“Saya tidak tega melihatnya seperti itu. Saya bertanya kepadanya, ‘Terus? saya ingin lihatmu senyum dan lincah seperti Tumirah saya nduk…’ Saya bicara seperti Bapak kepada anaknya. Tumirah adalah putri saya.”
” ‘Saya ingin menikah dengan bapak…’ dia berkata sambil melihat tajam kepada saya.
Saya tak langsung mengiyakannya. Tapi mengelus lembut rambutnya yang panjang. Akhirnya saya meminta pendapat orang-orang di desa saya, termasuk perangkat desa. Mereka sudah tahu tentangnya karena saya memberi tahu. Bagaimanapun tidak enak hati pula karena seorang wanita yang tidak jelas asal-usulnya tiba-tiba muncul… dan setelah sekian lama lalu meminta saya menikah dengannya. Saya mencoba mencari tahu asal-muasalnya. Tapi desa kami terpencil… dan jauh dari desa lain. Desa ini saja letaknya dua puluh desa dari tempat saya.
Dan memang, ternyata muskil. Lalu mereka menyarankan untuk saya membuat keputusan yang terbaik bagi dia dan saya saja. Saya berunding pula dengan Tumirah. Meski tak tahu harus melakukan apa, dia juga menganjurkan apa yang menurut saya baik. Semua menyuruh saya membuat keputusan saya sendiri.
Lalu saya menurutinya dan kami pun menikah. Dia tersenyum kepada saya. Saya tak pernah melihatnya tersenyum mengembang seperti itu…”
Ki Paito melihat beberapa warga desa pendopo memperbaiki sikap duduknya. Mereka terlihat berpikir, dengan pandangan yang mengambang.
“Kalau dihitung usia pernikahan kami telah tiga bulan. Walaupun kami seranjang, saya tidak pernah berhubungan layaknya suami istri karena saya mengkhawatirkan kondisinya. Tiba-tiba dia bicara sesuatu kira-kira seminggu setelah menikah. Katanya dia berasal dari desa ini. Dia bilang ingin pulang. Saya percaya kepadanya karena hanya saya yang bisa dia ajak bicara. Saya mengiyakannya, hanya saja saya berpikir harus mempersiapkan segalanya dulu waktu itu. Seperti bekal makanan dan uang yang banyak. Saya juga harus berpamitan kepada tetangga sekitar saya untuk menitipkan Tumirah. Tetapi kemudian saya menyadari Srintil pergi sendirian tanpa saya ketika saya kembali ke rumah yang kosong. Tumirah dan saya mencari ke mana-mana seluruh penjuru desa dibantu warga, tidak ketemu. Saya tidak membiarkannya begitu saja, akhirnya saya menyusulnya. Saya pun tak tahu letak desa ini seandainya tidak bertanya kepada orang-orang sepanjang perjalanan… Sebelumnya saya mengambil arah yang berlawanan hingga saya diberi tahu oleh prajurit keraton. Desa ini terletak di arah timur dari desa saya, tetapi saya berjalan ke barat awalnya. Sekali-dua kali kali saya menemukan gadis dengan nama Srintil di desa-desa yang saya lewati…”
Warga desa dan ki Paito mengambil nafas dalam-dalam serta membungkam, hingga akhirnya mereka mengalihkan pandangan kepada Kepala desa Talangrejo ini. Baru saja sang Kepala desa akan mengambil suara untuk langkah selanjutnya, tiba-tiba terdengar teriakan wanita paruh baya dari arah gapura pendopo yang disusul dengan sosok mbok Painem tergopoh-gopoh mendekat. Dia menunjuk ke arah jalan masuk luar gapura…
Dan di kejauhan terlihat, sosok Srintil yang sangar awut-awutan berjalan terseok, mendekat dengan menyeret tubuh seseorang yang mirip dengan mantan kekasihnya dulu. Dia telah mati di tangan Srintil.
#cerpen pertama yang dibuat, iseng untuk menyemarakkan event Srintil. Kemiripan kisah, nama dan peristiwa serta tempat namanya apa, hayoooo…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H