Dua tahun kemudian yaitu pada tanggal 1 Mei 1923 peringatan hari buruh terpanjang di masa kolonial terjadi. Setelah peringatan hari buruh, buruh kereta api mengalami pemotongan gaji. Buruh kereta api pun melakukan mogok kerja yang berhasil melumpuhkan perhubungan, namun para buruh kereta api diberi ancaman pemecatan apabila tidak segera kembali bekerja, tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1926 hari buruh ditiadakan, karena pemerintah Hindia Belanda sedang waspada karena mendapat rumor bahwa akan ada perlawanan dari partai komunis Indonesia. Perlawanan dari partai komunis memang benar benar terjadi, namun perlawanan itu gagal.Perayaan Hari Buruh pun tidak lagi dilakukan setelahnya.
Era Kemerdekaan
Hari Buruh Nasional kembali dirayakan sejak kemerdekaan. Pada tanggal 1 Mei 1946, sejarah saat hari buruh mencatat di Kabinet Sjahrir adalah alasan diperbolehkan merayakan adanya Hari Buruh, bahkan menganjurkannya. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 juga memerintahkan bahwa setiap 1 Mei, para buruh boleh untuk tidak bekerja. Undang Undang juga memerintahkan perlindungan anak dan hak wanita sebagai pekerja. Adanya undang-undang ini memicu aksi para buruh pada 1 Mei. Pada tanggal 19 Mei 1948, ratusan bahkan ribuan petani dan buruh mogok kerja menekankan untuk pembayaran upah yang tertunda. Aksi ini juga banyak memicu terjadinya aksi aksi lainnya. Pemogokan buruh terhenti saat Perdana Menteri Mohammad Hatta membuat pertemuan dengan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada tanggal 14 Juli 1948. Setelah 2 tahun, pada 1950, para buruh meminta kembali haknya, yaitu Tunjangan Hari Raya (THR). Peraturan Kekuasaan Militer Pusat No. 1 Tahun 1951, adalah awal dari keterlibatan militer dalam isu perburuhan.
Masa Orde Baru
Dalam catatan sejarah hari buruh pada masa Orde Baru, perayaan hari buruh dilarang karena identik dengan aktivitas dan paham komunis. Pada tahun 1960, istilah buruh juga diganti dengan istilah karyawan di masa ini. Karyawan diambil dari kata karya (kerja) dan -wan (orang). Namun dalam masa orde baru ini terdapat peristiwa besar yaitu terbunuhnya seorang buruh di sidoarjo yang sampai sekarang masih teringat jelas peristiwa tersebut, yaitu peristiwa terbunuhnya Marsinah.
Kilas balik perjuangan buruh yang lekat di ingatan para buruh di Indonesia hingga kini adalah kasus Marsinah. Marsinah merupakan seorang aktivis buruh pabrik PT Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah lahir di Nganjuk, tanggal 10 April 1969 lebih tepatnya pada desa Nglundo, kecamatan Sukomoro, Nganjuk. Kondisinya yang serba kekurangan membuat Marsinah harus mencari kerja sampingan untuk menutupi kebutuhannya yang lain dan menghidupi keluarganya. Di kontrakan miliknya di daerah Porong, Sidoarjo. Marsinah terkadang menerima orderan menjahit dan berjualan. Marsinah meninggal pada tanggal, 8 Mei 1993 ketika dia berumur 24 tahun karena dibunuh.
Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. Catur Putera Surya pabrik tempat bekerja Marsinah resah karena ada kabar dari Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.50/ Th 1992. Dalam surat itu terdapat himbauan kepada para pengusaha maupun perusahaan untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Para buruh pada saat itu merasa senang dengan himbauan yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur tersebut. Namun, disisi lain pengusaha dan perusahaan merasa keberatan, karena dengan naiknya gaji karyawan, berarti bertambahnya beban pengeluaran perusahaan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. Catur Putera Surya tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala Bagian. Pada hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Departemen Tenaga kerja Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data itulah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok kerja pada saat itu. Pada tanggal 4 Mei 1993 tepatnya pukul 07.00 WIB para buruh PT. Catur Putera Surya melakukan unjuk rasa untuk menuntut kenaikan upah dari Rp 1.700,00,- menjadi Rp 2.250,00,-. Â Marsinah tampak sangat bersemangat menggebu gebu menyuarakan tuntutanya, dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan yang sudah disusun rapi dari data data yang diperoleh. Khususnya mengenai tunjangan tetap yang belum dibayarkan perusahaan dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,00,- perhari. Pada tanggal 5 Mei 1993, teman-teman Marsinah yang berjumlah 13 orang di bawa oleh aparat ke kodim karena dianggap sebagai provokator pada aksi tersebut. Marsinah sempat datang ke-kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan teman-temannya yang sebelumnya dipanggil oleh pihak kodim pada saat aksi tuntutannya. Akan tetapi, ketika jam 10 malam Marsinah tiba-tiba menghilang entah kemana, dan tak seorangpun mengetahui keberadaan Marsinah saat itu.
Dari situlah dapat disimpulkan bahwa kasus Marsinah merupakan kasus yang sulit untuk dipecahkan. Hal ini juga dikarenakan kurangnya bukti otentik serta saksi yang mengetahui masalah ini. Setelah Marsinah dinyatakan hilang selama tiga hari akhirnya terdapat kabar bahwa mayat Marsinah ditemukan oleh anak-anak yang sedang bermain di sebuah gubuk Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Pada tanggal 9 Mei sekitar pukul 11.00 WIB. Para aparat kepolisian yang menangani kasus tersebut meyakini bahwa para tersangka hilangnya dan ditemukannya mayat Marsinah adalah Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono Wongso (Ayip), AS Prayogi, Bambang Wuryantoyo, Widayat, Suwono, dan Suprapto. Tapi ketika persidangan naik ke tingkat Mahkamah Agung, semua tersangka malah dibebaskan. Dalam menyelesaikan kasus buruh Marsinah ditemukan banyak kejanggalan yang terjadi, ketika proses persidangan pra peradilan berlangsung, tersangka atas nama Yudi begitu saja dinyatakan tidak bersalah. Hal ini dikarenakan penangkapan terhadap penggunggat dianggap tidak sah. Hal itu semakin memperkuat adanya kejanggalan yang sangat jelas membuat perlakuan hukum kepada para tersangka inkonstitusional. Diantara para saksi yang hadir di persidangan, tidak ada satupun saksi yang memberatkan pelaku. Ada dua orang saksi yang tetap bersikukuh membela Marsinah pada saat itu, tetapi Polda menolak kesaksian tersebut hanya dikarenakan rendahnya pendidikan dari para saksi.
Pengusutan kasus Marsinah yang kedua kalinya juga penuh pro dan kontra dari masyarakat, aparat, maupun kerabat Marsinah. Kemudian para aparat kepolisian mengumpulkan bukti-bukti baru yang telah diselidiki sebagai bahan pemeriksaan lanjutan, tetapi hasilnya belum ada hingga kini. Ada permasalahan yang masih saja terasa janggal mengenai kasus Marsinah hingga kini, mengenai pembuangan mayatnya yang justru dibuang di Nganjuk, padahal Nganjuk merupakan kampung halaman Marsinah, kemudian ditemukanya luka pada alat kelamin Marsinah.
Â
Kasus Marsinah yang rumit ini banyak menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak yang hingga saat ini tak kunjung usai dan tak pernah terungkap kebenarannya. Ketika kekuasaan pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid kasus Marsinah sempat dibicarakan begitu pula Komnas HAM, Komisi Nasional HAM menginginkan kasus Marsinah diusut hingga tuntas. Begitu pula pada masa kekuasaan pemerintahan Megawati Soekarno Putri, Komisi Nasional HAM dan Ibu Megawati sepakat untuk mengusut kasus Marsinah. Akan tetap sampai saat ini kasusnya belum terungkap dan tetap rancu yang tak pernah usai.