Mohon tunggu...
Kemas A R Panji
Kemas A R Panji Mohon Tunggu... Sejarawan - Saya adalah pribadi yang biasa dipanggil Kemas Ari oleh sahabat dan teman kerja, menyukai bidang sejarah, budaya, dan Sastra, khususnya

Peminat Sejarah, Budaya dan Sastra, serta Jurnalistik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rumah Rakit Palembang dan Sejarahnya

27 Januari 2020   12:32 Diperbarui: 27 Januari 2020   16:04 1753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiyai "Baba Cek Ming" Amin Azhari (baju dan peci putih), bersama salah satu muridnya Kemas Zaini

Selain menjadi ulama dan ahli dibidang Falaq (llmu Perbintangan) beliau juga pernah menjadi hakim luar biasa Pengadilan Agama Palembang tahun 1960. Beliau wafat pada usia 92 tahun (Minggu 27-Januari-2002) pukul 11.20 WIB dan dimakamkan di perkuburan keluarga. alamat terakhirnya Jln. H. M. Asyik Lrg. Jayalaksana 3-4 Ulu atau Kampung saudagar Ko tjing.

Pada Masa Kesultanan Palembang tanah merupakan milik Raja/Sultan. orang yang bukan keturunan raja (bangsawan) hanya boleh meminjam padanya sedangkan bagi orang asing (pendatang) hamya boleh tinggal diatas rumah-rumah rakit. Semua warga asing harus menetap di atas rakit, bahkan kantor Dagang Belanda pertama di atas rakit, lengkap dengan gudangnya. 

Rumah Rakit ini selain sebagai tempat tinggal juga berfungsi juga sebagai gudang industri kerajinan. Bahkan pada tahun 1900 an dibangun Rumah Sakit diatas rakit, karena dianggap mereka lebih sehat dan indah karena dapat melihat kehidupan di sepanjang Sungai Musi. Dengan kondisi ini maka dahulu para pendatang yang datang  ke Palembang termasuk para pendatang Eropa, Cina, dll mendirikan rumahnya diatas sungai Muasi biasanya berbentuk deretan-deretan rumah di sepanjang sungai. 

Masyarakat Tionghoa di beri izin untuk tinggal dengan catatan apabila mereka bersedia tinggal di atas air dengan membuat rumah rakit. Rakit-rakit tersebut berada disepanjang sugai Musi yang letaknya-nya menghadap ke arah keraton atau berseberangan (lihat Peta Palembang), rakit-rakit tersebut umumnya dibuat dari bahan kayu atau bambu dengan atap kajang dan sirap (Hanafiah, 1988: 48). Rumah rakit milik masyarakat Tionghoa yang kaya  terbuat dari kayu unglen yang di cat rapi, ukurannya sesuai dengan selera masing-masing.

Kenapa di masa Kesultanan Palembang semua pendatang atau warga asing harus tinggal di rumah rakit? Jawabannya hal ini tidak lepas dari kebijakan atau peraturan yang dibuat pada masa Kesultanan Palembang yang bernuansa politis. Pada saat itu, Kesultanan Palembang sangat mencurigai bangsa Eropa dan Timur asing, khususnya bangsa Belanda yang sejak lama hendak menjajah. 

Selain itu, kewajiban warga asing tinggal di rumah rakit memudahkan Kesultanan Palembang untuk mengontrol mobilitas warga asing. Apabila terdapat warga asing bertindak kriminal dan melanggar hukum, penindak hukum akan memotong tali pengikat rumah rakit hingga rumah rakitnya hanyut di sungai.

Pada masa akhir pemerintahan Kesultanan Palembang (Keresidenan Palembang) mulai terjadi perubahan-perubahan, rumah rakit tidak lagi menjadi tempat orang asing atau terpinggirkan. Para pendatang atau warga asing yang semula harus tinggal rumah rakit mulai berangsur-angsur menepi dan tinggal di daratan. Meski diberikan izin tinggal di daratan tidak semua masyarakat Tionghoa mendirikan rumah, dan lebih memilih tetap tinggal di rakit.

Pada masa awal pemerintahan Belanda (Keresiedan Palembang), pasca dihapuskannya  Kesultanan Palembang, bentuk pemerintahannya masih menggunakan para bangsawa Palembang untuk memerintah di bekas Kesultanan tersebut. Setia kelompok etnis/suku di Palembang diangkatlah seorang Mayor, Kapten, Letnan, dan lain-lain sebagai pimpinan kelompoknya.

Mereka dijadikan bagian yang integral dalam alat pemerintahan Belanda Pada tahun 1830 kelompok suku Tionghoa mengangkat Tjoa Kie Tjuan dengan gelar Mayor sebagai pimpinannya yang pertama Kemudian pada Tahun 1855 Tjoa Kie Tjuan digantikan oleh putranya yang bernama Tjoa Han Him dengan gelar Kapiten

Apapun dampak yang timbul dari Kejadian ini menyebabkan terbentuknya pemukiman Tionghoa perantauan di luat Wilayah Cina. Kemudian para imigran Cina ini memperkuat ikatannya dengan pedagang-pedagang lokal hingga para elite penguasa. termasuk pedagang-pedagang muslim. melalui perkawinan atau memeluk agama Islam untuk memperkuat keberadaanya.

Setelah masa kemerdekaan, jumlah rumah rakit semakin berkurang, di antaranya disebabkan oleh biaya yang mahal dan sulitnya mencari bambu sebagai alat pengapung. Mahalnya harga pembuatan rumah rakit, dan terbatasnya lahan untuk menempatkan dan mengikat rumah rakit. Meskipun demikian, fungsi rumah rakit tetap digunakan meski lebih banyak sebagai tempat berdagang yang dulunya banyak dilakukan masyarakat keturunan Tionghoa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun