. Kuingin engkau yang jadi titik akhir epilognya. Tegas namun timbang rasa. Pekat namun menjalarkan hikmah  berperi. Menimang raga yang melenggang letih.
Andai kata aku sebuah pagar. Maka kuingin engkau jadi bunga jalar yang bersandar padanya. Hidup berdampingan dengan sinar pagi penghapus pilu. Memanjat harap supaya tak lupa dengan yang sudah tertanam.
Meskipun selalu ada kata yang tak sampai terucap. Jangan engkau mengecap pahitmu sendiri. Untuk hati yang sedang bersembunyi. Keluarlah. Ketuk aku. Kan kutunggu engkau di gerbang penikmat sendu.
Malang, 30 November 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H