Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendadak Pengemis

20 Maret 2016   12:46 Diperbarui: 21 Maret 2016   11:51 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pria ini berbadan kuat, tegap dan masih muda. Saya memotretnya setelah meminta uang kepada mbak karyawan laundry dan orang-orang di warung jalanan Lontar, Surabaya. Tapi ilustrasi foto ini tak ada hubungannya secara langsung dengan isi artikel saya ini"][/caption]

 

Beberapa waktu lalu saya sempat membaca artikel yang menyebutkan potensi seorang desainer grafis. Saya tak tahu tentang latar belakang penulis tersebut dalam kesehariannya, yang sayangnya saya lupa nama penulisnya pula. Namun begitulah menurut pandangan kebanyakan orang tentang dunia desain grafis. Inilah yang membuat banyak orang berbondong masuk dan menekuni bidang ini, mirip dengan banyak orang yang sekarang menjadi jurnalis dadakan dengan membuat blog/website sendiri atau bergabung pada blog keroyokan seperti K.

Beberapa waktu lalu saya juga mendapati status sharing gambar MEME di TL FB saya dengan tema hutang-piutang. MEME tersebut menyoroti banyak hal yang tampaknya menjadi 'kebiasaan' di masyarakat akan adanya hutang dan berbagai masalah dalam pelunasannya. Misalnya tidak jarang terjadi terkait seretnya penagihan terhadap kreditur ini. Pada lembaga keuangan profesional pun biasanya malah merekrut mereka yang bertampang sangar pengisi posisi penagihan ini demi melindungi aset mereka.

Masih berkutat dengan referensi, belum lama ini saya membaca tips menjadi kartunis yang baik dan larangannya. Artikel ini adalah tulisan dari Robbi Gandamana, salah satu ilustrator yang menulis di Kompasiana. Dalam artikel tersebut sedikit disinggung tentang 'gaji' seorang kartunis dan posisinya ketika menerima suatu order. Pendapat tersebut biasanya sesuai dengan kebanyakan fakta di lapangan dan ketika berhadapan dengan klien, seringkali yang paling idealis pun sedikit banyak akan 'tunduk' oleh kemauan klien/pembuat order.

Saya mencoba merangkum ketiga hal tadi dengan pengalaman saya,

Sebelum memperoleh pekerjaan saya sekarang, saya sempat beberapa kali hinggap di sebuah perusahaan namun tak lama. Pada saat itu saya baru saja lepas dari situasi lingkungan kerja yang menjengkelkan sehingga saya tak berpikir untuk mencari lowongan pekerjaan lebih dulu. Selain setelahnya saya kemudian memulai aktif menulis di K, saya sempat mendapatkan freelance berupa rewrite lirik lagu untuk kemudian dimasukkan ke dalam nada yang digubah ulang dan lalu dinyanyikan lagi sebagai kebutuhan sosialisasi sebuah LSM. Lowongan freelance-nya sendiri tidak sengaja saya dapatkan sewaktu membaca sebuah harian terbitan Surabaya. Dalam lowongan tersebut disebutkan kebutuhan bagi mereka yang bisa menulis puisi. Alamatnya adalah Karangasem 20 Surabaya.

Akhirnya saya pun masuk menjadi pendengar lagu-lagu yang digubah liriknya tersebut. Selang beberapa waktu, saya mengerjakan juga brosur dari usaha utamanya yakni pembuatan furnitur dari besi semacam rancang dan kursi sekolah. Dari keterangan yang saya dengar, hasil akhir lagu dengan lirik teks yang baru tersebut ditujukan untuk anak-anak sekolah untuk mengingatkan kembali atas berbagai penyakit, kemunduran moral dan sejenisnya. Saya mengingat setiap pekerjaan dan saya menghitung berapa biayanya.

Tetapi, perhitungan saya meleset saat pembayaran order minta supaya disatukan setelah terkumpul beberapa buah. Lagipula, pengerjaan revisi dan sejenisnya pun malah mengganggu pekerjaan utama saya; seperti tak bisa ditunda karena biasanya saya membuat kesepakatan jika ada revisi silakan SMS atau email supaya tak mengganggu jam kerja saya. Pekerjaan terakhir ini pun terbilang termasuk tidak saya sukai karena liriknya ditujukan untuk mendukung calon tertentu pada Pilkada, dan harus 'jualan kecap' di baliknya. Meski begitu saya melakukannya seluang waktu saya, dan tak ada 'credit' nama saya pada penulisan lirik pun tak masalah bagi saya karena satu hal: saya melakukannya murni karena uang dan saya tak beroleh kepuasan apapun dari sana. Akhirnya saya pun menghentikan order darinya dan ada SMS supaya saya datang ke rumahnya untuk mengambil bayaran saya.

Saya pun tidak segera mengambil bayaran saya ini karena ada urusan lain yang perlu dikerjakan, yakni pindah tempat tinggal dan mencari tempat kost baru. Hingga terlupa atau tidak sempat sehingga setelah sekian lama tidak juga saya kunjungi.

Beberapa waktu kemudian, saya bermaksud untuk mengambil hak saya dan berkirim SMS. Ternyata ada tanggapan meski (katanya) sedikit lupa. Saya pun mengutarakan niat saya itu dan dipersilahkan datang meski yang menyambut adalah orang lain karena masih ada urusan di Jakarta. Karena saat saya mengirim nomor rekening bank pun saya tak menjumpai ada uang yang masuk.

Saya datang ke alamat Karangasem 20 itu dan tertipu, tak ada amplop untuk saya. Tak ada uang yang akan disediakan untuk saya. Karena awalnya saya pikir ada uang jerih payah yang dititipkan saat saya datang ke sana. Padahal masih dalam ingatan saya perkataannya, "uang honor segitu mana cukup untuk biaya hidup kamu?"

Tetapi saya pun masih menumpang tinggal dengan orang tua saya dan membantu usaha orang tua saya, jadi segala kebutuhan saya dan seluruh anggota keluarga yang tinggal serumah pun masih menjadi 'marjin' usaha tersebut. Di atas semuanya, ternyata "honor yang cuma segitu" juga tak bisa saya dapatkan pula. Seagama nggak menjamin diakali dan 'bebas kadal' begitu ya?Mendadak Pengemis episode I.

[caption caption="Saya coba menghubungi dan janji diarahkan, tapi setelah saya SMS dan mendatangi rumahnya, jawabannya nol. Merasa terusir."]

[/caption]

[caption caption="Pembayaran seret dan sampai sejauh ini tak ada respons meski telah diberi nomor rekening transfer. Agaknya memang niat. Lagipula, tadinya saya menghubungi nomor ini, tetapi replynya pada nomor lain. Mungkin kartu perdana wilayah Jakarta?"]

[/caption]

***

Beberapa waktu kemudian ada lowongan freelance juga di OLX. Lowongan ini dalam bidang grafis yang termasuk dalam bidang utama saya sekarang. Spesifiknya adalah untuk keperluan sampul buku. Setelah sempat mengajukan penawaran akan contoh 'gaya desain' dan style saya, saya pun akhirnya dipilih menjadi desainer sampul bukunya.

Keterangan sebelumnya yang menyebut bahwa kisaran sampul buku tersebut berkaitan dengan Islam pun saya sanggupi. Tak lain karena alasan dalam kehidupan beragama yang tidak berbatas. Saya pernah baca bahwa arsitek Masjid Istiqlal adalah seorang Nasrani. Banyak saudara muslim juga yang turut membantu pembangunan dan pengamanan gereja. Jadi saya pun mengambil bagian selama saya bisa.

Selama beberapa waktu order pun mengalir dan saya tak mempermasalahkan revisi berlipat hingga membutuhkan waktu beberapa bulan sejak tanggal pertama order. Karena saya menjabarkan bahwa saya bisa dan bertanggungjawab hingga fix, dalam artian desain final yang siap untuk dicetak. Saya pun menghubungi Kompasianer dan teman saya lainnya yang hobi berpelancong untuk saya beli gambar foto jepretannya jika mempunyai kebutuhan pada sampul buku tersebut. Saya membutuhkan foto masjid Kalimantan Timur yang sesuai dengan satu judul buku yang sampulnya saya edit.

Beberapa kali pembayaran order dilakukan setelah satu-dua sampul dikerjakan. Tetapi masalah kembali timbul saat ada permintaan pembayaran order akan dilakukan secara serentak sekaligus seperti kasus saya sebelumnya. Ada tiga order sampul buku yang disetujui pada saat terakhir dan ada satu sampul buku yang katanya menunggu persetujuan penulis, yang merupakan editing dari sampul buku awal yang tak terpakai karena ditolak. Oke tak masalah. Tetapi selama beberapa waktu menunggu saya sempat merasa saya terputus hubungan selama beberapa waktu.

Saat itu saya curiga bahwa ada hal tidak beres, dan segera menghubunginya dengan gencar. Jika ada yang bilang jengkel, saya memang jengkel karena pengalaman tertipu pula. Tapi beberapa hari kemudian saya menerima reply WA. Dari penjelasannya yang bisa saya terima, saya pun memutuskan lanjut dan lalu diberi DP sebanyak ongkos dua desain sampul saja. Sedangkan satu yang telah disetujui belum dan satunya yang katanya membutuhkan persetujuan penulis juga masih dalam antrian.

Lalu ada permintaan aneh yang diharuskan mengetik sekelompok kata pada screenshot chatting. Hasil dari pengetikan ini diminta untuk diserahkan ke rumahnya. Saya tak segera menyanggupi permintaan ini dan lalu mempertanyakan itu. "Diketik saja," dan bagaimana dengan ke rumahnya? Tak ada jawaban. Padahal menurut keterangan dari WA sebelumnya, rumahnya di Mataram-Lombok; sangat berbeda dengan iklan OLX yang saya jumpai sebelumnya bahwa posisinya berada di Jogja.

[caption caption="Jika rumahnya Mataram, gila apa harus membawa ini ke sana?"]

[/caption]

[caption caption="Lanjutan Screenshot yang harus diketik"]

[/caption]

[caption caption="Putus deh. Tak berketerangan dan tak jelas..."]

[/caption]

Saya pun langsung memutus kerjasama yang katanya "akan berlaku seterusnya" ini dan meminta sisa ongkos desain yang belum dibayarkan. Satu ongkos desain (dari versi saya) dan dua ongkos desain (dari versinya). Hingga beberapa waktu saya minta, ongkos desain itupun tak kunjung diberikan... meski untuk satu yang telah disetujui. Mendadak Pengemis episode II.

[caption caption="Di mana tinggalnya sebenarnya?"]

[/caption]

Dari kedua cerita saya, saya telah men-share yang terakhir pada satu grup desainer FB (selain TL sendiri) untuk mencari tahu apakah ada yang serupa dengan kasus saya. Jawaban yang saya terima mencengangkan: kasus ongkos jerih payah yang mengambang seperti ini hampir bisa terjadi pada setiap desainer. Beberapa berpendapat memaafkan, namun hal ini rasanya seperti pelecehan pada profesi saja. Jika dalam dunia ritel yang biasa terjadi adalah "ada uang ada barang" (bahkan ada ganjaran cuci piring untuk mereka yang nekat makan di warung lalu ketahuan tak bawa uang), maka agaknya di dunia kreatif orang bisa seenaknya ngacir setelah memberi sesuatu yang harus dikerjakan. Tak peduli seberapa banyak revisi dan waktu serta tenaga yang telah dicurahkan. Alasannya adalah: selama desain tersebut tidak digunakan oleh klien maka selama itu pula hal ini bisa dibiarkan.

Tentu saja hal ini berbeda dari beberapa jasa di keseharian bahwa orang harus membayar DP sebelumnya, dan nampaknya itulah yang akan saya terapkan berikutnya. Ada uang ada desain, ada uang ada jasa. Masa bodoh apakah desain yang saya kerjakan pada akhirnya digunakan atau tidak, karena ide, waktu dan tenaga pengerjaan, selain pencarian gambar sumber. Karena saya tak ingin ada komplain kemudian terkait dengan hasil kerja saya yang melanggar hak cipta orang lain.

Kesabaran saya telah habis dan kisah pada artikel ini bukan fiktif atau fitnah karena ada buktinya. Silakan konfirmasi kepada mereka yang bersangkutan; dan kepada desainer lainnya, Anda bisa belajar dari kebodohan saya ketimbang mendadak menjadi pengemis yang didahului oleh jerih payah sia-sia.

 

***

Tulisan ini akan dihapus jika hak saya dipenuhi kemudian, tetapi saya pikir hal ini juga tak mungkin. Saya menulis ini karena sebuah kejengkelan akan ketidakpastian dan waktu yang telah habis terbuang tanpa penghargaan, itu saja. Maaf jika harus ngedumel lagi. Harap maklum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun