Sepertinya bukan baru sekarang kau rasa, Bila pada sudut langit yang temaram terdapat gerombolan hitam pemujamu juga. Mengorbankan dan menjual nyawanya. Kebodohannya. Dan darahnya yang tidak kau ciptakan. Aku juga tersadar rayuan mautmu dan perangai celakamu; Ketika legionmu yang tercemar serapah, menggebuk-gebukkan tangannya yang dekil seperti limbah di telinga, sejauh masa neraka itu. Sambil membisiki kode buntut dan tanggal kiamat yang selalu meleset. Meludah-ludah isi kepala seakan sampah.
Jam 12 tengah malam konon, kau menampakkan muka. Tapi tak tersangka, kau juga akhirnya melabrak semua waktu mengajak durhaka. Disusul banjir air mata pendoa yang meluapi masjid, gereja, klenteng, pura, wihara, kuil, pagoda dan rumah-rumah mereka. Dan kau duduk nyaman tak tersentuh, dan surga seperti jengah melarangmu bermain-main di muka orang-orang buta. Hingga sekarang, mereka yang bosan melahap pahitnya hidup menjadi tentaramu. Dan merampok seluruh lumbung pakaian yang orang waras kenakan. Menggiring badut-badut mentah akal berkorban tanpa kepala. Hingga muncul ketelanjangan-ketelanjangan yang mengomel-ngomel di jalanan pinggiran menuntut peleburan dosa dan kepedihan. Dalam jarak kasta, aku melihat jelata meronta-ronta menambal emas yang terkoyak hilang dari pakaian dusta. Dan menyemir dengan terseok-seok sepatu bertahta berlian, yang sangat menggerutu karena sedikit terinjak kulit sapi imitasi. Jarak yang juga tak teraih olehku selama waktu itu.Â
Dan pengikutmu yang serakah tak peduli raungan, jeritan memekik yang terjadi dari ketukan palu yang berat sebelah. Atau harga sekeping camilan dibanding lumbungmu yang ternyata adalah rampasan hasil keringat yang mengguyur dua puluh empat jam. Dan tak usah kau tertawa, karena suaramu yang sumbang kini kukenali diantara nyanyian. Meski kau harus sedikit menang awalnya, karena pekatnya jahanam meleburkan dian. Dan menyeruakkan kubangan diantara nisan-nisan. Memerangkap kecerobohan tukang-tukang bangunan. Ataukah memang; si Polan mesti mengikutmu juga untuk membuat tuhan jera atas sebatang hidupnya yang lara?
/2009-2013
*Pernah terpublikasi di situs lain yang kini telah ditutup, dan masuk ke album antologi puisi saya 'Nyanthing'.
Di-publish ulang di KompasianaÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI