Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Catatan Lumpur dan Buku Potret Lumpur Lapindo Sidoarjo

28 November 2014   16:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:37 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Sidoarjo. Sebenarnya ada banyak potensi pada kota ini hingga saat ini. Bagaimana pemekaran kota Surabaya yang lebih ke arah Sidoarjo ketimbang Gresik, misalnya. Meskipun kedua kota satelit Surabaya ini mempunyai potensi yang cukup berimbang. Namun agaknya semua potensi dan nama besar beberapa desa (atau kecamatan di Sidoarjo) sebagai daerah penghasil kerajinan 'tenggelam' oleh musibah yang berhasil menggusur banyak penduduk dari kampung halamannya. Terlebih beberapa desa yang sampai sekarang, ada korbannya yang belum mendapatkan ganti rugi.

Lumpur Lapindo dalam catatan saya


Saat lumpur dari pengeboran Lapindo ini mulai meluber pertama kali, saya sempat membaca sekilas tentang beritanya entah dimana. Mungkin juga di televisi. Tak seberapa lama saya pergi untuk datang memenuhi panggilan tes kerja dan wawancara di salah satu perusahaan garmen di kawasan Pasuruan. Ketika bus melewati tol Surabaya-Gempol, saya sempat mendengar seorang penumpang nyeletuk semacam ini, "Ya beginilah akibatnya orang serakah minyak hasilnya lumpur yang didapat..." (dalam bahasa jawa kasar) dan saat itu memang terlihat di sebelah kanan saya (dari arah Surabaya) ada genangan lumpur dengan satu titik semburan yang mancur deras sekali; yang saat itu luasnya kira-kira masih sepetak area Tugu Pahlawan Surabaya. Buat yang belum pernah ke Tugu Pahlawan Surabaya, mohon maaf atas perkiraan saya ini yang tidak begitu valid ^_^. Pemandangan bencana yang tak setiap hari terjadi dan begitu gempar ini membuat hampir semua penumpang berdiri untuk melihat, termasuk saya sendiri (padahal waktu itu luasnya masih sebesar yang saya ingat dan cantumkan pada kalimat sebelumnya itu). Sepulang dari panggilan tes kerja tersebut, saya melewati pemandangan yang sama di sebelah kiri jalan, yang lagi-lagi membuat orang berdiri dari tempat duduknya; meski saat itu saya tidak ikut berdiri karena duduk pas di samping jendela bus.

Sampai beberapa tahun berjalan, koran cetak pun ramai memberitakan tentang musibah lumpur ini bahkan sampai menghitung hari demi hari (Jawa Pos yang saya tahu) hingga akhirnya mereka menghentikan penghitungan hari itu pada salah satu kolomnya; yang biasanya diisi oleh kabar terbaru terkait musibah lumpur itu, serta berbagai ide solusi dari banyak institusi untuk penghentian lumpur yang memang sia-sia hingga saat ini. Contoh bahwa kekuatan alam memang tidak terbantahkan oleh akal manusia.

Saya sempat memotret beberapa foto pada beberapa area dari wilayah terdampak. Sekedar berbincang dengan warganya, dan mampir untuk membeli dagangan mereka yang semoga meski sedikit, agak membantu meringankan tekanan dan perasaan lain yang tidak terbayangkan lagi oleh saya. Bahwa suatu musibah besar dan berat yang entah kelalaian atau bencana alam seperti ini bisa menimbulkan rasa trauma dan apatis sekaligus. Berbagai demo digelar oleh korban terdampak menghiasi tayangan berita di TV dan radio. Banyaknya demo yang dilakukan warga ini tak terhitung lagi, yang berisi tentang tagihan pemberian ganti rugi oleh pihak terkait. Tak peduli sia-sia atau tidak, saya pun masih menjumpai tayangan berita tentang warga yang berdemo di televisi beberapa waktu lalu. Dan tololnya lagi, saya juga sempat melihat di tayangan berita televisi tentang pengakuan seorang warga yang pada area sawahnya dilakukan pengeboran serupa (pada tayangan JTV kalau tidak salah). Yang memang pada akhirnya sawah bapak petani ini kemudian tergenang oleh lumpur yang sama, menyisakan tangis dan rintihan yang untuk menghentikannya entah harus mengadu pada siapa. Entah siapa yang bertanggungjawab atas kegoblokan ini. Yang jelas, Bupati Sidoarjo pada saat lumpur tersebut menyembur awal akhirnya juga tersangkut kasus hukum. Atau mungkin dia?

[caption id="attachment_338305" align="aligncenter" width="500" caption="Parkiran motor pinggir jalan untuk area "][/caption]

[caption id="attachment_338306" align="aligncenter" width="500" caption="Tangga naik menuju puncak tanggul. Saat itu masih belum merata dibangun supaya lebih kokoh seperti saat ini"]

14171391612001613268
14171391612001613268
[/caption]

[caption id="attachment_338309" align="aligncenter" width="500" caption="Bapak Khoirul Anam (yang juga berjualan DVD), beliau bersedia saya ambil gambarnya. Tampak belakang adalah danau lumpur yang meng-internasional itu..."]

14171392541851365578
14171392541851365578
[/caption]

[caption id="attachment_338319" align="aligncenter" width="500" caption="Beberapa koleksi DVD jualan pak Khoirul Anam. Saya membelinya sebuah, yang akhirnya tidak pernah saya lihat."]

1417139828722174262
1417139828722174262
[/caption]

Pada tayangan berita yang lain, saya menemukan berita bahwa ada hembusan dari bawah rumah seorang warga yang bisa menyala bila tersulut api. Mungkin ini bukti bahwa di balik kulit bumi daerah Sidoarjo terkandung gas alam. Tapi bisa berbahaya pula bagi penduduk, yang kemungkinannya bisa juga meledak.

Saya sempat berkunjung ke daerah wisata lumpur di kawasan Porong, Sidoarjo ini. Salah satu warga korban terdampak lumpur yang saya jumpai ini cenderung pasrah, hingga terlihat tatapannya terlihat menerawang. Banyak diantara korban lumpur ini yang terlihat serupa. Saya pun berkenalan dengan pak Khoirul Anam, demikian beliau menyebutkan namanya; yang dalam kesehariannya dilalui untuk mencari uang di sekitaran tanggul lumpur Lapindo. Baik itu berdagang DVD tentang sejarah terjadinya musibah lumpur itu atau lainnya. Saya membeli DVD tersebut seharga 15 ribu rupiah, yang hingga sampai saya menulis artikel ini sekalipun belum pernah saya lihat bagaimana isinya. Pak Khoirul Anam ini bercerita bahwa bawah genangan lumpur ini banyak "harta terpendam" seperti motor dan lainnya. Sedikit heran mendengarnya: motor? atau mungkin memang tidak sempat terangkut atau terbawakah? Karena alat transportasi ini cukup baik pula bila digunakan untuk mobilisasi atau mengangkut barang-barang ke tempat tujuan baru. Yang pasti, ada dorongan untuk mencari uang dengan jalan menarik uang parkir, ojek berkeliling dengan tarif tertentu atau dengan berjualan DVD itu tadi. Menjadikan daerah bencana sebagai daerah wisata sendiri merupakan paradoks yang sempat ingin saya angkat dan masih bertengger pada draft daftar tulisan saya di Kompasiana sampai pada hari ini, "Wisata lumpur, wisata kesedihan"; yang belum tereksekusi naskahnya hingga akhirnya naskah tulisan bertema lumpur ini diangkat dengan judul lain, seperti yang Anda baca sekarang.

Seperti diketahui, musibah lumpur yang melanda empat kecamatan ini sangat berat terasa, hingga menyedot dana APBN yang tidak sedikit. Padahal masih banyak penduduk Indonesia yang hidupnya terlunta-lunta seperti banyak korban lumpur meski tidak terkena musibah seperti korban lumpur tersebut; terutama pada desa-desa terpencil di Jawa atau kebanyakan penduduk dari luar Jawa. Banyak yang masih membutuhkan pembangunan di desanya, ketika dana itu dialihkan untuk "menambal" derita korban terdampak dari lumpur Lapindo Sidoarjo. Saat saya ke kampung inggris beberapa waktu lalu, banyak teman dan kenalan dari luar Jawa juga merespons tentang musibah lumpur Lapindo ini. Ada yang sempat menjadikannya bahan bercandaan ketika giliran saya akan bicara dimana siswa harus memperkenalkan dan bercerita tentang daerah asal masing-masing yang memang terpencar jauh di berbagai wilayah Indonesia.

[caption id="attachment_338313" align="aligncenter" width="400" caption="Hasil jepretan saya akan danau lumpur Lapindo Porong"]

14171394921493582448
14171394921493582448
[/caption]

[caption id="attachment_338315" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu sudut kampung di Porong, saya mampir ke warung di dekat situ dalam satu perjalanan bermotor Surabaya - Malang"]

1417139568697835204
1417139568697835204
[/caption]

[caption id="attachment_338317" align="aligncenter" width="500" caption="Pembangunan memperkuat tanggul yang masih berlangsung pada saat itu, bahkan hingga kini. Foto ini diambil pada tahun 2008"]

1417139660611704122
1417139660611704122
[/caption]

Baik telah diganti rugi atau tidak, ada hal lain yang juga membuat heran. Ada banyak yang sampai saat ini belum total mendapatkan ganti rugi. Meski terdengar pula Aburizal Bakrie bilang ada orang yang mendapatkan ganti rugi hingga empat kali lipatnya. Satu hal aneh bila ganti rugi tersebut terbagi tidak merata. Bila ada orang yang mendapatkan "modal usaha" karena terlunasi hingga empat kali lipatnya, apakah tujuannya adalah supaya beberapa korban ini mampu membangun usaha baru atau supaya orang tersebut akan mempunyai dorongan untuk berusaha bersama-sama (saling membantu) korban lumpur lainnya? sehingga, banyak tanggungan ini mungkin akan 'terlunasi' akhirnya secara tidak langsung? Namun saya juga pernah membaca bahwa kebanyakan ganti rugi ini menyasar kalangan penduduk yang empunya lahan atau rumah. Entah pula dengan kalangan usahawan yang pabriknya sangat terpaksa tutup atau pindah. Karena pernah saya baca pula ada seseorang (pengusaha awalnya) yang mengeluh permohonan pinjamannya selalu ditolak, tidak dipercaya oleh bank karena dianggap tidak mempunyai aset penjamin. Sedangkan dia sendiri adalah termasuk salah satu yang tidak mendapatkan ganti rugi.

Bulan Foto di IFI Surabaya


Hari kamis kemarin (tanggal 27/11/2014), seorang fotografer mengenalkan buku kumpulan fotonya juga yang bertema tentang lumpur Lapindo di Sidoarjo ini. Menjadi menarik untuk melihat sekelumit atau seluruh isi buku yang didesain mirip sertifikat tanah ini. Pemilihan desain buku itu menyangkut hal yang filosofis, bahwa sertifikat adalah salah satu bukti kepemilikan seseorang akan tanah yang dipunyai atau ditempatinya, dan hal itu berkaitan dengan topik yang diangkatnya dalam lembar demi lembar halaman buku foto itu. Nama fotografernya adalah Mamuk Ismuntoro, dan keseluruhan foto dalam buku tersebut adalah hasil jepretannya yang dimulai pada tahun 2006 ke atas. Buku ini sendiri berjudul "Tanah Yang Hilang"; Yang bila kita melihat lembar demi lembar halamannya, akan dijumpai foto-foto yang sengaja dipilih oleh tim buku ini supaya tidak semirip mungkin (lebih bersyukur lagi kalau ternyata sangat berbeda) dengan banyak foto tentang pemandangan lumpur Lapindo yang telah beredar sebelumnya. Ada puluhan foto dengan kualitas tangan fotografer profesional yang terpaksa disisihkan. Misalnya saja tentang banyak foto sekolah, aktivitas murid serta gurunya yang terpaksa dipindah ke desa lain (dengan mendirikan sekolah baru), atau foto-foto dengan nuansa lebih berat yang bisa "menuduh" pihak-pihak tertentu. Semuanya dipilih untuk menghadirkan kesan lebih "netral" namun tetap terasa tragis, atau menghindarkan "kebosanan" akan panorama bencana lumpur itu sendiri. Dalam satu paket buku yang dijualnya, ada pemilahan menjadi dua format: ada buku khusus foto, dan ada buku catatannya pula (yang paling mirip sertifikat kepemilikan tanah/bangunan).

[caption id="attachment_338328" align="aligncenter" width="500" caption="Tampak tengah: Miss Veronique memberikan pengantar dalam bahasa Inggris. Meski barisan kata yang dipilihnya cukup mudah diterjemahkan kepala saya, aksen Perancisnya yang cukup aneh ditelinga berhasil membuat sekitar 10% kosakatanya yang terdengar menguap entah kemana ^_^"]

1417140895791130138
1417140895791130138
[/caption]

[caption id="attachment_338326" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Mamuk sedang presentasi dengan latar belakang slide foto karyanya"]

1417140723424879090
1417140723424879090
[/caption]

[caption id="attachment_338327" align="aligncenter" width="500" caption="Suasana saat sebagian foto-foto yang menghiasi buku tersebut ditayangkan"]

14171407811209822768
14171407811209822768
[/caption]

[caption id="attachment_338329" align="aligncenter" width="500" caption="Dalam amplop sampul ada map yang merupakan bagian packaging"]

14171411401872919142
14171411401872919142
[/caption]

[caption id="attachment_338330" align="aligncenter" width="500" caption="Dalam map ada dua buah buku..."]

1417141195150142162
1417141195150142162
[/caption]

[caption id="attachment_338331" align="aligncenter" width="500" caption="Dalam buku ada cerita..."]

14171412421381363737
14171412421381363737
[/caption]

[caption id="attachment_338332" align="aligncenter" width="500" caption="...dan selain cerita dalam bentuk tulisan, ada juga foto yang bercerita..."]

1417141356681041076
1417141356681041076
[/caption]

Seperti foto hasil jurnalis dengan kejelian menangkap momen dan eksekusi, fotografer buku ini tentunya sangat mengerti kaidah jurnalistik dan berusaha semaksimal mungkin menuangkan apa yang ada pada pikirannya lewat media foto. Tentang bagaimana kesedihan dan kehidupan di balik bencana alam terbesar pada generasi modern. Salah satu hasil jepretannya berkisah tentang Diana, sesosok wanita yang merayakan pernikahannya (berpose duduk berbalut gaun pernikahan menggenggam buket bunga, menanti kedatangan sang calon suami) saat berada di petak penampungan pengungsi yang saat ini telah menjadi pasar. Sang fotografer bercerita atas hasil penantiannya selama berjam-jam hingga perias mempelai wanita itu terpaksa "diusir" untuk menangkap wajah dengan tatapan yang menerawang pada hari pernikahannya. Hingga kita bisa melihat dibalik riasan wajah cantiknya ada sebuah kecemasan yang tak terjawab akan hari esok yang mengambang, apakah hidup menyedihkan dengan kesengsaraan tersebut harus dilewati dengan yakin dan ikhlas.

Sang fotografer penulis buku bercerita lagi tentang kesulitannya akan pencarian sosok yang dalam membekas dalam ingatannya ini beberapa tahun kemudian, bagaimana dia tidak menyerah untuk mendapatkan kabar dari model potret tersebut. Hingga akhirnya mbak Diana berhasil ditemukan dengan tingkat kehidupan yang lebih baik. Berhadapan dengan mbak Diana, semuanya bisa mengalir begitu saja; namun tidak untuk bercerita tentang kehidupan dibalik desanya yang terendam lumpur. Masih ada rasa trauma dan kesedihan yang ingin dilupakan tetapi tidak bisa. Ada mimpi-mimpi di malam hari ketika ingatan masa lalu masih berada di desa yang tertelan lumpur itu; ketika masa kecil hingga remaja berada di desa yang asri hingga dia menikah saat berumur 19 tahun harus hijrah ke lokasi baru yang telah menjadi desa baru sekarang.

Pada foto-foto lain tergambar sudut desa yang telah musnah, kubah masjid yang tenggelam dan bangunan-bangunan yang telah runtuh atau sengaja diruntuhkan. Di beberapa fotonya kita akan dapati pula jerih payah sosok manusia yang berusaha mencari serpihan rejeki dari menjebol batu-bata atau kusen yang nantinya bisa dijual atau dipakai lagi, bahkan di tengah banjir yang menghadang. Suatu hal yang menarik untuk dibidik dari sudut pandang fotografer untuk dituangkan ke dalam media gambar yang menghasilkan kesan dramatis. Untuk Anda yang tertarik buku ini, bisa menghubungi fotografer atau penulis buku pada email: [ mamuk@matanesia.com ] atau nomor telepon: 0858 522 13077  (saya mendapatkan kartunamanya saat acara berakhir), namun tidak dengan bukunya ^_^. Ehm, belum ada ruangan khusus untuk buku-buku saya yang terdahulu, karena buku lama saya saja masih terbengkalai tanpa tempat. Akan sayang beli buku bagus tapi kemudian rusak karena tak tertata dan tersimpan dengan baik, seperti buku ilustrasi seri 'Davinci' saya yang luamayan rusak parah.

Pada cetakan perdana ini, hanya tersedia 500 buku yang dieditori dan diberi kata pengantar oleh beberapa oknum dari berbagai disiplin ilmu. Sekali lagi alasannya adalah finansial. Sang fotografer hanya tertawa dan berharap saja sewaktu ditanya apakah buku tersebut akan cetak ulang (karena kebanyakan penulis 'kan pastinya mempunyai angan tersebut). Yang kemudian menjelaskan bahwa adalah naif jika buku tersebut mampu menolong korban lumpur, karena ada banyak pihak yang lebih mampu melakukannya. Hanya saja, setiap jepretan ini setidaknya bisa menjadi reminder atau pengingat mereka yang berempati atau sebaliknya, untuk yang menebalkan hatinya kepada peristiwa tragedi besar karena modernisasi tersebut. Untuk Anda yang berniat datang pada bulan foto ini, akan menjumpai pula buku tersebut dan bisa dibaca pada perpustakaan IFI-konsulat Perancis Surabaya.

Menarik pula bagi saya yang diundang (melalui facebook) untuk perkenalan buku ini pada salah satu agenda Institut Francais Indonesia Surabaya (IFI) yang terletak di kompleks AJBS jl. Ratna Surabaya. Link beritanya ada disini. Mengingat, ini adalah kali pertama saya datang menghadiri acara di gedung yang berbeda dengan biasanya (saya beberapa kali hadir pada acara di gedung jl. Darmokali Surabaya). Setidaknya dari sana saya bisa memetik pengalaman baru.

[caption id="attachment_338334" align="aligncenter" width="500" caption="Dua puluh menit setelah jam yang seharusnya dimulai (tertera pada undangan), masih terlihat lengang :("]

14171416031378949325
14171416031378949325
[/caption]

[caption id="attachment_338335" align="aligncenter" width="500" caption="Barisan fotografer yang berniat memotret semua pengunjung di panggung pada akhir acara. Sebelum mereka memotret, saya potret duluan :D"]

1417141712219020699
1417141712219020699
[/caption]

**Semua foto2 dalam tulisan ini adalah hasil jepretan sendiri...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun