Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Flamboyan (Cerita Sebuah Kehilangan)

26 Juli 2021   12:35 Diperbarui: 26 Juli 2021   13:03 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Flamboyan. image pixabay/Suanpa

1. Hari pertama di bulan Desember
    Waktu hujan pada musim ini
    Tangkai cabang bunga mulai sarat
    Ada sejuta kelopak dan mahkota
    Hari yang kelabu dan mendung
    Tertulis pada langit,
    Dan pena pada hitungan pertama

2. Diantara kebisuan yang bersuara
    Bibir yang kelu atas detik-detik
    Dingin yang senang bersama
    Pada waktu itu,
    Aku hanya menatap angin yang berjalan-jalan
    Menyapa daun-daun mungil
    Setitik dari kemegahan yang rindang
    Bunga yang semerbak hari lalu
    Mulai gugur dan berganti baru
    Lebih berwarna---segenggam cukup bunga
    Kembang ini turut menggores
    Perjalananku kali kedua

3. Awan putih bernyanyi
    Bunga iris pun turut
    Mengiringi dengan peduli
    Aku merengga kuntum-kuntum yang berguguran
    Juga helai demi helai
    Ke dalam kaca
    Kemanakah rasa
    Semangat nyala?

4. Aku memungut satu-satu guguran itu
    Jika tak beradu dengan angin
    Dan debu
    Kupandang seperti tak pernah terlihat
    Kupeluk dengan mata erat;
    Aku berjalan bersamamu selama ini,
    Kau jua menyusun gembira jiwa
    Tak terbatas sampai kini
    Sekali lagi tak sanggup kulupa
    Engkau satu suara

5. Tak pernah sepi
     Tak pernah sunyi
     Ketika hadir bayangmu
     Di tepi-tepi

6. Setiap jurai akar-akar
     Terlindas pada keanggunanmu, kembang sari
     Tak mati kuntummu walau menjadi
     Bangkai yang kaku
     Flamboyan merangkai semua
     Bingkai sampai dewasa

7. Ini hari terakhir kita bertegur sapa
    Di tengah padang massa yang semakin tertumpah di tanah lapang
    Aku tak berhasil lagi menatap
    Satu kemegahanmu pada sekali sapu
    Aku tak dapat menahan hitam
    Pipiku tak sanggup menampung air mata
    Hatiku yang luruh tak sanggup membasuhnya
    Aku berlari-lari ditopang derai,
    Basah yang nyata

    Tak lagi kudengar semayup buluh
    Perindu
    Aku kehilangan suara-dayu
    Semasa satu hidup dalam bayu
    /2001

*Pernah terpublikasi di situs lain yang kini telah ditutup, dan masuk ke album puisi saya 'Nyanthing'.
Di-publish ulang di Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun