"...Meski akhirnya kita ditolak dan merasakan sakit hati, namun sakit hati akibat penolakan akan lebih cepat sembuh daripada jika kita hanya memendamnya..."
Hah? Mosok?
Saya sungguh penasaran dengan profil penulis dari tulisan yang saya baca kemarin lusa diganjar HL oleh admin (disebabkan saya gatal ingin berkomentar sesuatu dari tulisan tadi). Tulisannya berjudul: "Kalau Suka Sebaiknya Katakan Saja, Mengapa?" (klik saja backlink-nya)
Dan karena saya vakum lama dari Kompasiana, maka saya tak bisa langsung mengetahuinya. Apalagi keterangan di profilnya sangat minim. Hanya PNS sebagai kredensial. Anyway, hal ini lebih disebabkan karena faktor kredensial umumnya dipandang berhubungan dengan pemikiran dalam tulisan.
Dan karena saya bukan tipe stalker yang kurang kerjaan maka hal tadi kemudian saya abaikan saja. Tapi saya lalu berpikir lebih baik menulis ketimbang berkomentar pendek. Menumpahkan segalanya dari sudut pandang saya. Untuk Kaum Adam khususnya.
Jadilah artikel ini. Dengan banyak penekanan yang tersebar sepanjang artikel.
*
Soal 'Cinta' dan 'Mencintai' adalah tema yang selalu menarik diangkat dalam karya apapun. Lagu, Film, Puisi, dan lainnya. Begitu juga soal 'Patah Hati' yang mengisyaratkan cinta tak (lagi) berbalas. 'Patah Hati' pun penyebabnya ada bermacam-macam. Mulai dari perceraian, selingkuh, dan lain-lain. Hanya, yang ingin saya soroti di sini adalah mendapati 'impian yang tidak sesuai kenyataan' dari penolakan atas pernyataan cinta. Saat mempunyai rasa cinta terhadap seseorang, kita seperti berkeinginan untuk menggapai cita-cita dan seseorang tersebut adalah tujuan tertinggi dalam hidup kita. Hal ini umum.
Namun tentunya kita semua tahu jika di dunia ini didominasi oleh budaya patriarki. Dimana banyak pria didaulat untuk menjadi pemimpin, pemicu, pendahulu, perambah, pembuka jalan, dan sederet hal lainnya. Tak hanya dalam hal pekerjaan, namun bahkan dalam hal 'menyatakan cinta'. Pendapat umum menyatakan seorang pria yang harus memulainya.
Eh loh, tapi saya tidak meremehkan seorang wanita yang menyatakan cinta. Saya tidak memberikan label apapun kepada wanita demikian yang menolak pandangan masyarakat umum bahwa 'seharusnya yang menyatakan cinta adalah pria' karena menaruh hormat: memiliki perasaan cinta sekaligus menyatakannya adalah hak privat masing-masing orang termasuk wanita.
Karena wanita mempunyai pertimbangan pula:
- Pria tak kunjung menyatakan cinta. Yang ini pun bisa jadi karena seorang pria biasanya 'bertugas' menafkahi, maka pada saat itu si pria merasa 'belum siap' disebabkan belum mempunyai pekerjaan (baca: penghasilan) layak. Padahal terkadang bila seandainya menyatakan pun, mungkin saja si wanita adalah tipe yang 'menerima apa adanya', ASAL SI PRIA MAU BERJUANG.
- Pria tidak sadar jika dia 'diincar'.
- Pria kelewat introvert.
- Pria punya idaman lain yang dia belum tau perasaan balik kepadanya.
- Pria malu (atau takut) jika ditolak
dan lain sebagainya.
Namun cara didik antara wanita dan pria sudah dibedakan sejak lahirnya yang membuat wanita lebih dapat mengkomunikasikan dirinya lebih baik dalam menumpahkan keluh-kesahnya kepada orang terdekat---ketimbang si pria, meskipun hal ini juga tergantung dari karakter individu tersebut. Karena itulah ada perbedaan dari cara keduanya dalam menyikapi setiap hal yang dilakukan atau setiap peristiwa yang dialami. Hanya, hal ini tak bisa digeneralisir pula. Karena pemikiran, pergaulan, wawasan, pengalaman, pola didik, kondisi finansial keuangan, dan lain-lain.
Dan dari hemat saya, dunia ini butuh lebih banyak masukan serta pendapat dari para veteran dan praktisi. Bukan dari penonton di luar lapangan, apalagi buzzer bayaran. Karena para praktisi dan veteranlah yang lebih tau bagaimana hal teknis dan penerapan dari banyak kemungkinan disebabkan pengalaman. Apa yang bisa dan aplikatif, apa yang tidak bisa, apa yang mudah dan sulit bahkan mustahil.
Cinta itu berbahaya. Love is a Dangerous Thing, seperti titel lagu dari grup hardrock-glam metal FireHouse. Bukan sekadar isapan jempol karena jika kita menggunakan mesin pencari apapun, kita akan mendapatkan banyak kasus miris: bunuh diri disebabkan penolakan. Kehancuran hati hingga berkeping-keping begitu meninggalkan sederet kesakitan lain: hancurnya harga diri, depresi, trauma, ketidakseimbangan hormon di otak, sesak di dada, penyakit jantung, mental disorder, dan lain-lain. Bahayanya: Cinta dapat membuat seseorang kehilangan akal sehat.
Ada yang berpendapat, pria berhak memilih, wanita berhak menolak. IMHO, hal ini salah kaprah dan nyata membuat saya mengernyitkan dahi. Padahal dari pendapat tadi kita juga bisa menyimpulkan, wanita kan juga memilih akhirnya. Karena dengan menolak pun dia telah memilih. Kecuali jawabannya mengambang disebabkan keraguan si wanita. Patah hati itu menyakitkan, bahkan jika seorang wanita yang menyatakan cintanya duluan lalu ternyata ditolak.Â
Tekanannya akan lain. Sudah dirasa tindakannya anti mainstream dan tidak 'umum', eh lalu ditolak pula. Double kill. Rasanya seperti ketimpuk beban sangat berat dalam satu waktu. Korban penolakan demikian ini banyak yang butuh healing dan pendampingan karena sudah cedera secara psikologis, tak cukup hanya dengan membiarkan waktu mengalir begitu saja sebagai penyembuh. Karena luka batin yang dalam harus diobati bukan dibiarkan.
Baru-baru ini seorang teman di media sosial membagi sekilas cerita miris tentang seorang penulis ternama Ernest Hemingway yang punya 'dendam cinta'. Karena luka juga. Sebuah luka yang dapat membuat luka lainnya. Di banyak kanal berita pun bisa kita cermati bahwa nyawa seorang wanita pun bisa terancam (terbunuh) karena menolak cinta seorang pria.
Dari berbagai sisi gelap penolakan tadi, pada artikel tadi lalu seperti menggampangkan masalah jika berpikiran bahwa sakit hati akibat penolakan akan lebih cepat sembuh ketimbang hanya memendamnya?
Hey ladies. Use your brain, use your heart. Berempatilah.
Dunia ini tidak didominasi oleh cerita Disney Princess yang setiap kisah akan berakhir bahagia meski tidak setiap cerita juga bakal berakhir tragis. Menggampangkan masalah itu berbeda dengan melihat permasalahan secara keseluruhan dan berpikir holistik. Juga imbas dan kemungkinan yang akan terjadi. Termasuk luka tersebut.
Perasaan mereka yang susah bahkan gagal move on ini tidak bisa diremehkan. Saya pernah mengalaminya lebih dari sepuluh tahunan dan ketika saya membaca kalimat perbandingan yang saya kutip di awal artikel ini, saya sontak menghela nafas lalu berpikir, ini apa-apaan?
Saya juga tak sendirian. Ada banyak yang mengalaminya.
Memendam untuk menyatakan cinta (lalu terlambat) bagi saya malah tidak menimbulkan sakit hati sama sekali. Lebih ke sekilas sedih dan penyesalan mungkin. Namun sedih & penyesalan serta sakit hati itu berbeda spesies; bagi mereka yang peka akan dirinya sendiri. Dan penyesalan itu sendiri sifatnya juga tak bisa lama saat kita menyadari ada banyak kesempatan dan kemungkinan lain di luar sana. Di banyak individu, justru penolakan akibat impian yang tak kesampaian ini yang berdampak lebih besar.
Ada yang bilang, bersiaplah untuk kemungkinan terburuk dari semua hal. Kalimat ini juga bukan berarti kita lantas berpikir dan bereaksi negatif dari waktu ke waktu. Tapi ketika kita melihat bahwa solusi dari setiap rasa cinta adalah HANYA DENGAN MENGATAKANNYA (tendensi kuat artikel adalah diarahkan ke sana) ketimbang memendamnya, ini adalah semacam kecenderungan TOXIC POSITIVITY dimana orang lalu mengendurkan kewaspadaannya dan tidak siap dengan kekalahan dan kehancuran hati bersumber dari sakitnya penolakan. Siap kalah itu: ditolak ya berpikir hal itu cuma apes saja, kalo diterima ya syukur. Sedangkan Toxic Positivity sendiri adalah dia seolah-olah selalu positif, tapi banyak orang tak melihat sisi negatifnya.
Btw, kepada penulis---Anda tidak mengatakan begitu HANYA karena termasuk golongan 'menunggu jemputan' ketimbang 'pihak yang menjemput' kan? Apakah Anda bisa bertanggungjawab dengan kemungkinan buruk dari kehidupan seseorang jika hanya pilihan untuk 'MENGATAKAN' saja yang mendominasi untuk digaungkan?
Dan karena ada banyak dari kaum Adam yang akan mengalami penolakan disebabkan dominasi pendapat yang beranggapan bahwa mereka yang harus memulainya (dari soal 'menyatakan' ini) ketimbang kaum Hawa, maka saya tidak membiarkan Toxic Positivity ini berlanjut. Karena saya tidak ingin lagi ada kasus mati konyol gegara penolakan meskipun secara mendasar saya juga tak bisa berbuat apapun bila kejadian tersebut terjadi lagi, karena kecil kemungkinannya mereka membaca tulisan yang bersumber dari pengalaman serta sebagian dari lingkaran saya serta kasus lainnya.
*
Kepada Anda yang akan 'menyatakan': Ada banyak yang dilakukan SEBELUM 'langsung menyatakan' ala bucin. Peka-lah terhadap respons dan bahasa tubuhnya terhadap Anda, Anda bisa sedikit kepo dengan lingkaran pergaulan, teman atau keluarganya,sambil melihat kepribadian, pemikiran, hobi serta tujuan hidup masing-masing dan lain sebagainya.Â
Lakukan sambil mawas diri terlebih dahulu untuk melihat dimana dan bagaimana posisi Anda. Secara umum orang menolak pandangan sistem kasta, tapi dalam kenyataannya di sistem sosial kita tidak bisa ditampik juga bahwa hal itu ada. Lebih banyak 'Disney Princess' yang bakal lebih memilih pangeran ketimbang abdi dalem. Sad But True, when your entire life give you Lemons. Tapi apa mau dikata, bila kenyataannya memang demikian.
Bila Anda masuk strata 'abdi dalem', ya berarti Anda butuh lebih banyak skill dan pemikiran supaya bisa naik strata dan di samping itu... sebenarnya, hubungan istimewa antar dua orang tak hanya berkutat antara dua orang tersebut seorang diri saja, namun juga adalah hubungan dua keluarga dan lingkarannya. Biasanya mereka saling mempengaruhi.
Begitu pula tak hanya faktor soal strata saja, namun cermati juga jika ada banyak faktor lainnya sebagai pertimbangan saat seseorang menolak Anda. Misalnya soal agama, pandangan hidup, sikap, dan lain sebagainya.
LEPASKAN... dan urungkan niat untuk 'menyatakan cinta', jika Anda membaca banyak tanda-tanda tak berbalas sebelum mengatakannya---seperti tidak menanggapi chat, berbohong, berkilah dan beralasan untuk banyak hal, dan melihat gelagat negatif atau tak biasa. Manusia bisa berkata bohong, tapi biasanya bahasa tubuh punya kejujurannya sendiri. Gunakan intuisi serta logika Anda, meski itu susah karena rasa cinta (apalagi level bucin) dapat mengaburkan pemikiran. Cari kesibukan lain dan uang yang banyak. Dengan begitu Anda akan merasa bebas untuk memilih langkah hidup selanjutnya sekaligus meningkatkan bargaining power Anda.
Selangkah mundur untuk kemudian maju.
Ada banyak seseorang lain yang dapat menjadi pendamping Anda kelak di luar sana, di samping jalan hidup Anda masih panjang.
CINTA tak harus selalu dikatakan, dan seseorang yang kita sukai pun tak akan selalu bisa dimiliki. Ini sudah umum dan lumrah terjadi. Atau dalam peristiwa yang langka, jika pujaan hati malah bisa dimiliki setelah 'dimiliki' oleh orang lain dulu---macam kasus Bebi Romeo dan beberapa lainnya. Namun, ini hanya soal kemungkinan lain.
Dan akhirnya, tentu saja Anda bisa SKIP paragraf sebelumnya, teruskan langkah Anda untuk menyatakan cinta jika Anda melihat tanda-tanda sebaliknya dan privilege yang Anda punya mendukung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H