Dewasa ini, kegiatan perekonomian di Indonesia menunjukkan peningkatan yang positif. Namun tentu masih ada hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah secara berkelanjutan, khususnya untuk Pasar Rakyat. Istilah 'Pasar Rakyat' sendiri (untuk selanjutnya penulis singkat dengan ‘PR’) berarti 'Pasar Tradisional' yang telah diubah penyebutannya (mungkin demi menghindari kerancuan) sejak disahkannya Undang-Undang no 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. PR mempunyai peran dalam masyarakat antara lain:
a. Simpul kekuatan ekonomi lokal
b. Memberikan kontribusi terhadap perekonomian daerah
c. Â Meningkatkan kesempatan kerja
d. Menyediakan sarana berjualan, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah
e. Menjadi referensi harga bahan pokok yang mendasari tingkat inflasi dan indikator kestabilan harga
f. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (yang juga dapat menjadi acuan dalam penyusunan APBD)
g. Sebagai salah satu sarana keberlanjutan budaya setempat, serta
h. Merupakan hulu sekaligus muara dari perekonomian informal yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.
Perbaikan fasilitas serta fitur dari PR ini menurut penulis mutlak juga dilakukan demi sekadar 'bertahan' di era sekarang, disamping berusaha 'merebut kembali' konsumen (serta penjual) yang tadinya loyal dengan PR tersebut. Tentu yang 'bertahan' ini bukan hanya keberadaan fisik bangunan PR tersebut tetapi lebih ke interaksi dan transaksi dari para penjual serta pembeli di dalamnya. Jadi, posisi PR di mata konsumen, produsen, pelanggannya bahkan pengelolanya bisa tetap strategis dari masa-ke-masa sebagaimana pemerintahan kolonial Belanda yang menempatkan PR di seberang stasiun kereta api dalam tata kotanya di masa lalu.
1. Memperkuat PR dalam posisinya dari Mall dan Ritel
Meski berbeda pangsa dan fokus, mall dan ritel ini turut menggerus konsumen PR. Sebaran toko swalayan kecil hingga sedang di antara pemukiman mampu menjadikan toko dan kelontong lokal dan di dalam PR tersungkur. Begitu juga dengan kehadiran mall yang menurut penulis dapat menjadi sarana wisata selain berfungsi sebagai Pasar Modern bagi banyak orang terutama muda-mudi.
Namun mungkin kita memang tidak akan bisa mengetahui sebuah mall yang ramai juga secara otomatis mencetak transaksi sesuai target pemilik gerai pada mall tersebut mengacu fakta tadi. Penulis mengambil kesimpulan ini disebabkan adanya alasan beberapa orang yang menggunakan mall ini sebagai lokasi 'window shopping' alias hanya jalan-jalan demi gaya hidup saja, bukan bertujuan khusus untuk membeli barang tertentu; sedangkan keberadaan PR Â lebih merupakan penyedia kebutuhan untuk berbagai lapisan, bukan untuk kalangan menengah (ke atas) saja seperti halnya mall. Sementara itu, konsumen membutuhkan sarana belanja nyaman yang relatif bisa dipenuhi oleh mall atau perusahaan ritel.
Di sisi lain, mall (dan bangunan Pasar Modern seperti pusat ritel atau grosir) menarik bagi pedagang. Ini karena secara fisik, bangunan tadi dibangun dengan biaya besar memiliki fitur preventif terhadap kejadian buruk apapun seperti kebakaran atau sejenisnya. Selama ini kita mungkin sering mendengar PR yang hangus menyeluruh dengan angka kerugian hingga miliaran rupiah dihitung dari semua aspek, disamping terhentinya kegiatan jual-beli saat proses penyidikan atau pengambilan keputusan relokasi selama perbaikan atau pembangunan kembali PR tersebut. Hal ini tentu bisa berdampak traumatis bagi pedagang kecil yang hanya mempunyai stok barang hanya pada pasar tadi.
Jadi sistem modern dari mall itu hendaknya bisa diadaptasi ke pembangunan baru atau revitalisasi PR ke depannya demi menggaet penjual.
Ada satu event di Surabaya tiap tahunnya demi menyambut Hari Ulang Tahun Kota yakni Surabaya Hot Sale. Menurut pengamatan penulis, meski event ini mencakup ‘pusat perbelanjaan’, sangat jarang terlihat PR juga ikut andil di dalamnya (padahal kegiatan umum dalam PR juga transaksi jual-beli) dibandingkan dengan mall atau pusat ritel. Jadi event sejenis tentunya bisa pula diterapkan pada Haparnas khusus untuk PR.
2. Bersaing dengan Toko Online
Barisan toko online (atau marketplace) merupakan fenomena menarik di masa kini. Dengan toko online, banyak pedagang tak perlu memiliki tempat penyimpanan khusus pada kios pasar untuk memajang dagangannya. Hal ini bisa berbahaya pada keberlanjutan PR walaupun Toko Online juga punya kelemahan yakni adanya ongkos kirim yang menjadi tanggungan pembeli meski jangkauannya menjadi lebih luas. Meski begitu, pedagang barang kebutuhan yang mempunyai lapak di PR juga bisa mempunyai lapak online-nya dengan persyaratan yang sama sekali tidak sulit bahkan ada yang gratis. Yang semacam ini juga marak ditemui dimana penjual bisa mendapatkan dua keuntungan: berjualan secara offline dan online untuk mengeruk keuntungan lebih.
Marketplace juga memiliki hal lainnya yakni pendanaan yang lebih besar bersistem modal ventura melalui promosi yang gencar di televisi serta web dan berbagai media offline semacam iklan banner pada spot-spot yang strategis. Di lain pihak, saat ini banyak pilihan smartphone yang dapat menjembatani kebutuhan pembeli secara lebih fleksibel dan tepat berdasarkan minat serta topik melalui algoritma khusus; baik pada saat browsing di berbagai situs, melalui media sosial yang dimiliki, maupun aplikasi yang disediakan pihak pengelola untuk bisa dipasang pada sistem smartphone tersebut. Jika saja PR mempunyai aplikasi sendiri tentu akan uendaang :p Tentu sifatnya hanya untuk promosi dan mengundang niat datang, reminder serta informasi, bukan malah jualan lewat situ.
Para penggiat toko online ini mempunyai ‘hari raya’ sendiri yang disebut Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas). Sosialisasi Harbolnas yang masif sebelum dan pada hari-H tanggal 12 Desember (mengacu Wikipedia) pun turut memacu animo masyarakat untuk berpartisipasi karena di masa ini banyak penjual serta marketplace mengadakan diskon khusus. Jadi, penetapan Haparnas diharapkan bisa menciptakan agenda baru terkait jual-beli di PR.
3. Bersaing dengan Pasar Kaget
Pasar Kaget (disebut juga sebagai Pasar Krempyeng di Jawa) menurut penulis merupakan kompetitor langsung dari PR dalam hal berbelanja offline untuk kisaran kebutuhan sehari-hari. Disebut demikian karena kita tak akan mendapati keberadaan Pasar Kaget itu di atas jam 10 pagi selain ‘jejak’-nya. Pada Pasar Kaget ini penjual tak harus membeli/menyewa stan dari pengelola pasar (dan tak dibawahi oleh Dinas Pasar dari Pemda) meski penjual masih dipungut ‘ongkos kebersihan’ oleh RT/RW setempat. Pada wilayah kota yang padat pemukiman, fenomena Pasar Kaget ini cukup menjanjikan bagi warga sekaligus pedagangnya. Keuntungan bagi penjual adalah tak perlu pusing menghadapi aturan baku seperti pelapak PR, sementara pembeli beroleh keuntungan tak perlu datang jauh ke lokasi PR kelolaan Dinas Pasar.
Di perumahan daerah Tropodo yang lebih ramai dari perumahan lain sekecamatan Waru—Sidoarjo, kita dapat menjumpai Pasar Kaget besar dengan puluhan penjual dan ratusan pembeli tiap harinya. Bahkan banyak pembeli datang dari kawasan lain karena di Pasar Kaget ‘Progo’ (begitu biasa disebut, karena memang berawal dari satu gang jalan ini lebih dari satu setengah dasawarsa lalu oleh satu penjual ikan dan beberapa penjual sayur keliling) memiliki lebih banyak penjual dengan pilihan barang yang lumayan banyak dibandingkan Pasar Kaget lain dari kawasan sekitarnya, mengacu testimoni dua ibu rumah tangga di Kompasiana: Mbak Avy dan Tante Ay Mahening. Pedagang di Pasar Kaget ini pun dari yang tadinya hanya penjual sayur bersepeda atau bermotor keliling sederhana menjadi lebih kompleks dimana penjual dengan modal lebih besar (menggunakan pickup atau modifikasi mobil penumpang) pun turut mengambil bagian.
Tak pelak, dengan banyaknya penjual dan pembeli di area Pasar Kaget ini memiliki andil lain yakni berkurangnya aktivitas secara drastis di PR Wadungasri yang kira-kira berjarak 1,5 km dari sana sesuai pantauan penulis. Mungkin hal ini agak ‘sedikit’ merugikan mereka yang telah membeli stan. Dari sini saja sedikitnya Pemda kehilangan potensi pendapatan dari segi sewa, pajak atau parkir. Hingga saat ini, setidaknya penulis mendapati keberadaan beberapa Pasar Kaget pada beberapa wilayah terpisah.
4. Memperkenalkan dan Pengingat adanya PR dengan SNI
Tak banyak anggota masyarakat yang tahu bahwa PR juga mempunyai standar yang berlaku secara nasional seperti halnya produk industri. Semua revitalisasi dan pembangunan baru PR di Indonesia diharapkan akan mencapai visi dan misi pasar yang ber-SNI ini yang dilakukan secara bertahap. Dengan standar yang jelas maka diharapkan PR tersebut menjadi lebih nyaman dan menyenangkan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Tentunya langkah sosialisasi akan penerapan SNI pada PR secara kesinambungan bisa dilakukan lewat Haparnas ini. Masyarakat akan sadar bahwa PR dewasa ini telah bertransformasi menjadi modern tanpa meninggalkan kesan keramahannya.
5. Meningkatkan kegairahan berkunjung ke PR
Demi menjalankan berbagai fungsinya seperti yang telah dijabarkan pada awal tulisan ini dengan optimal, maka masyarakat umum perlu disuntik semangatnya untuk mengunjungi PR hingga berinteraksi serta diharapkan bertransaksi demi menghidupkan keberadaan PR tersebut.
Penetapan Haparnas yang dirasa mendesak ini diharapkan bisa menjadi penggerak; semua pihak secara langsung dan tidak langsung terkait dengan PR pun dapat bersinergi untuk kebangkitan dan kehidupan PR yang semakin modern secara fisik.
Akhirnya, muncul satu pertanyaan dari penulis: kapan ‘hari istimewa’ bagi PR ini jadi direalisasikan?
* Referensi:
Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh, Sebelas, Duabelas, Tigabelas, Empatbelas, Limabelas, Enambelas, Tujuhbelas, Delapanbelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H