Cerita ini adalah kisah nyata, yang terjadi saat saya belajar di tingkat Sekolah Menegah Tingkat Pertama (SMP) pada tahun pelajaran 1993/1994. Pada tahun pelajaran itu, saya dan teman sekelas saya sedang duduk di kelas tiga (3-A) sebuah SMPN di kecamatan Waru, Sidoarjo.
Siswa-siswi pada kelas tiga ini termasuk (lebih) senior dibanding tingkatan sebelumnya, dan mereka tentunya sudah saling mengenal sifat masing-masing temannya dibanding saat masih duduk di kelas satu atau dua. Dari segi kelakuan dengan teman pun sudah tidak lagi malu-malu atau 'jaim' seperti anak yang baru saja bertemu. Apalagi, saat kelas tiga ini adalah tingkatan terakhir sebelum mereka berpisah untuk meneruskan jalan hidup masing-masing (atau bila ada yang terpaksa tidak lulus). Jadi suatu kekompakan bisa timbul karena apapun juga; baik positif dan negatif. Kebetulan yang dihadirkan dalam tulisan cerita ini adalah sisi negatifnya. Hehehe...
Seperti yang bisa ditebak pada judul, pembahasan cerita ini adalah tentang plafon (ceiling) dari ruang kelas. Kondisi spesifiknya: tutup langit-langit kelas yang terbuka. Pada umumnya, pemilik rumah akan lebih suka ruang plafon kayu rumahnya tertutup dengan menggeser lubang pintu jalan keluar-masuknya (biasanya ditandai dengan keliling bingkai kayu seperti pigura di langit-langit). Alasannya adalah untuk mencegah udara panas dari plafon masuk ke dalam ruangan, selain juga untuk estetika ruangan dan mencegah nyamuk keluar-masuk untuk bersembunyi di sana dari semprotan pestisida. Nah, blok tutup langit-langit itu sengaja tidak ditutup sepanjang kami menggunakan kelas tersebut.
Tentang tujuan blok ruang plafon tersebut tidak ditutup ini saya tak tahu pasti. Mungkin supaya memudahkan 'pakbon' (singkatan 'tukang kebon' atau pesuruh sekolah) untuk mengurusi instalasi listrik di ruang plafon bila ada suatu masalah tiba-tiba**.
Jadi, ruang plafon yang terbuka tutupnya ini ternyata dimanfaatkan keberadaannya oleh sebagian siswa yang iseng, usil, malas dan tidak bisa diatur. Meski seluruh siswa laki-laki mengetahuinya, nyatanya kelakuan tak layak ini tak sampai bocor keluar (kelas). Entah pula bila ada siswi perempuan yang mengetahui kebiasaan para siswa cowok ini.
Yang jelas, walaupun tempat duduk kelas biasa dirotasi tiap minggu/bulan untuk "memeratakan kesempatan" bagi semua siswa kelas mendapat giliran duduk depan atau belakang—pastinya siswi putri akan selalu bergerombol dengan se-geng-nya saat ada pergantian pelajaran atau masa istirahat sekolah, dan siswa putra ini hampir selalu 'mojok' bergerombol pada posisi pas di bawah lubang pintu langit-langit yang terbuka ini, yang terletak di sudut kanan belakang berlawanan dengan meja guru yang berada di kiri depan (di posisi belakang kelas tersebut juga terdapat pintu penghubung dengan ruang kelas lain, tapi pintunya hampir selalu tertutup).
Para cowok ini biasanya 'mojok' di ruangan kelas itu untuk membicarakan obrolan "khas cowok", kadang sambil membawa gitar. Apalagi bila setelah ada ujian atau pengumpulan tugas yang biasanya ditulis pada selembar kertas khusus. Mereka yang entah belajar atau tidak kemudian apes mendapat nilai jelek selalu mengambil ancang-ancang di bagian bawah lubang plafon, kemudian meremas kertas lembarannya hingga berbentuk bola dan melemparkannya melalui lubang langit-langit kayu tersebut. Agaknya kelakuan semacam ini menjadi 'ritual' bagi sebagian siswa ketika mendapat nilai skor "dibawah garis kecukupan".
Lalu, bagaimana tentang pengumpulan tugas atau ujian yang harus selalu mendapat tanda tangan orangtua? Sebagai siswa yang licik dan bandel; selalu ada saja alasan dan caranya 'ngeles'. Ya... hilanglah, ya orangtua yang kelupaan dan seabreg alasan lainnya. Pastinya akan ribet bila dipaksa mencari lembar miliknya di tengah ratusan 'bangkai' kertas berbentuk bola di ruang plafon tersebut, jika tidak malah dijadikan kunyahan atau gumpalan sarang oleh tikus atau hewan penghuni plafon. Apalagi jika perbuatan tersebut dilakukan juga oleh generasi sebelumnya yang menempati kelas itu. Entah apakah perkiraan saya benar, tapi siapa tahu?
Bila ruangan plafon tersebut dibongkar, dibersihkan atau dipermak... bisa jadi hal ini akan membuka tabir misterius tentang alasan siswa yang selalu menghindar saat ditanya tentang tandatangan orangtua pada lembar PR/ujiannya: sebuah timbunan "harta karun" berupa kertas yang sengaja dicampakkan ke sana oleh pemiliknya.
Saat ketemuan antar-teman beberapa tahun berikutnya, beberapa teman masih mengingat hal ini. Sambil tertawa-tawa dengan sesama teman, menjadikan memori dari keisengan ini sebagai candaan. Dasar...
Â
[caption caption="Foto langit-langit/ruang plafon yang tak tertutup... jepretan sendiri."][/caption]
Â
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
**) Saat saya masih belajar di SMP tersebut, ada empat orang 'pakbon' sekolah yang membawahi kebersihan dan kelayakan 15-an ruang kelas plus laboratorium, perpustakaan, toilet yang jumlahnya 6, ruang parkir yang luas, lapangan basket dan lapangan upacara tengah; belum lagi termasuk kantor, ruang koperasi dan ruang guru. Sedang istri para 'pakbon' tersebut biasanya berjualan di warung sebagai pusat jajanan anak sekolah saat istirahat—karena tak boleh keluar lingkungan sekolah pada jam sekolah.
tulisan ini juga tayang di blog pribadi saya http://webid.web.id/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H