Mohon tunggu...
F. I. Agung Prasetyo
F. I. Agung Prasetyo Mohon Tunggu... Ilustrator - Desainer Grafis dan Ilustrator

Cowok Deskomviser yang akan menggunakan Kompasiana untuk nulis dan ngedumel...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Catatan buat Menaker: Antara Tenaga Kontrak, Penalti dan Penahanan Ijazah

24 Januari 2015   16:43 Diperbarui: 15 Juni 2016   09:11 4784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya mengundurkan diri dari CV Putera Remaja pada 4 Desember 2013 dan dua teman saya pada Agustus serta Oktober 2013. Saat akan mengambil ijazah yang ditahan, kami dijanjikan ijazah bisa diambil enam bulan sejak mengundurkan diri. Pada Juni, diinformasikan bahwa ijazah bisa diambil bulan depannya tanpa penjelasan pasti. Namun, hingga sebulan kemudian, kami sulit mengambil ijazah. Jawaban yang diberikan pun tidak jelas.

Ketika kami berusaha datang kembali ke kantor sesuai dengan yang telah dijanjikan, ternyata melalui seorang karyawan diinformasikan bahwa ijazah bisa diambil jika kami membayar penalti sisa dari kontrak yang telah kami tanda tangani. Namun, salinan kontrak tersebut tidak pernah diberikan kepada kami sejak awal menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Mohon tanggapan."

Demikian adalah surat yang saya baca pada kolom surat pembaca Jawa Pos, 27 Desember 2014 yang ditulis oleh Octandyla S. yang bertempat tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur. Saya tak mengetahui alasan pasti mengapa ketiga orang karyawan/karyawati dalam surat tersebut bisa tidak kerasan di tempat kerja. Apakah pekerjaan tersebut tidak cocok bagi yang bersangkutan juga saya tidak mengetahuinya dengan pasti, yang jelas... ketiganya mengalami masalah ruwet dan tidak jelas tentang pengambilan ijazahnya yang diminta sesuai peraturan perusahaan.

[caption id="attachment_347790" align="aligncenter" width="500" caption="Surat pembaca (mantan karyawan) yang mencari kejelasan atas kasusnya: mempertanyakan ijazah yang ditahan. Image: hasil jepretan sendiri."][/caption]

Jadi, kalau sudah dikontrak, terus bisa di-bully?

*Surat itu ternyata bukan satu-satunya kisah di Jawa Timur dengan kontrak serta penalti dihiasi dengan karyawan yang tidak betah di tempat kerja. Dan sebelum menelaah lebih lanjut akan surat tersebut, biarlah saya menulis kasus lain juga. Kisah ini nyata dan merupakan fakta, terjadi sekitaran tahun 2007 dan dialami oleh karyawan sebuah perusahaan. Mengapa para karyawan bisa sampai keluar kerja tanpa melanjutkan kontraknya, dan mengapa seseorang admin hingga curhat dengan saya untuk meninggalkan (merelakan) saja ijazahnya dan mengurus saja duplikasinya.

Jika ada yang mempertanyakan ini bukan kisah nyata atau fakta, ada dua opsi: 1) silahkan bertanya para mantan karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut dan lainnya atau mantan penyetor uang... 2) silahkan tanya kepada Tuhan langsung!

Seorang sopir mundur dari pekerjaannya secara baik-baik (niatnya), sebagaimana peraturan perusahaan, ijazah juga diminta oleh pihak perusahaan sebagai jaminan bila karyawan melakukan "sesuatu" yang tidak semestinya. Sopir tersebut mengutarakan niatnya untuk berhenti. Ia menghadap kepada si Bos. Setelah berpanjang lebar alasannya, dan terlibat pembicaraan, akhirnya si sopir memutuskan untuk tetap keluar mencari pekerjaan lain.

Ternyata proses pengambilan ijazahnya sama dengan apa yang kita baca bersama pada surat pembaca di atas: mengalami kesulitan. Saya rasa, si sopir beberapa kali menelepon perusahaan meminta ijazahnya, dan kemungkinan si sopir tidak sabaran lalu datang ke kantor, ngotot pada saat itu juga, bersikeras untuk mengambilnya. Si bos masih rewel dan mbulet entah apa alasannya serta tidak menuruti keinginannya, dan kedua orang tersebut (si bos dan sopirnya terlibat adu mulut). Sampai pada satu waktu, si bos sangat marah dan jengkel hingga menelepon seseorang.

Karyawan yang masih bekerja pada lantai atas disuruh menyingkir sebentar, ketika tiba-tiba datang 3 orang polisi yang entah polisi asli atau pemain sinetron dengan pakaian polisi. Tapi ketika datang 3 orang polisi itu, tak ayal si sopir agak sedikit gentar meski lalu masih dalam kengototannya. Lagipula, siapa yang tidak kaget? ketika karyawan bekerja normal diperlakukan seperti penjahat dan pencoleng? Apakah ketiga polisi ini adalah ... (saya kurang suka dengan istilah "beking", lebih suka "jancukan") pengusaha ini? Tidak tahu pasti dan entahlah apakah setiap polisi bisa dipanggil dengan mudah untuk pengusiran karyawan? Sampai akhirnya si Bos dan polisi serta sopir itu pun keluar. Hingga akhirnya semuanya bekerja seperti biasa dan seorang admin mengeluh kepada saya karena dia sering menjadi sasaran bentak. Tidak hanya sehari sekali, tapi sering dan itu mungkin membuat mental dia "down" dan luka batin yang cukup dalam. Dia lalu bertanya (sambil berbisik), apakah bisa kalau datang ke sekolahnya dulu lalu mengurus surat ijazah lagi dengan alasan hilang? Nah lo!

Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, masih terdengar lagi orang yang meminta ijazah aslinya (via telepon). Hal ini bisa ditebak dari jawaban dari si Bos. Entah sopir tadi entah orang lain, yang jelas sama seperti yang dialami beberapa orang yang saya sebutkan pada artikel ini: sulit dan mbulet. Mengapa? seperti punya kasus saja. Banyak perusahaan menggunakan cara penahanan Ijazah dengan maksud: agar tidak macam-macam saat bekerja, seperti seorang kreditur yang meminjam uang di bank, harus mempunyai agunan. Namun mengapa setelah ijazah masuk, permintaan ijazah saat karyawan keluar sangat susah diambil? Sebagai catatan: tak semua perusahaan yang menahan ijazah punya kelakuan seret semacam ini. Dari gelagat si Bos sih, dia terlihat kurang komunikatif dengan para karyawannya, dan ujung-ujungnya dengan bentakan. Dengan kata lain: saya meragukan si bos punya kemampuan manajemen yang baik sehingga suka main kasar dan marah-marah.

Seorang SPG pun terdengar menghilangkan sejumlah uang. Jika tidak salah, nominalnya adalah 200ribu. Suatu hari, Si SPG sampai datang bersama ayahnya (yang katanya dosen) memohon hingga seperti tawar-menawar dengan si Bos supaya putrinya bisa keluar dan ijazahnya diperoleh kembali. Semua karyawan yang masuk ke dalam perusahaan ini terikat kontrak, dengan nominal penalti sebanyak satu bulan gaji jika terputus di tengah jalan. Aturan yang aneh? Tidak aneh bila banyak orang menjadi ingin masuk karena ada kata-kata pemanis "Mitra" perusahaan pada surat kontraknya. Ada iming-iming lagi bahwa perusahaan akan memberi penalti sekian rupiah pula bila sang karyawan tak kerasan hingga dipecat dari perusahaan. Tapi bagaimana bisa dipecat... sedangkan kebanyakan malah mundur karena tertekan. Aneh lagi? Lagipula siapa tidak butuh kerja? Apakah semua orang yang masuk itu orang bodoh? Mungkin banyak orang bodoh di Surabaya sehingga bisa masuk ke sana. Lagipula, iklan lowongannya juga sering terlihat di koran.

Ketika seorang karyawan dianggap "bersalah", semua bisa terkena bentak sebagai imbasnya. Bahkan anak sendiri dibentak-bentak dengan sangat kasar. Ternyata, oh ternyata... si bos ini tak sengaja "curhat" di tengah-tengah kekasarannya, menunjukkan dia menjadi seperti itu sekarang adalah karena didikan dulunya (masih dengan membentak anaknya). Jadi, suasana kerja bisa seperti neraka dengan iblis sebagai bosnya. Dengan wali bos dulu sebagai lucifer-nya. Siklus kerja karyawan yang hanya seminggu-dua minggu keluar-masuk ini merupakan keuntungan lain bagi perusahaan. Karyawan apa yang bertahan hanya seminggu-dua minggu? Marketing! Jadi dalam satu waktu ada 2 orang dengan jabatan desainer (grafis) yang pekerjaannya sangat ringan saja dan mestinya bisa dikerjakan oleh satu orang (sebagai perbandingan, saya pernah bekerja lebih payah di tempat lain—tapi hampir semua desainer grafis ). Atau mungkin untuk "diperah" lewat penaltinya...

Hanya dengan modal bentakan, banyak karyawan akhirnya bayar penalti sebesar sebulan gaji... dan bisa kita hitung... akhirnya perusahaan malah mendapatkan tenaga kerja gratis (malah surplus) dengan dikurangi biaya iklan koran... berapa iklannya? kurang dari 50ribu rupiah waktu itu (kalau untuk iklan baris macam Klasika--tapi tayang di Jawa Pos). Kalau ada 3 orang keluar-masuk dalam sebulan, Hebat bukan? Dapat 2 juta tunai bo! Tak salah Bob Sadino bilang: "orang goblok jadi bos"... ya... inilah benar-benar orang goblok hingga mengakali orang pintar. Ada S1 pula di antara karyawan-karyawan ini.

Tapi: Mengapa tak ada kabar berita yang lainnya? Mungkin diam saja semuanya... karena polisi mah, membela yang lemah ya? Adanya kasus salah tangkap, pungli, penyelewengan dan kecurangan di tubuh institusi ini malah mengindikasikan polisi bukanlah penegak hukum sebenarnya. Mau mengadu siapa? Lagian, dalam berbagai penerimaan karyawan baru, ada pertanyaan tertulis: pernah "bermasalah" dengan polisi? Jelaslah, pasti tertutup. Eh, maaf--ini ulah oknum, bukan semuanya... tapi bagaimana cara membedakan oknum dan bukan dalam satu institusi? Apakah saran dari Polri: "Jadilah Polisi untuk diri sendiri" perlu diterapkan disini? Sebatas apakah kewenangan "Menjadi Polisi untuk diri sendiri ini"? Apakah termasuk melumpuhkan "oknum" (termasuk polisi, preman, penjambret, pecundang, manusia gagal dsb)? Bukankah ini melanggar hukum? Bagaimana dengan penegak hukum yang melanggar hukum?

Satu cerita datang dari pemilik warung di sekitar situ (lihat pada gambar--salah satu pemilik dari deretan warung yang berbicara begitu), memberitahu bahwa pernah, pembantu rumah tangga si Bos ini juga mendapatkan perlakuan yang tidak layak. Entah cerita ini benar atau tidak, karena hanya "katanya"... yang jelas pastilah ada yang mendendam bos dan pada perusahaan satu ini. Namanya adalah Andros Jusuf Mualim, perusahaannya bertempat tinggal di Bagong Ginayan 4/2 Surabaya. Kalau banyak kasus seperti begini (ditengara--bahkan adanya perbudakan di beberapa tempat yang terendus media beberapa waktu lalu), rasanya tak salah bila banyak orang memilih bermimpi menjadi TKI--meski tak semuanya mujur, tetapi kenyataan yang terjadi akan menertawakan mereka yang masih mati-matian nasionalis buta supaya mencari nafkah hanya di dalam negeri (atau himbauan instansi apalah namanya) dengan memilih kebalikan dari pepatah "Hujan emas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri?" Namun semuanya adalah pilihan bukan?

[caption id="attachment_347797" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu dari deretan pemilik warung ini yang memberitahu tentang nasib pembantu rumah tangganya. Berbeda sedikit dibandingkan tahun 2007, saat itu masih ada satu-dua warung. Image: capture Google Map."]

14220666871157201093
14220666871157201093
[/caption]

Petanya ada pada link ini: https://www.google.co.id/maps/@-7.2798173,112.7466951,3a,75y,136.45h,85.52t/data=!3m6!1e1!3m4!1stBSR345DKD41avSBuGOrNQ!2e0!7i13312!8i6656

Lalu, bagaimana tentang apa yang menjadi alasan surat Octandyla dan teman-temannya tersebut di atas mundur, yang tentunya berbeda perusahaan dengan beberapa kasus terakhir...? Maaf, saya bohong kali ini... Silahkan ditebak sendiri.

=========================================================================

.

.

.

.

.

.

Baca jugatulisan terkait dari Mas Ryan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun