Â
[ Keterangan gambar: seperti inilah warna dan penampilan sepeda balap saya waktu itu. hanya: yang ini minus spatbor dan kelihatan lebih mahal dikit. hehehe.. image: http://fixiefed.blogspot.com ]
****************************************
Sepeda kayuh merupakan kendaraan bertenaga manusia yang cukup familiar bagi saya. Ada beberapa cerita bersepeda dalam hidup saya dimana hal ini terkait dengan hal lain yang spesifik juga, dan dalam artikel bertema cerita bersepeda ini saya akan menggulirkan satu di antaranya.
Satu hal spesifik yang terkait dengan sepeda dalam kisah yang saya tulis kali ini adalah pekerjaan dimana itu yang membuat saya ke luar dari rumah (kira-kira tahun 2003-2005). Saat itu saya bertinggal di tempat kost yang ke-2 dari empat tempat kost yang pernah saya tinggali di Kota Malang, memutuskan membeli sepeda kayuh karena berniat untuk lebih jauh berkeliling menyusuri Kota Malang daripada jalan kaki; dan supaya terasa lebih dekat di tempat kerja tanpa terasa lebih capek. Bagaimana bisa begitu? Sebenarnya bisa logis sekali. Jika kita berhenti melangkah setelah beberapa langkah berjalan kaki, kita akan benar-benar berhenti. Tapi ketika kita berhenti mengayuh setelah beberapa kayuh saat bersepeda, rodanya akan terus meluncur selama tidak direm. Irit energi kan?
Tempat kost saya yang kedua ini berada di kawasan Jl Prof Muh Yamin, sebelah selatan Pasar Besar Kota Malang. Dari tempat kost yang kurang lebih seratus meteran dari Pasar Besar tersebut, cukup berjalan sekitar lima menitan ke selatan maka akan bertemu dengan banyaknya orang memajang sepeda bekas di dekat daerah yang disebut Pasar Comboran.
Mengapa bekas? Karena saya pikir, sepeda bekas yang masih layak pakai lebih baik ketimbang membeli baru tetapi susah merawatnya. Penyusutan harga nyatanya juga diperhitungkan. Karena sebelum berkeliling bertanya dan membeli di pasar tersebut saya juga berkeliling beberapa toko sepeda baru. Selisih harganya bisa mencapai separuhnya hingga ke besaran yang susah terjangkau ^_^ Kisaran harga yang terakhir ini mungkin hanya untuk kaum berduit yang mencari kualitas bahan atau fitur lebih saja. Tapi mungkin... selain kedua hal tersebut mereka juga memburu model yang unik dengan desain khusus, karena biasanya yang lebih mahal memang berbeda fisik dan penampilan dari sepeda "kebanyakan": ono rego ono rupo, ada harga ada rupa (fisik).
Saya memilih sepeda balap dengan harga sekitar tiga ratus ribuan. Perawakannya relatif ringan untuk dijinjing karena diameter rangkanya kalau dilihat juga tak gemuk dibandingkan sepeda gunung. Jadilah, sepeda balap ini akhirnya menemani kehidupan sehari-hari saya, mulai dari bekerja hingga berkeliling Kota. Namun yang terjadi saat berkeliling ini, malah agaknya saya sering turun sadel karena kontur tanah Kota Malang yang berbukit naik turun. hehehe...
Rute yang paling saya sukai saat itu adalah bersepeda melewati rute jalan Ijen lalu ke Retawu dan kemudian ke Pasar Buku Wilis. Ini adalah pusat buku bekas Kota Malang, dimana para penjual di lokasi ini adalah pindahan dari tempat sebelumnya yaitu di jalan Majapahit, Kayutangan Malang. Selain jalan Majapahit tadi, daerah penjualan buku bekas yang saya tahu di sekitar tempat tersebut adalah di Sriwijaya yang kira-kira hanya sekitar seratusan meter depan Stasiun Kereta Api Kota Baru Malang. Setidaknya saya beberapa kali membeli buku di pusat buku bekas tersebut. Selain beli, mungkin yang lainnya adalah "baca secara prasmanan"Â di Gramedia Kayutangan yang jaraknya lebih dekat saat saya pindah kost di jalan Aries Munandar Malang. Selain itu, kesempatan baca yang lain adalah meminjam dari tetangga se-RT yang memang mempunyai usaha persewaan buku serta komik di sebuah rumah dalam gang Aries Munandar V. Nampaknya waktu saya saat itu juga dihabiskan untuk membaca buku sendirian di tempat kost.
Ada yang lucu saat saya suka bersepeda di Kota Malang ini. Saya bertemu seorang pesepeda-"kebo" atau pesepeda "pit pancal" yang ternyata seorang anggota komunitas pengguna sepeda "kebo" di Kota Malang. Saat itu dia kebetulan terpisah dari kerumunan pengguna sepeda "kebo" lain yang berada tak jauh darinya. Saya iseng bertanya tentang kegiatannya seputar komunitas, saya malah disuruh bergabung ke komunitasnya setelah dia menjelaskan. Saya jelas menolak karena tahu diri, sepeda saya kan sepeda balap? Tapi, kata dia, "Yah nggak papa sih mas..." Tapi saya masih menolak halus, kali ini sambil senyum setengah nyengir. Kalau ditanya bagaimana rasanya ketika akan berbeda sendiri dalam suatu komunitas dengan syarat tertentu yang menjadi cirinya... jawabannya: mungkin akan mirip orang yang punya gigi berwarna kuning ditengah orang yang bergigi putih cemerlang, hehehe...
Saya masih tiap hari bersepeda saat pindah ke tempat kost terakhir yang terletak di sebuah gang di belakang gerai McDonald—Hotel Trio Indah seberang Kantor PLN Kota Malang di jalan Basuki Rahmat. Kali ini rute yang saya sukai sedikit bergeser, yaitu ke arah timur laut (jl Jaksa Agung Suprapto) sekitaran sekolah menengah frateran dimana saya biasa main warnet yang ada di dekat situ. Sesekali juga mengambil arah ke kiri dari depan Hotel Trio Indah tadi, menuju ke Bromo atau Buring memutar hingga jalan Lawu atau jalan Ijen. Lalu berputar lagi memasuki area tempat kost tadi melalui jalan Semeru dimana jalan tersebut adalah lokasi baru tempat kerja saat itu dari pindahan sebelumnya di jalan Sukarjo Wiryo Pranoto. Satu yang saya ingat sekarang di jalan Buring tadi, ada reseller dari developer software Autodesk dimana papan namanya tidak nampak lagi terlihat sewaktu baru-baru ini menjelajahi daerah sana.
Hingga akhirnya saya beranjak dari Kota Malang karena terpikir ingin menuntaskan kuliah sambil bekerja di Surabaya. Nyatanya keinginan ini tidak saya terealisasi karena jam kuliahnya pasti akan selalu bentrok dengan jam kerja yang seringkali harus menuntut lebih. Hingga akhirnya semuanya berlalu dan berjalan begitu saja. Lalu, bagaimana kelanjutan sepeda balap saya tadi? Beberapa bulan setelah saya di Waru-Sidoarjo, sepeda tersebut saya jual guna biaya ini-itu sebelum mendapat kerja. Harganya tidak bisa bersaing, mengingat harga beli sepeda bekas yang juga murah di Pasar Wadungasri. Apalagi sepeda saya dibeli oleh seorang Bapak dengan anak kecil yang bisa dikatakan strata bawah jika melihat penampilannya. Hiks... suka nggak tega lihat orang yang demikian...
Jika harga rata-rata sepeda bekas adalah sekitar tigaratus-ribuan ke atas di Pasar Comboran-Malang saat saya beli tadi serta susah ditawar, maka di Pasar Wadungasri Waru-Sidoarjo harganya rata-rata hanya sekitar dua-ratusan saja (tahun 2005). Memang saat itu ada selisih harga antara Kota Malang dan Kota Surabaya untuk beberapa jenis barang (termasuk makanan) sejauh yang saya tahu. Saya pernah menjual ponsel Siemens C35 saya dengan harga 250 ribuan di Kota Malang dekat tempat kost kedua saya dulu, setelah berkeliling beberapa toko ponsel di Waru-Sidoarjo dengan harga maksimal 200 ribuan saja; yang tentu saja hal ini saya lakukan saat ada kesempatan berkunjung ke sana. Meski bila dilakukan saat itu juga (tak terencana sebelumnya), mungkin saya masih tetap akan untung hingga maksimal 40 ribuan jika dikurangi uang transport Surabaya - Malang. Hanya saja jangan harapkan hal itu lagi sekarang ini karena harga ponsel secara keseluruhan cenderung turun dan lebih murah di banyak kota.
Saat ini saya bekerja dan mendiami kamar kost di sebuah wilayah Kota Surabaya dengan kontur tanah berbukit mendekati tempat kost di Kota Malang dulu. Terpikir juga untuk memiliki sepeda, sekedar menjelajah tanpa harus pusing akan kenaikan harga BBM. Lagipula saya menyukai kontur yang demikian untuk kegiatan berkeliling meski rasanya akan membuat sedikit capek ^_^ Ah, andai saja saya pemenang sepedanya... hehehe...Â
Itulah satu cerita bersepeda saya, yang berhubungan dengan kerja dan tempat kost saya.Â
.
.
.
.
.
***pertama diposting di Kompasiana untuk event lomba blog:Â http://www.kompasiana.com/kompasiana/bagikan-cerita-pengalaman-bersepedamu-dan-ikuti-test-bike-sepeda-thrill-di-cfd_556c4bae24afbd57048b456b
juga di-share ke blog saya: http://webid.web.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H