Untungnya, keluarga saya mempunyai langganan dari kalangan perbankan untuk kebutuhan penukaran uang receh ini meski kadang tidak bisa harus mutlak tergantung pada bank tersebut karena ketiadaan recehannya. Selain itu, cadangan uang receh ini pun akan cepat habis manakala uang dengan nominal di atasnya tak tersedia. Di beberapa toko yang saya temui penjualnya pun mengeluh, bahwa saat ini lebih mudah menemukan uang kertas pecahan lembaran dua ribuan ketimbang seribuan. Lainnya: untuk mencapai nilai seribu rupiah, terkadang ada orang yang menselotip sepuluhan koin seratusan. Atau minimal yang sering saya jumpai adalah selotipan lima koin seratusan untuk mencapai nominal lima ratus rupiah. Seringnya, saya harus melepas selotip tersebut ketika ada kebutuhan akan recehan yang lebih kecil. Dan ternyata saya melihat pula beberapa orang yang demikian juga...
Jadi bila sekali waktu hanya ada kembalian berupa permen dari toko bapak saya... mohon jangan menggerutu pula karena segala sesuatunya juga telah sangat diusahakan sebelumnya ^_^ hehehe...
Baru-baru ini saya mendapati berita tentang Perum Peruri yang bertugas mencetak dokumen penting dan uang negara kewalahan mengakomodasi permintaan BI akan kebutuhan uang tunai tersebut [ tautan ]. Dan secara teori dari yang saya tahu, peredaran dan pencetakan uang tersebut dibatasi dengan ketat untuk mencegah inflasi akibat banyaknya lembar uang yang beredar di masyarakat. Tapi di sisi lain, ada sejumlah uang rusak yang harus diganti serta kebutuhan lain terkait dengan transaksi ritel menggunakan tunai pada kehidupan masyarakat ini, meski ada aturan yang jelas terkait penggantian tersebut [ tautan ]. Termasuk bila ada kejadian tak terduga di luar perkiraan [ tautan ] maupun semacam kebakaran yang menghanguskan uang gaji dalam bentuk tunai [ tautan ], yang merupakan sisi negatif dari uang tunai tersebut; Meski mungkin ada kasus lembaran uang yang sengaja dibakar untuk tujuan penipuan [ tautan ].
Berbicara tentang kebakaran sebelumnya, telah ada banyak kasus baik kecil atau besar dimana pasar atau rumah, bisa jadi di dalamnya ada uang terbakar dengan nominal yang sangat besar [ tautan 1 ] [ tautan 2 ] [ tautan 3 ]. Dan beberapa orang yang terkena musibah seperti ini memang nyata sangat mengeluh karena mungkin seluruh uangnya disimpan di lemari atau di bawah bantal, bukan pada server bank dalam bentuk data.
Kecuali yang terbakar adalah server bank, mungkin sebagian besar orang modern yang merupakan nasabah bank tersebut baru nyaho! ^_^ Bisa jadi adalah sebuah kebodohan perbankan saat data servernya diketahui tidak mempunyai backup data ditempat lain. Dan karena adanya sistem yang saling terkait dan terkoneksi inilah yang merupakan kelebihan sistem online dari sebuah bank dan kelebihan sistem nontunai.
Sebetulnya, ada cara yang menyenangkan berupa simulasi yang bisa diterapkan berkenaan tentang keterbatasan peredaran uang dan kemudahan bertransaksi ini, apalagi bila orang tersebut adalah gamer. Ada banyak game yang melibatkan transaksi uang untuk membeli sesuatu atau mengupgrade skill jagoannya. Masyarakat gamer ini mungkin adalah termasuk masyarakat modern yang telah mengenal mesin ATM, kartu gesek dan lainnya. Tetapi bila termasuk tradisional, mungkin bisa memainkan simulasi jual-beli seperti permainan Monopoly. Monopoly yang saat ini merupakan merk dagang dari perusahaan mainan bernama Hasbro ini bisa menjadi pembelajaran dimana kendalanya adalah terbatasnya lembar uang cetak dalam satu paket mainannya. Belum lagi kalau ada sobek dan kucel karena sering dimainkan. Bagaimana solusinya? Bisa dengan cara pencatatan manual pada kertas, atau melalui penggandaan: uang kertas yang masih ada bisa difotokopi. Kelemahan uang fotokopi ini mungkin adalah bila mata uangnya mempunyai tinta dominan warna kuning ^_^.
Dan kerepotan seperti ini tak ditemukan dalam versi digitalnya yang tak terbatas limit tertentu dari segi jumlah lembaran uangnya. Sebenarnya dalam permainan konvensional juga tak ada limit tertentu akan kekayaan yang bisa dipunyai pemain, hanya saja memang akan membutuhkan perhatian lebih bila ternyata lembar uangnya habis. Tapi dari hal seperti ini bisa dipetik hal sederhana, bahwa peredaran serta jumlah uang tunai bisa terbatas seperti itu, dan bila ada kebutuhan tunai di masyarakat maka harus dicetak ulang lembaran tunainya.
Kesimpulannya, banyak liku-liku dalam kebiasaan tunai kita. Telah ada banyak usaha yang harus dilakukan oleh pihak BI sebagai penerbit sah uang kartal atau uang tunai tersebut untuk penerbitan dan pencetakannya selain untuk menjaga ketersediaan uang tunai di masyarakat. Dari berbagai kerugian dan kerepotan yang bisa terjadi seperti yang telah dipaparkan, mulai sekarang ada baiknya kita mengurangi transaksi tunai kita dan menggantinya dengan nontunai.Â
.
.
.
.