Ingat sabtu malam itu kita berkemah, sayang. Takkan terlupa mengapa aku kegelian dan kegatalan. Atau itu adalah dosa dari buluh-si rumput teki atau rumpunan yang lain. Tapi tak hanya kaki yang terserang kemalangan iseng dan nakal ini. Nampaknya hawa malam membawa kesialan walau purnama indah datang dengan kayu unggun yang berkelimpahan. Memang api akan menganga menuju angkasa, dan hangat membawa kepala pasukan dari teman-teman kita berteriakan saling mengatur diri mereka sendiri.
Pasukan yang cengengesan di warung kopi siang hari, ternyata juga kuat siaga di remang-remang. Nyanyi-nyanyi bersama.
Hingga semuanya menggila dan meredup di hari hampir pagi.
Tapi aku tak habis pikir di malam cerah itu sayup-sayup kau terlihat menggelinjang kesenangan. Cantikmu yang juga membawa warna bulan mengambang memang menggambarkan mimpi indahmu. Barangkali juga karena ada nyamuk besar yang menggelitik dungu minta beberapa tetes belas kasihan. Tak urung jantungku melorot ke pijakan kaki di lapangan karena ulahmu yang menggairahkan. Sampai memucat terkejut air punya teman berwangi sabun cucian tiba-tiba berlompatan. Syahdan, sekarang pun masih ada kemalangan itu di sekujur tubuhku bila dingin menyeringai dari malam yang beranjak berawan berangin.
Kita lama bergandengan masa,
Dan kau masih sama wanginya. Tapi tak sering kujumpai lagi kau yang menggeliat kesenangan seperti kala itu, terutama waktu-waktu lewat tanggal muda yang kering keriput terasa di lipatan kulit kuda saku celana.
/2010
*Pernah terpublikasi di situs lain yang kini telah ditutup, dan masuk ke album antologi puisi saya 'Nyanthing'.
Di-publish ulang di Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H