Mohon tunggu...
Kemenkastra Bem Polinema
Kemenkastra Bem Polinema Mohon Tunggu... Lainnya - Kementerian Kajian Strategis Bem Polinema

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan, Maka hanya ada satu kata: lawan!!! - Wiji Thukul

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peringatan, Perjuangan Hak Asasi dan Keadilan Kaum Buruh

1 Mei 2022   18:12 Diperbarui: 1 Mei 2022   18:14 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita mengenal 1 Mei sebagai hari libur nasional, namun pada tanggal 1 Mei sendiri terdapat momentum yang memilukan hingga dikenang dan diperingati sampai detik ini. Untuk lebih detailnya, 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional atau kerap disebut juga dengan sebutan "May Day". Akan tetapi, apa yang menjadi latar belakang adanya hari buruh internasional ini?

Sejarah Hari buruh:

Sebagai pekerja, sudah sepantasnya kita bekerja menurut batas waktu yang telah ditentukan dengan upah yang sesuai. Sebelum menandatangani kontrak, kita akan dihadapkan pada pilihan, berapa jam yang harus kita habiskan dalam sehari untuk tuntutan pekerjaan dan berapa harga dari tenaga yang kita keluarkan selama waktu tersebut? Aturan waktu kerja yang telah ditetapkan pemerintah pada hakikatnya adalah untuk melindungi kesehatan dan keselamatan para pekerja di tempat kerja. Namun, pada praktiknya, beberapa perusahaan tidak memberlakukan hal yang sama hingga menyeleweng dari batasan pekerja pada normalnya. Hal inilah yang melandasi peristiwa besar di Amerika Serikat pada tanggal 1 Mei 1886, Haymarket.

Ketentuan bekerja selama 10 sampai 16 jam dalam kondisi tidak aman saat itu membuat para buruh bersatu melakukan aksi. Pasalnya, cedera dan kematian menjadi hal biasa yang terjadi pada masa itu. Jumlah kematian akibat jam kerja yang berlebihan itu mencetuskan kelompok buruh untuk mempersingkat waktu bekerja tanpa adanya pemotongan gaji. Pemikiran ini telah ada sejak tahun 1860-an. Seiring berjalannya waktu, ide ini semakin diperkuat dan diorganisir sehingga pada akhir tahun 1880, terjadilah demonstrasi Haymarket.

Mulanya, aksi para buruh di Haymarket Square terlaksana secara damai. Tetapi, muncul insiden ketika polisi mencoba membubarkan pengunjuk rasa pada tanggal 3 Mei yang menyebabkan seorang buruh tewas dan beberapa lainnya terluka. Insiden ini diperparah dengan pelemparan bom di barisan polisi dan polisi yang menembaki buruh yang masih berbaris secara brutal. Dalam peristiwa tersebut, delapan pria dijatuhkan tuduhan karena dicurigai menjadi dalang pelemparan bom walaupun tidak ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan mereka. Hakim Joseph E. Gary menjatuhkan hukuman mati pada tujuh orang tersangka, dan tersangka kedelapan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Pada 11 November 1887, empat pria digantung. Sedangkan dari tiga orang lainnya yang dijatuhi hukuman mati, satu di antaranya ditemukan bunuh diri sebelum malam eksekusi tiba dan dua lainnya hukumannya diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup oleh Gubernur Illinois Richard J. Oglesby.

Keputusan ini membuat masyarakat mempertanyakan keabsahan hukum terhadap para terdakwa yang dianggap telah dihukum secara tidak adil. Bagi sebagian orang, kerusuhan Haymarket meningkatkan sentimen anti-buruh hingga pada akhirnya Federasi Internasional Kelompok Sosialis dan Serikat Pekerja menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional yang diperingati sampai detik ini.

Hari Buruh di Indonesia

 

Era kolonial Hindia Belanda

Sejarah hari buruh di Indonesia sendiri dimulai pada saat era kolonial Hindia Belanda, tepatnya pada tanggal 1 Mei 1918 oleh Serikat Buruh Kung Tang Hwee . Aksi ini berawal dari tulisan tokoh sosialis Belanda yaitu Adolf Baars. Dalam tulisannya Baars mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh yang terlalu murah untuk dijadikan perkebunan, tidak hanya itu, Baars mengungkapkan bahwa kaum buruh bekerja keras tanpa upah yang layak dan kurang sesuai dengan pekerjaan buruh tersebut. Baars juga memprotes sistem kepemilikan pabrik gula yang ada di jawa.

Peristiwa pertama kali ini tidak hanya di Hindia Belanda yang menggelanya, namun juga di Asia peristiwa pertama kali ini digelar. Akan tetapi penduduk lokal tidak berminat dalam peristiwa hari buruh ini pertama kali digelar. Setelah tiga tahun kemudian setelah peristiwa digelarnya hari buruh pertama kali tepatnya pada tahun 1921, HOS Tjokroaminoto yang ditemani muridnya, soekarno, ia berpidato mewakili suara dari serikat buruh yang dibawah pengaruh Sarekat Islam.

Dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Mei 1923 peringatan hari buruh terpanjang di masa kolonial terjadi. Setelah peringatan hari buruh, buruh kereta api mengalami pemotongan gaji. Buruh kereta api pun melakukan mogok kerja yang berhasil melumpuhkan perhubungan, namun para buruh kereta api diberi ancaman pemecatan apabila tidak segera kembali bekerja, tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1926 hari buruh ditiadakan, karena pemerintah Hindia Belanda sedang waspada karena mendapat rumor bahwa akan ada perlawanan dari partai komunis Indonesia. Perlawanan dari partai komunis memang benar benar terjadi, namun perlawanan itu gagal.Perayaan Hari Buruh pun tidak lagi dilakukan setelahnya.

Era Kemerdekaan

Hari Buruh Nasional kembali dirayakan sejak kemerdekaan. Pada tanggal 1 Mei 1946, sejarah saat hari buruh mencatat di Kabinet Sjahrir adalah alasan diperbolehkan merayakan adanya Hari Buruh, bahkan menganjurkannya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 juga memerintahkan bahwa setiap 1 Mei, para buruh boleh untuk tidak bekerja. Undang Undang juga memerintahkan perlindungan anak dan hak wanita sebagai pekerja. Adanya undang-undang ini memicu aksi para buruh pada 1 Mei. Pada tanggal 19 Mei 1948, ratusan bahkan ribuan petani dan buruh mogok kerja menekankan untuk pembayaran upah yang tertunda. Aksi ini juga banyak memicu terjadinya aksi aksi lainnya. Pemogokan buruh terhenti saat Perdana Menteri Mohammad Hatta membuat pertemuan dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah 2 tahun, pada 1950, para buruh meminta kembali haknya, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951, adalah awal dari keterlibatan militer dalam isu perburuhan.

Masa Orde Baru

Dalam catatan sejarah hari buruh pada masa Orde Baru, perayaan hari buruh dilarang karena identik dengan aktivitas dan paham komunis. Pada tahun 1960, istilah buruh juga diganti dengan istilah karyawan di masa ini. Karyawan diambil dari kata karya (kerja) dan -wan (orang). Namun dalam masa orde baru ini terdapat peristiwa besar yaitu terbunuhnya seorang buruh di sidoarjo yang sampai sekarang masih teringat jelas peristiwa tersebut, yaitu peristiwa terbunuhnya Marsinah.

Kilas balik perjuangan buruh yang lekat di ingatan para buruh di Indonesia hingga kini adalah kasus Marsinah. Marsinah merupakan seorang aktivis buruh pabrik PT Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah lahir di Nganjuk, tanggal 10 April 1969 lebih tepatnya pada desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, Nganjuk. Kondisinya yang serba kekurangan membuat Marsinah harus mencari kerja sampingan untuk menutupi kebutuhannya yang lain dan menghidupi keluarganya. Di kontrakan miliknya di daerah Porong, Sidoarjo. Marsinah terkadang menerima orderan menjahit dan berjualan. Marsinah meninggal pada tanggal, 8 Mei 1993 ketika dia berumur 24 tahun karena dibunuh.

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. Catur Putera Surya pabrik tempat bekerja Marsinah resah karena ada kabar dari Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.50/ Th 1992. Dalam surat itu terdapat himbauan kepada para pengusaha maupun perusahaan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Para buruh pada saat itu merasa senang dengan himbauan yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur tersebut. Namun, disisi lain pengusaha dan perusahaan merasa keberatan, karena dengan naiknya gaji karyawan, berarti bertambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. Catur Putera Surya tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Pada hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Departemen Tenaga kerja Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data itulah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok kerja pada saat itu. Pada tanggal 4 Mei 1993 tepatnya pukul 07.00 WIB para buruh PT. Catur Putera Surya melakukan unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700,00,- menjadi Rp 2.250,00,-.  Marsinah tampak sangat bersemangat menggebu gebu menyuarakan tuntutanya, dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan yang sudah disusun rapi dari data data yang diperoleh. Khususnya mengenai tunjangan tetap yang belum dibayarkan perusahaan dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,00,- perhari. Pada tanggal 5 Mei 1993, teman-teman Marsinah yang berjumlah 13 orang di bawa oleh aparat ke kodim karena dianggap sebagai provokator pada aksi tersebut. Marsinah sempat datang ke-kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan teman-temannya yang sebelumnya dipanggil oleh pihak kodim pada saat aksi tuntutannya. Akan tetapi, ketika jam 10 malam Marsinah tiba-tiba menghilang entah kemana, dan tak seorangpun mengetahui keberadaan Marsinah saat itu.

Dari situlah dapat disimpulkan bahwa kasus Marsinah merupakan kasus yang sulit untuk dipecahkan. Hal ini juga dikarenakan kurangnya bukti otentik serta saksi yang mengetahui masalah ini. Setelah Marsinah dinyatakan hilang selama tiga hari akhirnya terdapat kabar bahwa mayat Marsinah ditemukan oleh anak-anak yang sedang bermain di sebuah gubuk Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Pada tanggal 9 Mei sekitar pukul 11.00 WIB. Para aparat kepolisian yang menangani kasus tersebut meyakini bahwa para tersangka hilangnya dan ditemukannya mayat Marsinah adalah Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono Wongso (Ayip), AS Prayogi, Bambang Wuryantoyo, Widayat, Suwono, dan Suprapto. Tapi ketika persidangan naik ke tingkat Mahkamah Agung, semua tersangka malah dibebaskan. Dalam menyelesaikan kasus buruh Marsinah ditemukan banyak kejanggalan yang terjadi, ketika proses persidangan pra peradilan berlangsung, tersangka atas nama Yudi begitu saja dinyatakan tidak bersalah. Hal ini dikarenakan penangkapan terhadap penggunggat dianggap tidak sah. Hal itu semakin memperkuat adanya kejanggalan yang sangat jelas membuat perlakuan hukum kepada para tersangka inkonstitusional. Diantara para saksi yang hadir di persidangan, tidak ada satupun saksi yang memberatkan pelaku. Ada dua orang saksi yang tetap bersikukuh membela Marsinah pada saat itu, tetapi Polda menolak kesaksian tersebut hanya dikarenakan rendahnya pendidikan dari para saksi.

Pengusutan kasus Marsinah yang kedua kalinya juga penuh pro dan kontra dari masyarakat, aparat, maupun kerabat Marsinah. Kemudian para aparat kepolisian mengumpulkan bukti-bukti baru yang telah diselidiki sebagai bahan pemeriksaan lanjutan, tetapi hasilnya belum ada hingga kini. Ada permasalahan yang masih saja terasa janggal mengenai kasus Marsinah hingga kini, mengenai pembuangan mayatnya yang justru dibuang di Nganjuk, padahal Nganjuk merupakan kampung halaman Marsinah, kemudian ditemukanya luka pada alat kelamin Marsinah.

 

Kasus Marsinah yang rumit ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak yang hingga saat ini tak kunjung usai dan tak pernah terungkap kebenarannya. Ketika kekuasaan pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid kasus Marsinah sempat dibicarakan begitu pula Komnas HAM, Komisi Nasional HAM menginginkan kasus Marsinah diusut hingga tuntas. Begitu pula pada masa kekuasaan pemerintahan Megawati Soekarno Putri, Komisi Nasional HAM dan Ibu Megawati sepakat untuk mengusut kasus Marsinah. Akan tetap sampai saat ini kasusnya belum terungkap dan tetap rancu yang tak pernah usai.

 

Era Reformasi

Pada saat era reformasi para buruh dari berbagai lapisan menggelorakan tuntutannya untuk mengesahkan 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan Hari Libur Nasional. Hingga pada akhirnya pemerintah Indonesia mengesahkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Nasional dan menjadi Hari Libur Nasional pada tahun 2014 lalu.

Gelombang demonstrasi terus bergaung pada saat itu hingga memasuki era Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada masa Presiden SBY, para buruh dalam tuntutannya terus berkembang pada revisi UU Ketenagakerjaan hingga tunjangan jaminan sosial yang hingga pada akhirnya itu membuahkan Jamsostek, BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenagakerjaan hingga saat ini.

Dari sejarah Panjang yang sudah dipaparkan tersebut, seluruh buruh di dunia memperingati tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional dan ditetapkannya Hari Buruh di Indonesia yang juga pada tanggal 1 Mei tersebut untuk memperingati perjuangan dari para buruh dan menuntut kesejahteraan yang lebih baik dari tahun ke tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun