Kertas Putih
oleh: @kemaraubasah
Tidak memilih adalah sebuah pilihan. Kalimat itu kembali terngiang di benak Dea. Skeptis dan sedikit absurd tetapi begitulah adanya.
"Kau tak bisa memilih antara dibohongi atau dikhianati. Tidak dua-duanya," pikirnya.
Dea sibuk mengutak-atik layar sentuh smartphone-nya. Semenit kemudian perempuan itu menghirup segelas kopi espresso dingin dari atas meja sebagai selingan. Dia tak tertarik untuk memperhatikan orang-orang yang memenuhi meja lain atau yang berjalan lalu lalang dengan beragam mode pakaian di selasar bagai model di atas catwalk. Namun dari kerlingan mata, dia dapat merasakan bila semua laki-laki di teras kafe mal itu telah mencuri pandang ke arahnya sejak pertama dia datang. Dia juga tak peduli bila terlihat duduk sendirian di pojok seperti seorang perempuan kesepian.
Kemarin malam kalimat itu tertahan di mulutnya karena dia merasa ungkapan itu terlalu lugas ditambah sekejap keraguan di hatinya. Namun sekarang hal itu mulai menjadi jelas, sebenarnya bukan bermaksud untuk tidak memilih tetapi dia hanya belum mempunyai pilihan yang tepat. Waktu nanti akan menjawabnya.
Malam itu sepulang dari kantor, Dea berdebat di telepon dengan sang ibu tentang pasangan hidupnya.
"Apa yang kau tunggu, Dea?" nasihat sang ibu, "Kau sudah cukup berhasil. Kau pintar, juga cantik. Ingatlah umurmu."
"Sabar, Ma. Jodoh itu di tangan Allah," salah satu cara Dea menghadapi ibunya dengan mengalihkan tanggung jawab untuk pertanyaan tajam itu kepada Tuhan. Namun, ibunya lebih paham.
"Benar katamu, Allah memiliki jodohmu. Jadi kau tinggal memilihnya. Kau harus segera menetapkan pilihan demi masa depanmu."
Dea tertolong oleh jarak yang memisahkan mereka, sehingga dia dapat menghindari tatapan mata, gerak tubuh dan kerut wajah beliau. Sebagai seorang putri kesayangan, bungsu dari empat orang anak perempuan ibunya, sebenarnya Dea sangat memahami kegelisahan sang ibu yang telah memasuki usia senja.