Mohon tunggu...
Kemenkastra Bem Polinema
Kemenkastra Bem Polinema Mohon Tunggu... Lainnya - Kementerian Kajian Strategis Bem Polinema

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan, Maka hanya ada satu kata: lawan!!! - Wiji Thukul

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Simbiosis Manusia dengan Lingkungan

5 Juni 2020   16:00 Diperbarui: 5 Juni 2020   16:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jum’at 5 Juni 2020, diperingati sebagai hari Lingkungan Hidup Sedunia. Hari Lingkungan Hidup Sedunia diperingati untuk meningkatkan kesadaran global akan kebutuhan untuk mengambil tindakan lingkungan yang positif bagi perlindungan alam dan planet bumi. Oleh karena itu, guna  menimbulkan atau menciptakan kesadaran global tentang masalah lingkungan hidup yang dihadapi baik dunia maupun negara tertentu.

Mengapa harus tanggal 5 Juni ?

Sejarah ditetapkannya peringatan Hari Lingkungan Hidup bermula dari pembukaan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang berlangsung antara tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm. Para duta dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa berkendak baik mendukung dan berpartisipasi dengan menggerakan semangat yakni dengan mengirim pesan peringatan ke seluruh dunia agar mengambil tindakan dalam Perayaan Hari Lingkungan Hidup dengan cara bergabung ke dalam salah satu tim mereka untuk mengatasi perubahan iklim.

Para selebritas ini meminta setiap orang di seluruh dunia untuk bergabung dengan salah satu tim selebritas dan membuat suatu perbedaan dengan berjanji untuk mengambil tindakan dalam mendukung Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang puncaknya secara global pada tanggal 5 Juni 2014 lalu.

Hal ini tentu berkaitan dengan keadaan lingkungan sekitar saat itu, yang artinya awal mula lahirnya hari besar dunia ini tentu juga dilatarbelakangi oleh kondisi lingkungan yang pernah terjadi. Kondisi lingkungan pada masa itu sangat memprihatinkan dan menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Tidak lagi berpusat pada daerah yang memiliki masalah lingkungan, melainkan hampir seluruh dunia merasakannya.

Salah satu masalah lingkungan yang merebak kala itu adalah wabah penyakit Minamata yang menyerang negara Jepang. Minamata sendiri adalah sindrom yang merusak sistem saraf. Selain itu di sejumlah wilayah Eropa terjadi kabut asap yang meski dampak tidak serta merta tetapi akibat yang ditimbulkan sangar mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. Dari sejarah inilah awal penetapan untuk Perayaan Hari Lingkungan Hidup.

Bentuk Perayaan Sejarah Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Indonesia

Tahun 2015 tepatnya di Provinsi Papua, masyarakat melakukan aksi mengenai gaya hidup yang ramah lingkungan, pengenalan berbagai isu konversi, penanaman pohon serta aksi sungai bersih.

Pada tahun 2019, Perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia mengambil tema “polusi udara” , alasan tema ini karena berbagai jenis polusi udara global yang semakin mengkhawatirkan dan mempengaruhi kesehatan umat manusia dan kondisi lingkungan global. PBB mencatat ada 6 penyebab utama polusi udara global yang mengakibatkan pemanasan global dan akhirnya menjadi krisis iklim yaitu aktivitas rumah tangga, industry, transportasi, pertanian, limbah, dan lain-lain.

Sikap Kita terhadap Lingkungan Semasa Pandemi.

Tentu kita semua dikejutkan oleh sejumlah perubahan yang dialami bumi semasa pandemi Covid-19, terutama isu polusi udara dan air bersih. Udara kian bersih, air juga makin jernih. Sebelumnya, isu polusi ini menjadi "pandemi" lain di berbagai belahan dunia, karena tidak kunjung bisa diselesaikan. WHO menyatakan 7 juta orang mati karena polusi setiap tahunnya. Jurnal Nature Climate Change melaporkan perubahan iklim yang berlangsung selama beberapa dekade. Manusia membakar bahan bakar fosil, seperti minyak, batu bara, dan gas.

Semua itu melepaskan karbon dioksida (CO2), metana, dan gas lainnya ke atmosfer dan lautan. Akibatnya terjadi gas rumah kaca yang paling bertanggung jawab untuk pemanasan global. Polusi tidak hanya mengancam kesehatan manusia namun juga keberlanjutan hidup di bumi. Setelah adanya pembatasan pergerakan melalui himbauan stay at home, polusi udara turun drastis. Di China, negara Covid-19 bermula, dilaporkan mengalami penurunan tingkat polusi yang cukup signifikan. Udara di kota-kota di China lebih bersih dan segar. Di Madrid dan Barcelona dilaporkan polusi udaranya bahkan berkurang 50%.

Penyebabnya jelas, berkurangnya aktivitas industri secara drastis. Banyak pabrik mengurangi produksi bahkan melakukan penutupan. Perjalanan wisata turun signifikan. Alasan yang paling mendasar atas terjadinya perubahan ini adalah transformasi dan perubahan perilaku manusia. Sejatinya, manusia memiliki dorongan untuk berbuat baik atau buruk.

Dalam bukunya Freakonomics, Levitt dan Dubner menyebut dorongan ini sebagai insentif yang dibagi dalam insentif ekonomi, sosial, dan moral. Kita sudah terbiasa hidup dengan perilaku yang didorong dengan insentif. Memberikan insentif terhadap perilaku ini juga diterapkan dalam mengubah respons manusia terhadap perubahan iklim. Insentif yang digunakan misalnya membuat malu mereka yang belum menggunakan produk yang eco-friendly. Starbucks mengantisipasinya dengan menggunakan penutup gelas sippy cup dan menggantinya sedotan.

Upaya Merawat Bumi Dalam Paradigma Pembangunan Saat Pandemi

Pembangunan itu harus berjalan seimbang. Namun upaya ini berhadapan dengan kepentingan mengutamakan jalur pertumbuhan ketimbang keseimbangan. Dengan strategi relative decoupling, negara memang bisa mengejar pertumbuhan sambil mengurangi dampak terhadap lingkungan. Tapi itu tidak selamanya terjadi. Pertumbuhan ruas jalan misalnya, akan diikuti oleh pembukaan lahan hutan dalam skala besar. Tentu kita harus waspada bagi masa depan kawasan hutan.

Alice Hughes, seorang peneliti yang menganalisis jaringan jalan raya di Indonesia mengatakan banyak yang menganggap hutan masih alami dan luas serta tidak bisa diakses. Faktanya hutan sudah terkotak-kotak dan mudah diakses. Secara umum, tantangan pembangunan abad ke-21 semakin kompleks dengan menurunnya kondisi biosfer bumi kita. Mulai dari menipisnya lapisan ozon, pengasaman lautan, pelepasan nitrogen dan fosfor, polusi akibat bahan kimia, berkurangnya debit air tawar, polusi udara, perubahan iklim hingga hilangnya keanekaragaman hayati.

Meskipun demikian, pandemi Covid-19 mendorong manusia dari kondisi status quo. Kondisi nyaman menuju pada kondisi yang mungkin belum tentu nyaman, kondisi "normal baru". Berbicara mengenai New Normal sebenarnya kita punya kesempatan untuk membentuk ulang konsep kota yang ideal “Better Normal”, yaitu kota yang sehat untuk lingkungan dan manusianya (Greenpeace Indonesia).  

Penutup

Antara manusia dan lingkungan terdapat simbiosis yang tidak dapat dipisahkan. Dimana kondisi lingkungan bergantung terhadap cara manusia mengelolanya dan kehidupan manusia juga bergantung pada kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Sehingga sangatlah wajar jika manusia memiliki tugas menjaga dan mengelola dengan baik alam sekitar. Menjaga keberlanjutan lingkungan bukan lagi pilihan tapi menjadi sebuah kewajiban.

Pandemi Covid-19 menyempurnakan itu, "memaksa" kita menghentikan sementara aktivitas publik dan industry global yang akhirnya memberi bumi kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun