Mohon tunggu...
Perpustakaan Kementerian Keuangan
Perpustakaan Kementerian Keuangan Mohon Tunggu... -

"An investment in knowledge pays the best interest." -Benjamin Franklin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Balapan Liar Atau Balapan di Kompasiana? Mana yang Lebih Baik

16 April 2012   01:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:34 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1334540577746803507

Daripada balapan liar di jalan raya, mengapa tidak menulis, menuangkan gagasan di Kompasiana saja? Mengapa tidak belajar ke perpustakaan saja? padahal jelas bahwa manfaat yang didapatkan lebih nyata. Ide, gagasan, uang dan kerja keras belum mendapatkan tempat tertinggi di hati dan pikiran para pemuda kita sebagai wujud prestasi dan kesuksesan dalam kehidupan. Ini adalah tantangan bagi para guru, orang tua dan kita semua untuk mewujudkan itu. Saya yakin, budaya arogansi masyarakat komunal di negara kita akan semakin terkikis oleh globalisasi & kapitalisme. Seiring meningkatnya jumlah lapangan kerja dan naiknya kesejahteraan, energi untuk sekedar nongkrong sambil balapan tengah malam yang sangat melelahkan akan segera dilupakan. Lembaran rupiah saya kira  lebih menarik bagi setiap orang. Fenomena balapan liar bukan hal baru. Penyakit itu sudah puluhan tahun dibiarkan menjangkiti semakin banyak orang muda. Apapun alasannya ketika jalan raya tidak digunakan sebagaimana fungsinya, tentu dapat dikatgorikan sebagai pelanggaran hukum. Demikian juga balapan liar, parkir liar, "ngetem" liar yang semuanya itu terjadi di jalan raya harus berani dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Karakter masyarakat kita yang permisif karena memiliki toleransi yang sedemikian tinggi, terbukti kontra produktif dengan penegakan hukum di negara ini. Bagaimana dengan demonstrasi di jalan raya? apakah para pembalap liar yang setiap malam "menghantui" setiap orang yang lewat di Kemayoran mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat? Seringkali logika dan tafsir "hukum" di Indonesia ini sulit dimengerti. Struktur dan budaya masyarakat Indonesia masih menempatkan "keberanian" sebagai wujud prestasi. Berani berkendara dalam kecepatan tinggi dirasakan sebagai bentuk simbol yang menjamin eksistensi orang muda. Absennya keteladanan, minimnya prestasi, salah tafsir "toleransi hukum",  dan budaya arogansi mengakibatkan kesewenangan di jalan raya diteladani, unjuk kekuatan/ kecepatan mendapatkan pembenaran. Tidak ada yang salah dengan pemuda kita, kreatifitas dan energi yang suka tantangan itu harus mendapatkan tempat yang tepat untuk dituangkan. Dalam masalah semangat dan keberanian, saya yakin subsidi adrenalin tidak diperlukan oleh angkatan muda Indonesia. Semoga kasus gerombolan bermotor menjadi bahan renungan bagi kita. Sudahkah kita membuang "toleransi hukum" dalam keseharian kita? Salam, www.perpustakaan.depkeu.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun