Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Menghargai Pahlawan yang Tenar

20 November 2014   02:54 Diperbarui: 2 Desember 2015   09:20 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: GramediaPustakaUtama.com

Bulan November belum beranjak saat saya menulis ini, dimana ada orang Indonesia yang menghubungkan bulan ini dengan peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November; jadi ada yang menyebutnya pula sebagai Bulan Pahlawan. Mungkin itu benang merah yang saya tangkap saat melihat iklan dengan judul serta tema "Bulan Pahlawan" di media online beberapa waktu lalu. Pahlawan identik dengan mereka yang berkorban dengan segenap jiwa dan raga (padahal bicara raga, yang mereka punya ya hanya satu itu) untuk membela kemerdekaan. Di samping itu, pengertian pahlawan ini lalu meluas menjadi mereka (orang) yang berjasa dalam kehidupan. Jadi kemudian, orang tua serta keluarga pun akhirnya masuk ke dalam daftar pahlawan pribadi.

Teringat seorang Mariah Carey pun melantunkan suaranya, "...there's a hero, if you look inside your heart..." Singkatnya, ada pahlawan di mana-mana. Dan ada daftar pahlawan lain pula yang hinggap melalui indera saya, serta mengena sekali pada karya-karyanya. Dalam rentang hidup saya sekarang, secara nyata mereka mengisi dan menghibur sebagian hari-hari saya yang berwarna (bisa sunyi ataupun gembira); meski dari situ mereka juga memperoleh honornya, dengan mempersembahkan kemampuannya. Pahlawan yang saya maksudkan adalah para seniman. Beberapa dari para seniman ini adalah orang yang tenar; sehingga orang menyebutnya sebagai selebritis.

Kehidupan beberapa dari pahlawan saya ini ada yang bisa dikatakan cukup baik dari segi materi, tetapi ada pula yang tak tentu; mengingat gelombang pembajakan yang cukup kuat mencengkeram. Bahkan saya berpendapat tentang sebuah mall di Surabaya, ternyata mall ini tidak sekeren dan seeksklusif penampilannya dari luar. Dari penampilan luarnya gedungnya sendiri cukup berbeda dan berciri khas, tetapi bila melihat suasana isinya malah mirip dengan sisi dalam pertokoan di daerah Tunjungan Siola. Mall ini adalah mall pertama yang dijumpai oleh warga kota Sidoarjo saat meluncur atau bertandang ke Surabaya, yang memang terletak sebagai "gapura" di dekat perbatasan wilayah Surabaya - Sidoarjo. Bunderan Waru tepatnya. Saya menarik pendapat "keren" pada mall ini, adalah karena ternyata banyak menjual produk bajakan. Saya tak menemukan adanya gerai penjual CD original di sana saat terakhir kali masuk yang entah kapan tanggalnya, jelasnya lebih dari setahun lalu. Suatu hal yang mirip dengan beberapa mall lain yang terlihat megah dari luar. Meski pada dasarnya, saya tak mempunyai hobi window-shopping dengan hanya keluar masuk mall walaupun suka kegiatan jalan-jalan pula. Jadi, setiap masuk ke suatu tempat harus mempunyai tujuan.

Seorang pembetot bass salah satu band Metal terbesar "Megadeth" yaitu David Ellefson menulis pengalamannya ke dalam sebuah buku (Making Music Your Business—terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia) tentang bagaimana detil kehidupan seorang musisi (ataupun pebisnis musik) yang tidak seperti dipikirkan orang. Bahwa mereka bahkan sebenarnya berhutang pada produser rekaman sebelum album kelar—meski tak banyak orang menyadarinya; yang akan impas setelah penjualan album yang kesekian kopi. Bahwa seorang musisi juga membutuhkan pengacara ataupun orang hukum sebagai pembantu segala hal yang berkaitan dengan legalitas ataupun kasusnya. Bukunya sendiri cukup menyenangkan untuk dibaca—saya membelinya ketika ada obral buku di salah satu toko buku di kota Surabaya. Tulisannya membuka saya tentang kehidupan musisi sesungguhnya dan malah mengingatkan saya (karena mirip) akan sebuah artikel, pengalaman seorang Kompasianer yang memilih menerbitkan bukunya lewat jalur "indie". [caption id="" align="aligncenter" width="162" caption="Image: GramediaPustakaUtama.com"][/caption]

 

Padahal seperti yang kita tahu dalam dunia rekaman tidak hanya melibatkan musisi ataupun produser saja. Ada pencipta lagu, desainer cover, distributor, salesman, engineer, penata musik (arranger), editor, pemain musik, penjual alat musik, ataupun sekedar pegawai produksi perusahaan rekaman dan SPG penjaga konter gerai CD. Selain mereka, tentunya ada banyak orang lain yang tidak tersebutkan profesinya. Bahwa ternyata rentetan imbas dari industri musik banyak sekali. Seperti kartu domino. Meski sekarang trend musik juga sedikit bergeser: penikmat musik kelas bawah sering mengincar jenis VCD dangdut (koplo) dan campursari yang bukan hanya audio saja. Original-nya pun cukup terjangkau, hanya sekitar sepuluh ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Hal ini saya ketahui dari seorang teman yang sampai saat ini membuka lapak di salah satu lapangan di Malang saat hari libur.

Tapi selain itu toh masih ada bajakan film dan game. Padahal pejabat pemerintah pernah curhat bahwa mereka sebenarnya berusaha untuk membuka lapangan kerja lewat dibukanya banyak kran bekerja di luar negeri. Keluhan inipun tak hanya sekali dua kali terucap oleh pejabatnya, saat membuka perusahaan dengan harapan menurunkan statistik jumlah penganggur. Suatu hal yang bertolak belakang dan malah terlihat seperti pembiaran. Jadi pada titik ini pihak yang berwenang seperti tak ingin kehilangan lapak pembajak karena berhubungan dengan rezeki 'orang kecil'. Padahal industri di belakangnya banyak yang terancam atau bahkan sudah gulung tikar. Beberapa diantaranya bahkan tutup (seperti toko kaset dan VCD di Rungkut yang berubah menjadi warung kopi), sementara kita masih menjumpai seorang SPG yang menawarkan koleksi KWnya. Ironis ya?

Sempat terlintas di pikiran saya ketika hendak menulis ini; ada selentingan kabar pada sebuah media beberapa waktu lalu tentang seorang gitaris negeri ini yang berjanji akan menelurkan albumnya bersama band-nya jika pembajakan pada negeri ini mereda. Saya sendiri lupa kabar ini saya baca dimana karena banyaknya artikel yang saya baca dalam satu hari, tapi keputusannya bisa dipahami sebagai ungkapan hati yang kecewa. Seperti kita tahu pula akan masih banyaknya lapak-lapak seperti yang dikeluhkannya di sekitar kita. Tidak hanya lapak penjual offline, tetapi juga lapak blogger yang berharap iklan dan stat kunjungan situs yang banyak karena memajang link lagu serta film ilegal. Ketika kita melihat adanya produk yang seharusnya dijual tetapi ternyata digratiskan.

Jika yang menggratiskan adalah si empunya karya atau seseorang/badan yang diberi izin untuk penyebaran produk gratisan pun tentunya tak mengapa. Bagaimana bila tidak? Entah pula jika sang artis mendapat 'sesuatu' dari gratisan yang dilegalkan. Tapi hal aneh ini pernah saya jumpai (dan saya beli) pada beberapa album musik yang termasuk dalam bundel DVD sebuah majalah komputer terbitan Pinpoint Publishing. Beberapa artis musik yang bisa saya sebut dalam DVD tersebut adalah NAIF dan KOIL. Hal ini membingungkan juga karena berdasarkan cerita seorang teman kerja 'gaul' (profesinya programmer web) yang aktif mengikuti trend, dia tidak menjumpai adanya berita, kabar, maupun klarifikasi pada situs resmi kelompok band tersebut. Namun saya masih menyimpan majalah dan DVDnya sampai sekarang sebagai bukti bahwa saya tak mengunduh musik tersebut dari link gratisan yang tak jelas macam Stafaband dan beberapa lainnya.

Saya pernah pula mengunduh 'sampel' file musik dalam format MP3 yang terdapat pada situs majalah musik Rolling Stones Indonesia. Salah satu lagunya adalah dari Burgerkill. Ketika musik dijual secara digital, biasanya ada bukti sah pembelian yang berupa email atau notifikasi; sama seperti kita membeli produk digital yang selalu membutuhkan klarifikasi. Padahal untuk download pada Majalah Rolling Stone online ini tak butuh klarifikasi serta tak ada notifikasi pula. Memang tak ribet, tapi akhirnya bingung pula bila saya mendapatkan file 'sampel' musik dengan cara ini; apa buktinya bila saya mengunduh file itu dari situs majalah tersebut? hehe...

Ketika saya menganggap sebuah karya musik cukup bagus untuk dibeli dan saya mempunyai uang serta mood yang bagus, maka saya membelinya. Jadi saya agak berpikir aneh bahwa ada orang yang lebih sangat mampu secara finansial lebih memilih untuk mengunduhnya secara gratisan. Yang pada akhirnya saya pun terkena imbas yang tidak enak. Lho, apa hubungannya?

Hubungannya adalah: bos saya saat itu menyuruh anaknya untuk mengunduh lagu gratisan. Dan link server situs yang diunduh ini ditunggangi berbagai jenis malware dan iklan yang tidak karuan. Browser dan komputer yang digunakan untuk bekerja sehari-hari pun bekerja sangat berat karena berisi aplikasi tak kasat mata yang berjalan di belakang layar, menumpuk pada sistem registry dan tampak bejibun pada jendela proses. Sampai pada akhirnya, entah jenis aplikasi apa yang menyebabkan komputer kerja menjadi down dan tidak bisa dibuat untuk beraktivitas apapun. Termasuk pekerjaan saya sehari-hari yang mangkrak sehari. Padahal komputer itu juga digunakan sebagai e-banking yang memang beresiko bila ada program seperti keylogger (perekam ketikan tuts keyboard) atau program penyusup lainnya. Sekali lagi, tak ada link dan server gratisan yang betul-betul bebas keanehan. Tak ada makan siang gratis. Padahal cuma mengunduh 5 lagu ya?

[caption id="attachment_336593" align="aligncenter" width="500" caption="Ini sebagian CD lokal saya (artis Indonesia)"]

1416398126756736316
1416398126756736316
[/caption] [caption id="attachment_336594" align="aligncenter" width="500" caption="Kotak CD saya. Nggak muat semuanya tapi... perlu wadah baru :)"]
14163981871125491504
14163981871125491504
[/caption] [caption id="attachment_336596" align="aligncenter" width="500" caption="Sisanya masih di kardus :) tak hanya musik, tapi juga film dan dokumenter, contohnya dari Discovery Channel. "]
14163982921523417554
14163982921523417554
[/caption]

Ada perkembangan di dunia kuliner, yang kita ketahui dari banyaknya restoran baru bermunculan di mall maupun di pinggir jalan. Banyaknya komunitas penikmat makanan dimana-mana. Kita menjumpai rubrik Resto pilihan di surat kabar serta majalah-majalah, terutama majalah wanita. Ada pula situs khusus untuk penggemar kuliner yang biasanya menjadi satu dengan tema wisata. Bahkan Kompasianapun punya geng KPK (Kompasianer Penggila Kuliner). Tapi pada saat yang sama, kita jumpai gerai-gerai CD tidak lagi buka pada satu tempat atau mall.

Beberapa waktu lalu, saya mendengar tutupnya gerai CD di Lenmarc (salah satu mall mewah kelas atas) yang katanya dipindah ke Mall Ciputra Surabaya. Saya pun tak pernah lagi menginjakkan kaki ke Surabaya Town Square sejak tutupnya gerai CD disana. Meski dua-duanya (Lenmarc dan Surabaya Town Square) merupakan tempat eksklusif dan tongkrongan lapisan menengah atas melihat dari style tempat dan mayoritas pengunjung yang datang. Saya sendiri lebih suka keluar uang sekali untuk kemudian dapat saya nikmati berkali-kali, seperti membeli CD/DVD original ini ketimbang makan di resto atau makan enak.

Jadi saya merasa geli akan seorang komentator yang menyindir di satu lapak bahwa koleksi CD bagi saya adalah sama dengan koleksi barang mewah. Mewahnya dimana, kalau hanya beli sebulan sekali (seringnya malah tidak); bahkan pembelian terakhir saya sudah berbulan-bulan yang lalu.

[caption id="attachment_336591" align="aligncenter" width="500" caption="Kalau ini meski original, semuanya dalam format MP3. Kecuali 50 Love Songs produksi Sony Music berharga 25 ribu, lainnya adalah produksi Nagaswara dengan bandrol 10ribu rupiah per CD. Jadi, harga perlagu rata-rata dibawah seribu rupiah—bahkan harganya menjadi rp.100,-/lagu untuk HOT100 milik Nagaswara. Bandingkan dengan membeli melalui toko digital macam itunes atau Amazon yang harga perlagunya di sekitaran $1. Sayangnya, Pihak Sony Music kemudian menarik peredaran semua CD MP3nya—ketika saya menanyakannya melalui media sosial (Facebook) dan email, tak ada jawaban. Padahal mau beli..."]

14163962731435362667
14163962731435362667
[/caption]

 

CD audio dan film adalah seperti buku bagi saya. Mereka memperkaya khazanah visual dan pengalaman saya. Saat ini koleksi saya telah cukup banyak sehingga saya pikir tidak perlu rajin berburu seperti dulu. Telah cukup beragam sehingga tak menyebabkan kebosanan memutar yang itu-itu saja. Banyak diantaranya yang menjadi sumber inspirasi, serta menjadi teman saya untuk beraktivitas apapun. Juga menjadi pengisi waktu dan penghibur batin saat depresi. Untuk yang terakhir ini fisiknya masih berupa kaset (bukan CD) yang peristiwanya telah lama berlalu. Pembelian CD saya yang terbanyak: adalah saat saya yang sedang kalut (...hiks!) dimana saat itu saya membeli CD tiga buah sekaligus dalam sekali kunjungan, yang memang ampuh sebagai hiburan dan senjata pengalih perhatian.

Karena jasa-jasa para pahlawan saya itulah saya memilih untuk membeli semua itu secara legal. Semuanya dengan label pajak pada packaging-nya, seperti halnya orang membeli rokok. Jadi, meski kecil dibandingkan keseluruhan populasi pecinta produk bajakan, inilah salah satu aksi saya untuk Indonesia. Saya tak ingin menyuruh orang membeli seperti saya; tapi bila ada yang mengikuti langkah saya, atau bahkan telah ada kesadaran dalam diri sendiri mungkin lebih bagus lagi. Karena semua hal positif memang harusnya berawal dari kesadaran diri sendiri. Bagaimana dengan Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun