Sudah seminggu lebih lalu Kompasianival 2017 diadakan. Tapi hingga sekarang masih terasa panasnya *lebay*, lah dibandingkan tahun lalu dimana acara tersebut diselenggarakan di dalam ruang gedung, suasana ruang terbuka semacam ini (meskipun masih terhitung dalam lingkungan mall) buat saya terasa kurang nyaman pada siang hari---dan walaupun juga masih tertutup payung2 dekoratif di ketinggian. Entah apakah hal yang saya rasakan ini juga dirasakan oleh narasumber yang hadir mengisi berbagai topik; tapi buat saya sendiri, suhu luar ruang yang semacam ini tergolong bisa membuyarkan konsentrasi dan persiapan untuk sesuatu.
Siang itu saya sampai di mal setelah berputar-putar membingungkan karena abang ojek memilih menyusuri rute terpendek yakni jalan-jalan sempit nan ramai di daerah Balekambang-Condet, serta beberapa daerah lain di luar jalan-jalan yang pernah saya lewati sebelumnya di Jakarta. Pastinya, wilayah Kemang yang memang terkenal sebagai wilayah elit cukup saya rasakan 'borju'-nya. Karena si abang ojek menurunkan saya di pintu belakang (eh, atau pintu samping ya...), jadi dari dalam gedung lalu melangkah ke depan dan ketemu mbak2 yang sibuk registrasi.Â
Setelah setengah berkeliling, saya menyimpulkan bahwa harga minuman—apalagi makanan—cukup mahal. Nah ini asyiknya... saya nggak mengira ada stan di samping acara workshop yang menjual makanan-minuman... karena saya sebelumnya juga membeli es-lemon-tea di atas 20ribuan, sedangkan harga es-teh di stan tersebut hanya di kisaran 8ribuan. :D
Tapi, toh saya nggak terlalu menyesal juga, karena saya dapat beberapa foto cantik di situ. Hayo, mana ada es di bawah 10ribuan dihias yang aneh2? Kan yang mahal hiasannya tuh. wkwkw
Di samping itu, sebuah potret dan wajah seseorang yang dikenali tentunya membutuhkan model release jika ingin di-komersial-kan atau dijual.
Memotret event sendiri ternyata adalah satu pekerjaan susah buat saya sebagai pemula. Karena pergerakan objek manusia ini seringkali tidak dapat diprediksi seperti halnya memotret wefie atau memotret seseorang di studio dimana tak adanya distraksi pihak luar (atau malah sesuatu yang dilakukan oleh seseorang tersebut) yang berpengaruh banyak terhadap gambar.Â
Di sisi lain, jari saya masih belum terlatih untuk membaca pergerakan dan mengatur refleks dalam menekan tombol shutter; jadinya kadang bisa terlalu cepat atau malah sebaliknya: telat. Sebagai contohnya seperti gambar di bawah ini yang merupakan potret Mbak Vena dan Mbak Vivit di acara workshop komunikasi global. Saya yang ingin memotret mereka berdua pada waktu berhadapan sampai jadi heran melihat hasilnya pada galeri foto saya... dari yang terlihat Mbak Vivit ingin bersembunyi dari saya saja sepertinya. wkwkw
Kembali ke bahasan... karena itulah, dari satu seri (yang ditandai oleh adanya nomor file foto yang berurutan pada kamera saya) pengambilan gambar akan segera dimulai saat tombol shutter ditekan dan berhenti setelah gambar ke-5. Mbak Vivit ini sebenarnya ingin berpindah posisi dari sebelah kiri Mbak Vena jadi di posisi kanannya. Namun setelah pengambilan lima gambar tersebut secara otomatis kamera saya berhenti mengambil gambar, dan kebetulan saat pada frame terakhir Mbak Vivit berada pas di belakang Mbak Vena.
Dan inilah semua galeri foto dari saya, semuanya dokpri. Tidak ada foto yang diambil oleh orang lain pada tulisan ini. Jika ada yang membutuhkan resolusi besar untuk foto berikut, harap hubungi saya via apa saya. Hanya mungkin akan tertunda jika japri lewat chat milik Kompasiana ini, karena tidak selalu saya akses perharinya.