Siang itu adalah jam terakhir pembelajaran. Saya sangat bersemangat masuk ke dalam kelas. Rasanya tidak sabar, ingin segera berbagi ilmu dengan murid-muridku tersayang.Â
Di kelas,kulihat sebagian dari muridku terkantuk-kantuk. Atmosfernya sangat pas untuk istirahat ya, nak?. Saya pun sebenarnya juga ingin beristirahat. tapi siapa nanti yang mengajar kalian jika saya demikian?. Lalu saya lanjut mengajar.
Di tengah pembelajaran, nampak ada seorang murid laki-laki yang tertidur pulas. Wah, ini tidak bisa dibiarkan. Kamu harus paham materi ini nak..
Iseng, saya coret pipinya.. supaya terbangun. Tenang, bukan tinta permanen kok. Tapi kemudian, dia malah menghujaniku dengan hantaman sana-sini. Nak, kenapa kamu memukulku? Apakah saya mengganggu mimpi indahmua? Tapi, kamu memang tidak seharusnya tidur di kelas nak.. Kelas adalah tempatmu belajar. Ilmu, itulah yang kamu butuhkan.
Sebenarnya, saya bisa saja membalas pukulannya. Tapi rasanya saya tidak sanggup. Saya ini adalah gurumu, dan dia adalah muridku. Pantaskah kalau aku memukulku muridku?
Nak, sebenarnya saya hanya ingin menghentikanmu yang kalap ini, dan melanjutkan pelajaran kita yang tadi. Tapi, saya tak berdaya nak. Wajah saya terasa nyeri. Rasanya saya sudah tidak mempunyai keseimbangan lagi. Lalu, kepala sekolah mengizinkanku pulang.
Di rumah, istriku mengkhawatirkan kondisiku. Saya bilang, saya baik-baik saja supaya dia tidak khawatir.Namun tiba-tiba isi perutku keluar, dan setelah itu saya tak sadarkan diri. samar-samar, kulihat istriku yang perutnya kian hari kian membesar itu panik. lalu dalam sekejap saya sudah berada di rumah sakit.Â
Waktuku disana cuma sebentar ternyata. Di rumah sakit itulah jiwaku mulai bosan dengan raganya. Rohku pun terbang mengangkasa. Itu artinya, saya sudah tiada. Seketika keluarga saya menangis sejadi-jadinya. Seperti tidak rela kutinggalkan.
Terlebih lagi Istriku..
Saya sedih.. Tidak menyangka secepat ini saya meninggalkan mereka, meninggalkan dunia, dan meninggalkan dunia seni yang sangat saya sukai.
Istriku, pernikahan kita masih seumur jagung.. Tapi saya malah meninggalkanmu secepat ini.
Sayang, maaf jika anak kita terlahir tanpa seorang bapak yang mengadzaninya..
Sayang, maaf saya tidak bisa berada disampingmu lagi.. menafkahimu.. dan menjagamu.
Sayang, maaf jika gaji honorer empat ratus ribuku selama ini masih jauh dari kata cukup untuk menghidupimu dan anak kita.
Sungguh, sebenarnya saya tidak ingin ini semua terjadi. Tapi apalah daya takdir sudah berkehendak lain. Tapi sayang, janganlah kamu dendam dengan muridku.. Dia hanya anak belum dewasa yang masih labil. Tolong, maklumi dia.. dan lepaskan kepergianku dengan ikhlas.
Aku sayang padamu
Indonesia berduka. Selamat jalan bapak Ahmad Budi Cahyono, semoga ditempatkan yang terbaik disi-Nya. #saveguruÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H