Mohon tunggu...
Fentylia Martien
Fentylia Martien Mohon Tunggu... -

Sederhana saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Matahariku di Timur

20 Februari 2011   09:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:26 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Laki laki itu duduk termangu, apalagi yang harus kukerjakan selain ini? berdagang keliling barang barang plastik Rp 10.000 dapat tiga, keliling kampung demi kampung. Sehari mendapatkan tak lebih Rp 50.000 dari sisa yang ku setor untuk bos ku.

Tiga anak? Mereka pasti sudah besar besar, seharusnya ku kukirimkan uang untuk sebagian biaya hidup mereka tapi aku belum mampu bahkan di usiaku yang sudah 47 tahun ini aku masih menjadi laki laki idiot, laki laki pengecut bahkan untuk tiga orang anakku tak mampuku mengasuhnya. Untung ada kakangku di Klaten yang membantuku merawat anak anakku. Maafkan ayah anak anakku, terpaksa ayah melangkah ke tanah Borneo ini untuk mendapatkan penghasilan yang lumayan.

Rasanya ingin pulang lagi seperti lebaran kemarin, masih belum terpuaskan rasa ini akan kampung halaman. Bersyukurku sudah menikahkan anakku yang paling besar, Satrio walau dia hanya seorang pengamen semoga saja hidup mereka lebih bahagia. Satrio, maafkan ayahmu nak ... tidak becus mengurusmu hingga kau dewasa, sekolahpun tak bisa kau tamatkan.

-----

Kuikatkan semua tali di tangan dan kaki di ketiga  anak anak ku ketika mereka masih terlelap tidur, serasa jalan sudah buntu semua untuk kebahagiaan, mata dan hati sudah gelap. Kami tinggal di rumah orang lain yang tadinya adalah kandang kambing, jika tak ada belas kasihan mereka kami tidak tahu tinggal dimana. Aku tidak mau tinggal serumah dengan kakangku walau mereka membolehkan. Nak ... sebentar lagi kita pasti bahagia, jangan kau hirau lagi dimana ibu kalian nak. Pastilah si pelacur itu sudah bahagia dengan polisi nya!

Klik, klik ! Korek gasnya tidak jalan, pemantik api itu macet dan ... tiba tiba pintu terbuka seorang tetangga masuk dan terkejut, pak lik Diman. "Oalah le le kamu ini kenapa? apa yang sedang kamu lakukan?Istighfar leeee". Terguguk ku menangis ditempatku. Pak lik Diman berusaha melepaskan ikatan kami dan menuntuk kami tuk istighfar.

Itu sepuluh tahun yang lalu.

------

Kini setiap bulan ku berusaha untuk mengumpulkan uang dan kusimpan baik baik. Aku bertekad untuk membangun sebuah rumah sederhana lagi nanti untukku dan untuk anak anakku pulang.

Sudah tidak ada minatku untuk menikah lagi, semua adalah kesalahanku dan hanya dengan cara ini ku bisa menebusnya. Bekerja keras untuk anak anakku.

Kubiarkan judi merenggut hidup keluargaku. Dua rumah gedong warisan ibuku sudah amblas bertahun tahun yang lalu, rumah yang harusnya senilai 2 miliar di harga pasaran sekarang. Kubiarkan ego ku menjalankan hidup ku. Istriku pergi dengan laki laki lain meninggalkan kami karena kebodohanku.

Semoga Matahari ini selalu memberi sinarnya untukku. Menjalankan hari hari ku menjadi seorang Bapak yang lebih baik lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun