Mantan panglima perang Jokowi dalam melawan Mafia Migas terus diusik Mafia Migas. Yaa....Dwi Soetjipto, mantan Dirut Pertamina yang sukses mendukung program kemandirian energi yang merupakan salah satu pilar utama Nawacita Jokowi terus diusik. Hanya di era Presiden Jokowi dan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto, maka duet maut ini berani melawan resiko menghadapi Mafia Migas dengan membubarkan Petral. Siapa yang tidak kenal dengan Petral, anak perusahaan Pertamina yang “konon” lebih berkuasa dibandingkan Pertamina.
Petral adalah tempat 70% perputaran uang Pertamina. Dapat dibayangkan jika perputaran uang Pertamina tahun 2014 mencapai Rp 700 triliun, maka sekitar Rp 490 triliun uang berputar di Petral. Mengapa bisa sampai sebesar itu?... sederhana saja Petral adalah perusahaan yang memasok kebutuhan minyak mentah Pertamina untuk mencukupi kilang. Produksi minyak mentah Pertamina hanya kisaran 169 ribu barrel, sedangkan kebutuhan 8 kilang minyak Pertamina mencapai kisaran 800 ribu barrel. Bagian minyak mentah Pemerintah dari kontraktor minyak asing maupun swasta tidak sepenuhnya mencukupi kebutuhan kilang, karena lifting minyak (produksi minyak mentah nasional) hanya sekitar 850 ribu barrel. Maka Pertamina melalui Petral impor minyak mentah dari berbagai negara. Ingat kasus korupsi impor minyak mentah yang melibatkan Direksi Pertamina seperti Suroso dll?
Kapasitas kilang Pertamina hanya 800 ribu barrel, dengan yield produk utama sekitar 70%, artinya hanya 560 ribu BBM kemampuan Pertamina memproduksi BBM. Sedangkan kebutuhan BBM di Indonesia setiap harinya adalah 1,4 juta barrel. Artinya adalah kekurangan lebih dari 800 ribu barrel BBM per hari. Harga BBM diluar pajak dan lainnya hitunglah Rp 4.000 per litter. Sedangkan 1 barrel = 37,8 litter. Maka setiap hari Pertamina melalui Petral mengimpor 30.283.295 liter per hari atau = 11,05 juta kilo liter per tahun. Kebutuhan impor BBM pertahun adalah Rp 4.000 x 30.283.295 x 365 = Rp 442 triliun pertahun. Jadi masuk akal bukan jika 70% uang Pertamina beredar di Petral.
Sudah jadi rahasia publik tentang, beredar info bahwa di masa lalu komisi impor BBM adalah USD 2 per barrel, atau setara dengan Rp 529/lt atau untuk setahun Rp 529 x 30.283.295 x 365 = Rp 5,8 triliun. Itu baru dari impor BBM, belum impor minyak mentah.
Ada lagi dari fee “membuka LC”. LC adalah pembayaran internasional melalui perbankan, bahwa importir mesti membuka LC yang jika barang sudah dikirim, maka pembayaran bisa dicairkan melalui mekanisme antar bank. Importir membuka LC ada fee LC yang besarnya bisa bervariasi. Jika impor Rp 490 triliun dengan biaya LC sebesar 0,375% maka biaya membuka LC adalah Rp 1,83 triliun.
Sudahh selesai jaringan pendapatan Mafia Migas?..... Belum tentunya. Mengirim minyak tentu butuh asuransi, apalagi jika minyaknya dari Timur Tengah yang melewati Teluk Aden yang sarang perompak Somalia, tentu premi asuransi akan tinggi. Taruhlah biaya asuransi sebesar 1%, maka dibutuhkan Rp 4,9 triliun. Masih ada lagi, impor BBM tentu butuh kapal. Di era Petral, hampir semuanya adalah kapal luar negeri. Pusing menghitungnya, anggaplah biayanya Rp 20 triliun.
Ilustrasi kasar pendapatan Mafia Migas (tanpa mencuri spek):
- Komisi Impor BBM sekitar Rp 5,8 triliun
- Komisi Impor Minyak Mentah sekitar Rp 3 triliun
- Kickback uang LC 50% = Rp 1,83 triliun X 50% = Rp 915 miliar
- Kickback uang premi 30% = Rp 4,9 triliun X 30%= Rp 1,47 triliun
- Komisi kapal pengangkut 20% = Rp 20 triliun X 20% = Rp 4 triliun
Jumlah sementara = Rp 15,185 triliun.
Wooooo.....uang Rp 15,185 triliun (konon lebih dari itu, anggaplah sebesar angka ini saja). Hitungan ini belum memasukkan pemalsuan spek minyak mentah. Ingat kasus impor minyak mentah yang menyeret mantan Direktur Pertamina Suroso.
Bubarkan Petral, Laba Pertamina Melejit
Lihatlah setelah Petral dibubarkan, kemudian inovasi berbagai produk dan kinerja ekselen operasi, maka dalam waktu 2 tahun saja pada 2016 laba Pertamina melejit mencapai USD 3,15 miliar atau setara dengan Rp 42 triliun. Laba terbesar sepanjang sejarah berdirinya Pertamina, dan bahkan mampu mengungguli laba Petronas. Harga diri Pertamina kembali, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia muncul. Kinerja gemilang ini terjadi saat harga minyak dunia masih rendah dibawah USD 50 per barrel dari harga tertinggi yang pernah di capai di tahun 2013 sekitar USD 110 perbarrel atau harga tertinggi tahun 2014 yang mencapai USD 100. Dapat dibayangkan jika harga minyak mentah dunia tahun 2016 bertengger di angka USD 100, maka keuntungan Pertamina bisa menembus Rp 80 triliun.
Aksi Nekat Dwi Soetjipto Yang Didukung Jokowi
Nekat tentu saja, salah satu rekomendasi dari Tim Reformasi Migas yang sulit dilakukan adalah membubarkan Petral. Isu pembubaran Petral sudah mengemuka sejak era Presiden Gus Dur, tapi baru terealisasi di era Presiden Jokowi. Tentu untuk keputusan strategis ini meski SK ditandatangani Dirut Pertamina, pastinya Dwi Soetjipto melakukan konsultasi ke Presiden Jokowi karena selain terkait dengan BUMN terbesar dan strategis, ini sejalan dengan program Kemandirian Energi Nawacita Jokowi. Hasilnya, Petral dibubarkan lebih cepat dari rencana September, Petral sudah dibubarkan di bulan Juni 2015.
Menikmati waktu pasca diberhentikan dari Dirut Pertamina, sosok Dwi Soejipto banyak mengisi kegiatan dengan aktivitas sosial. Sekarang dia menjadi Ketua Umum Silat Perisai Diri . Mengajar di beberapa Perguruan Tinggi, dan sudah pasti tidak pernah ada lagi beritanya di media. Yaa...karena Dwi Soetjipto kepergok beberapa kali menghindar dari kejaran wartawan. Paling terbaru saat acara "pisah kenal" yang dilaksanakan Pertamina. Selesai acara Dwi Soetjipto langsung meninggalkan acara, menghindar dari kerumunan wartawan karena ada aktivitas sosial, dan dia tidak mau berpolemik melalui media. Pastinya media akan nanya-nanya yang sensitif dan tentu tidak elok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H