Dea hanya tersenyum kecut.
"Saya rasa di era demokrasi bebas seperti sekarang kesalahan terbesar kita memang bukan pada saat memilih wakil rakyat, gubernur atau presiden tapi lebih pada saat memilih pekerjaan—atau pasangan," nada ucapan laki-laki itu lebih pelan namun mengalir lancar bagai aliran sungai pada musim hujan, bahkan dia mengucapkannya sambil melihat layar itu dan mengutak-atik kembali gambar kerjanya.
Dea melirik laki-laki itu yang kini telah mengacuhkannya. Sekali lagi dia seakan telah berhasil membaca pikirannya. Jika dia bukan cenayang maka itu artinya pikiran-pikiran di kepalanya banyak bersinggungan dengan pikiran Dea. Namun sebenarnya ada persinggungan yang lain.
"Jujur, desain rumah itu sangat bagus. Apakah kamu mengerjakan interiornya juga?"
"Tidak. Kenapa?"
"Kalau kamu membutuhkan jasa desain interior, kamu bisa menghubungi aku. Kami juga mempunyai bengkel kerja, kantorku tidak jauh dari sini. Ini kartu namaku."
"Kamu seorang desainer interior rupanya. Baiklah. Ini kartu nama saya."
Keduanya kemudian berjabat tangan dan berkenalan. Dea ingin mengenal lebih dekat laki-laki ini, dia merasakan kejujuran di matanya, sesuatu yang secara bawah sadar dirindukannya.
Namun sedikit kembali ke belakang saat sang arsitek melintas di teras kafe sebelum masuk melewati pintu kaca untuk memesan minuman ringan. Laki-laki itu melihat Dea untuk pertama kali sedang duduk sendirian bermain dengan smartphone-nya. Saat itulah dia jatuh cinta pada pandangan pertama, sesuatu yang sulit diungkapkannya dengan kata-kata.
Cibubur, April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H